Pengamat-pengamat politik instant juga mulai bermunculan, terutama di media sosial. Tetapi tetap saja terlihat mereka berpihak kepada dukungan masing-masing. Banyak tulisan yang diawali dengan kalimat “saya adalah netral”, “bagi saya terserah siapa saja yang memimpin Jakarta”, atau “Saya bukan orang Jakarta, jadi tidak peduli” dan seterusnya. Tetapi wajah sebenarnya tetap terlihat dari isi tulisan yang dipublish. Ketidaksukaan terhadap salah satu calon terlihat jelas dari paparan yang dangkal, analisa yang sempit dan tidak netral dan kadang sumbernya pun entah dari mana. Hal ini menambah kericuhan yang membuat rakyat semakin bingung dan akhirnya malas dan tidak peduli.
Momen ini mungkin menjadi momen yang baik untuk mengembalikan lagi setiap orang ke jalur masing-masing. Yang mengaku sebagai pendukung, silahkan bertarung sampai mati tetapi sportif. Yang mengaku sebagai pengamat, bersuaralah yang netral dan tidak memecah belah serta dengan referensi dan data yang akurat agar mendapatkan kepercayaan oleh rakyat. Namun jika memang memilih untuk mendukung salah satu kandidat, proklamirkanlah diri dan jangan malu-malu kucing. Tunjukkan mukamu sebagai salah satu pendukung dan bertarunglah dengan jantan. Jangan menjadikan diri sebagai pengamat untuk batu loncatan mencari popularitas. Dengan Demikian, rakyat mendapatkan kejelasan, siapa yang akan menjadi referensi netral siapa yang tidak.
Ketika para pengamat politik sudah terbawa arus dan kehilangan jati diri sehingga tidak lagi menjadi netral, pilihan terakhir bagi rakyat adalah bertanya pada hati nurani.
Hati nurani sudah terlalu sering kecewa dengan proses politik sehingga wajar kalau golput menjadi juara dalam berbagai pemilu di negeri ini.
Salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H