Mohon tunggu...
afdillah_chudiel
afdillah_chudiel Mohon Tunggu... -

Sosiolog, Penulis Buku: "Sekolah Dibubarkan Saja!" kunjungi : http://afdillahchudiel.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pengamat Politik Tidak Lagi Netral, Rakyat Kehilangan Pegangan

21 Februari 2016   10:44 Diperbarui: 21 Februari 2016   12:36 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Semenjak bergulirya reformasi di negeri ini, pengamat menjadi salah satu yang paling dicari dan komentarnya selalu dinanti oleh rakyat sebagai salah saferensi yang dipercaya karena masih netral atau tidak berpihak. Pengamat seperti mendapatkan panggung setelah sekian lama dibungkam di masa orde baru. Media-media memberi ruang untuk mereka bicara sesuai dengan keilmuan masing-masing. Panggung yag paling besar dimiliki oleh pengamat politik.

Para pengamat tumbuh baik dari kalangan seperti akademisi dengan kapsitas keilmuan yang tidak diragukan, para aktivis yang kritis, para profesional dan sampai mahasiswa dengan idealisme yang membara. Awalnya ini berjalan sangat menarik sehingga pengamat bisa menjadi referensi bagi masyarakat awam yang tidak punya pendidikan politik, maklumlah pendidikan politik di Indonesia sangat dibatasi.

Tetapi seiring berjalannya waktu, para pengamat ternyata mulai memperlihatkan mukanya sebenarnya. Satu persatu mereka mulai berpihak dan terbawa arus.

“Ternyata bermain bola jauh lebih menarik dari pada jadi komentator” begitulah kalimat yang tepat untuk mereka. Walaupun setelah mereka terjun kelapangan, ternyata tidak semudah yang mereka lihat.

Sebut saja beberapa nama  yang populer di pemerintahan dan parlemen dan juga yang menjadi pengurus partai dimana mereka memulai sebagai pengamat dan aktivis. Ada Fadli Zon, Bima Arya, Indra J. Piliang dan seterusnya.

Buat saya yang paling mengecewakan ketika Bang Indra J piliang memutuskan untuk memihak salah satu kandidat dalam pilpres 2014 yang lalu. Padahal dia mempunyai analisa yang luar biasa dalam melihat peta perpolitikan Indonesai. Ketika pasangan yang didukung kalah, dan pada akhirnya di partai juga dibuang, sekarang Bang Indra entah dimana. Padahal, jika dia tetap dalam posisi netral. Pastilah komentar dan analisa politiknya sangat diperlukan oleh rakyat Indonesia saat ini. Tapi apa daya, mungkin janji jabatan atau posisi menyilaukan mata Bang Indra.

Lain cerita dengan Bima Arya yang berhasi menjadi Wali Kota Bogor. Dan juga Fadli Zon yang garang menentang orba, sekarang menjadi tangan kanan penguasa orba.

Saat ini perhatian politik di Indonesia tertuju pada pentas politik ibu kota. Ketika pertarungan antar kandidat belum dimulai, pertarungan antar pendukung telah dimulai dan bahkan lebih dahsyat dari perang sebenarnya. Medan tempurnya di media sosial.

Melihat pertempuran sengit yang maha dahsyat dengan bersenjatakan kata-kata mulai dari bahasa yang santun, sampai dengan makian dan hinaan yang berbau SARA, rakyat sebagai penonton dan yang akan menentukan pilihan terlihat bingung dengan suguhan masing-masing  pendukung yang kadang-kadang dibumbui tipu daya dan fitnah untuk menjatuhkan lawan politiknya.

Saat itulah rakyat membutuhkan referensi yang dipercaya, refensi yang netral, informatif dan mendidik. Media yang diharapkan sebagai corong informasi dikuasai petinggi partai. Harapan tinggal pada pengamat. Tetapi para pengamat sudah beralih profesi menjadi pengurus partai.  Meskipun masih ada beberapa nama seperti Burhanuddin Muhtadi, tapi dengan latar belakang lembaga survey yang rentan terhadap kepentingan sponsor, juga mulai diragukan.

Pengamat-pengamat politik instant juga mulai bermunculan, terutama di media sosial. Tetapi tetap saja terlihat mereka berpihak kepada dukungan masing-masing. Banyak tulisan yang diawali dengan kalimat “saya adalah netral”, “bagi saya terserah siapa saja yang memimpin Jakarta”, atau “Saya bukan orang Jakarta, jadi tidak peduli” dan seterusnya. Tetapi wajah sebenarnya tetap terlihat dari isi tulisan yang dipublish. Ketidaksukaan terhadap salah satu calon terlihat jelas dari paparan yang dangkal, analisa yang sempit dan tidak netral dan kadang sumbernya pun entah dari mana. Hal ini menambah kericuhan yang membuat rakyat semakin bingung dan akhirnya malas dan tidak peduli.  

Momen ini mungkin menjadi momen yang baik untuk mengembalikan lagi setiap orang ke jalur masing-masing.  Yang mengaku sebagai pendukung, silahkan bertarung sampai mati tetapi sportif. Yang mengaku sebagai pengamat, bersuaralah yang netral dan tidak memecah belah serta dengan referensi dan data yang akurat agar mendapatkan kepercayaan oleh rakyat. Namun jika memang memilih untuk mendukung salah satu kandidat, proklamirkanlah diri dan jangan malu-malu kucing. Tunjukkan mukamu sebagai salah satu pendukung dan bertarunglah dengan jantan. Jangan menjadikan diri sebagai pengamat untuk batu loncatan mencari popularitas. Dengan Demikian, rakyat mendapatkan kejelasan, siapa yang akan menjadi referensi netral siapa yang tidak. 

Ketika para pengamat politik sudah terbawa arus dan kehilangan jati diri sehingga tidak lagi menjadi netral, pilihan terakhir bagi rakyat adalah bertanya pada hati nurani.

Hati nurani sudah terlalu sering kecewa dengan proses politik sehingga wajar kalau golput menjadi juara dalam berbagai pemilu di negeri ini.

Salam damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun