Setiap halaman saya baca hati-hati, sebab kedalaman puisi Abid menjadikanya semacam instruksi agar tidak tergesa-gesa menjalani apapun; termasuk membacanya. Ia paham, bahwa puisi tidak suka ketergesaan. Seperti ketika Eyang Sapardi menuliskan puisi paling fenomenal Dongeng Marsinah selama tiga tahun. Terlepas dari itu, buku ini sepertinya memang mempersilakan kita - dengan amat sopan -- untuk membersamai cerita yang ada didalamnya. Meski selepas tuntas saya baca buku apik ini (sambil menerka hakikat perasaan yang ia ampu), agaknya pertanyaan-pertanyaan terus mengepung sampai nanti benar-benar ada jawabannya; ada yang menjawabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H