Di wilayah tapal kuda, Banyuwangi dengan persoalan tambang emas Tumpang Pitu yang sangat bermasalah, lalu di Jember, perampasan lahan oleh TNI yang sewenang-wenang. Di Pasuruan, dengan kasus yang hampir serupa, Kota Batu yang mata airnya berubah menjadi tanaman beton, sehingga jumlah air semakin menyusut. Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan demikian yang belum menjadi isu nasional di negeri ini. Justru kalah pamor dengan isu-isu buatan dan bayaran atas kepentingan kelompok-kelompok elit.
Belum lagi di luar jawa Timur, atau di luar jawa sekalipun. Banyak daerah-daerah yang mengalami konflik hingga penindasan atas nama pembangunan yang tak manusiawi. Dan lawannya pun sama. Rakyat dalam konteks ini, benar-benar dijadikan "penonton" dan "korban" pembangunan yang sama sekali tidak mempertimbangkan kelestarian alam. Anehnya lagi, rakyat yang teguh dan berani menentang keserakahan itu, harus rela masuk jeruji besi dengan tuduhan, kriminalisasi
Lantas, di mana posisi kaum muda saat ini?
Masih ingatkah kita dengan perkataan Tan Malaka dalam karyanya: Madilog. "Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali"
Kembali kepada tulisan saya di atas, apabila pemaknaan "Semangat Hari Pahlawan" hanya sebatas seremonial belaka, tanpa adanya upaya pemaknaan secara kritis dan sistematis, maka penjajahan di negeri ini semakin di luar nalar manusia. Bedanya, waktu, gaya dan corak penjajahannya saja yang semakin halus dan sok "merakyat".Â
Apakah dengan cara update status di story social media sudah cukup dalam merawat api semangat kepahlawanan? Atau dengan memakai marchandise dan fashion sedemikian rupa, sudah cukup dalam merawat kemerdekaan yang menyebabkan pertumpahan darah jutaan rakyat Indonesia kala itu?
Ah, makin ngaco saja. Semangat kepahlawanan rupanya salah kaprah diterjemahkan. Tetesan darah pahlawan, hanya sebatas diselebrasikan dengan lomba-lomba nir-faedah.
Perayaan-perayaan yang sejatinya perlu direnungkan, dengan wujud semangat persatuan dan perlawanan melawan neo-imperialisne dan neo-kapitalisme nampaknya hanya segelintir saja yang melakukan demikian. Hal ini kemudian kalah branded dengan euforia-euforia tanpa makna, baik itu yang dilakukan oleh lembaga pendidikan, maupun intansi-instansi lainnya, yang hampir serupa.
Api semangat perlawanan pahlawan waktu itu, tidak kemudian mendarah-daging di setiap anak bangsa, terutama kaum muda dan terpelajar saat ini yang semakin glamor nan egoistis. Lagi-lagi, penjajahan atas nama pembangunan yang terjadi, tidak kemudian dianggap darurat oleh kaum muda, barangkali, hal ini dianggap tidak berdampak langsung ke mereka. Entah karena sikap cuek, tidak mau tau, atau bahkan 'bukan urusan gue' yang justru mendarah-daging di jiwanya. Sangat miris.
Perlunya rekonstruksi Mindset kaum muda
Dalam tulisan ini, penulis mencoba membuka wacana serta mengajak seluruh kaum muda, terutama para mahasiswa, untuk kembali ke jalur perlawanan, ya meskipun ini tidak mudah dan butuh waktu yang tidak sebentar. Dengan cara mendahulukan rekonstruksi mindset atau pemikiran, dilanjutkan dengan penguatan mental. Atas dasar orientasi keberpihakan, pemberdayaan.