Kulantunkan sholawat itu, berusaha menirukan suara merdu dari speaker yang sejak tadi menggema-gema.
#
Kiki semakin kuat mendekam dibalik selimut. "Kau kenapa, Ki?". Sambil kusibak pundaknya, barangkali dia berkenan membuka wajahnya. Atau kalau tidak, minimal mau menjawab tanpa harus unjuk muka. Itu berulangkali kulakukan, tapi belum juga berhasil.
Ku putuskan membiarkannya. Bisa jadi dia lelah. Belakangan Kiki memang sering kembali ke kamar larut malam. Ada kumpulan diskusi, katanya. Karena bagamanapun juga, pasti ada saat dimana manusia tidak ingin diganggu oleh apapun dan siapapun. Hanya ingin sendiri sambil memikirkan hal-hal yang tak pasti. Atau tanpa alasan sama sekali.
"Kang Dheri! Ayo segera berangkat!" suara itu terdengar parau. Aku segera tunduk sebab ucapan itu. Juga karena sikap Kiki yang belakangan membuat otot lenganku kaku. Aku bangkit dan keluar kamar.
Sejurus kemudian, aku melihat mobil berplat W datang. Parkir tepat didepan bilik kami. Seorang lelaki keluar dari kendaraan hitam itu. sekilas aku bisa menebak bahwa itu Ayah Kiki. Ada apa? dan pertanyaan itu hanya mendapat jawaban-jawaban tak pasti seiring dengan langkah kakiku menuju masjid.
***
Malam tanpa bintang adalah saksi bisu kejadian paling tragis di pesantren itu. Seperti biasanya, selepas jam kegiatan malam, dua sejoli akan menuju kamar mereka dan bersiap istirahat. Namun malam ini, Kiki, salah satu diantara keduannya tidak langsung ke kamar. Ia berpamitan pada karibnya, Dheri, dan menitipkan kitab-kitab yang ia bawa tadi. Dheri mengiyakan. Remaja tambun itu sama sekali tidak memikirkan apa-apa terkait ini.
Tiga hari berikutnya, malam terasa semakin padam akibat pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi pikiran Dheri. Diskusi larut malam tidak baik. Pikirnya. Dalam sejarah pesantrennya, tidak pernah ada kegiatan lain saat jam istirahat malam selain bersiap tidur. Akhirnya, demi melucuti jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya sendiri, Dheri memutuskan menguntit sahabatnya.
Dengan cekatan, yang berarti juga membuat mayoritas tubuhnya mentul-mentul, segera ia menuju kamar dan meletakkan kitab-kitab yang ia bawa, termasuk punya Kiki, kedalam almarinya. Lalu cepat, ia kembali dan membuntuti karibnya itu dari belakang. Dheri terus berjalan dengan langkah yang sedetak dengan detik. Merambat diantara tiang-tiang penyangga lorong menuju gedung 'A'.
Gedung 'A' merupakan gedung santri paling sepi. Suasananya tenang, lingkungannya bersih. Hanya terdapat empat bilik yang semuanya dicat berwarna putih tulang. Jarak dua puluh langkah dari tempat Dheri mengintip, Kiki terlihat bersalaman dengan Kang Junaid. Dan tidak lama, Dheri dapat menyimpulkan keduannya tengah berbincang meski tak terdengar suaranya.