Bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan yang jatuh pada hari sabtu, 10 November 2018 ini, banyak di antara kita yang (barangkali) melihat, atau melaksanakan perayaan, selebrasi seputar "kepahlawanan", baik itu di jalanan, lapangan kampung, sekolah-sekolah atau di televisi sekalipun. Berbagai upaya peringatan dilakukan dengan sangat meriah, pernak-pernik ala-ala pejuang zaman dahulu, secara total dikenakan beserta jargon-jargon dan lagu-lagu penyemangat perayaan lainnya.
Apakah salah? Tidak, sah-sah saja. Tidak merayakan pun juga tidak masalah. Akan tetapi, menjadi masalah, apabila pemaknaan "Hari Pahlawan", kemudian gagal diterjemahkan dan diaplikasikan di kehidupan berbangsa dan bernegara secara baik dan benar.
Semisal, semangat persatuan dan kepahlawanan ketika karnaval atau gelaran-gelaran hanya berhenti pada titik ini saja. Tidak kemudian menstimulus serta menggerakan hati, fikiran dan jiwa kita dalam rangka melawan "penjajahan gaya baru", yang hingga kini terus massif dalam menindas, mengintimidasi hingga menghancurkan ruang hidup masyarakat luas dengan dalih pembangunan.
Peringatan Hari Pahlawan abstain akan adanya upaya-upaya "Pemaknaan kritis" oleh masyarakat kita, dalam merefleksikan serangkaian peringatan-peringatan (terutama) yang tercatat dalam setiap kalender masyarakat Indonesia, hal itu kemudian bukankah sama saja kita telah melakukan reduksi-makna secara kolektif?Â
"Menjaga bara api" yang terkandung dalam setiap tanggal peringatan bernuansa "kemerdekaan" dan "kepahlawanan" itu hanyalah bersifat sementara atau hanya diukur dengan harga mahal busana atau seberapa banyak massa perayaan pada peringatan-peringatan yang berjalan. Setelah itu, bubar jalan.
Padahal, Bung Karno telah memperingatkan kita dalam kalimat yang sering kita perdengar, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian lebih berat, karena melawan bangsa sendiri". Ini terbukti, semakin nyata, dan semakin melebar luas ke pelosok nusantara.
Selain korupsi berjama'ah oleh DPRD kota Malang yang sempat mencuat ke permukaan beberapa waktu yang lalu, tidak diungkapnya kasus-kasus pelanggaran HAM terhadap para aktivis kemanusian: semacam Munir, Marsinah hingga Salim Kancil di Lumajang, yang sengaja direncakan dibunuh oleh (lagi-lagi) oknum bangsa kita sendiri.
Tidak hanya itu, banjirnya konsesi-konsesi lahan pertambangan menjelang Pemilihan-pemilihan pemimpin daerah, baik itu di pulau Jawa, maupun di luar pulau Jawa.
Menjamurnya usaha Pertambangan, baik itu minyak, gas, pasir maupun emas, yang tidak mempertimbangkan keselamatan lingkungan, secara jelas sudah terbukti sama sekali tidak mengindahkan kelestarian alam, sekaligus menghancurkan ruang hidup warga sekitar tambang. Apakah itu bukan termasuk dari sebuah "penistaan kebangsaan" secara kolektif?
Lagi-lagi, kalimat bung Karno itu, cukup magis!
Mari kita merenungkan kembali sejarah kelam bangsa ini puluhan tahun silam. Apa saja alasan pokok munculnya penjajahan di negara tercinta ini? Â imperialisme dan kolonialisme itu ada, tiada lain yakni karena "keserakahan, kekayaan dan kekuasaan" bukan?Itu sama persis dengan kondisi sekarang, bukankah para pejabat, korporat dan atas perlindungan oleh aparat juga melakukan hal demikian? Bedanya, selain waktu, gaya atau strateginya saja yang berbeda, lebih modernis. Tapi hakikatnya tetap sama: Penjajahan! Mirisnya lagi, kepada rakyatnya sendiri!