Banyak orang beranggapan, bahwa dunia pelayaran Nusantara dari masa ke masa hanya diperankan oleh masyarakat Melayu dari Sumatera atau orang-orang Bugis di Sulawesi. Sejarah yang banyak menonjolkan bagaimana hebatnya para pelaut Bugis atau kapal-kapal Sumatera yang berlayar ke pelosok Nusantara, Jepang, India, hingga pantai timur Afrika, telah menenggelamkan sejarah pelayaran orang Jawa. Banyak sejarawan yang berpikir, bahwa masyarakat Jawa identik dengan pertanian. Pandangan mereka yang cenderung melihat ke dalam (looking inward) dan bergantung kepada tanah, seolah-olah menghiraukan dunia bahari yang berada di sekeliling mereka.
Gambaran ini mungkin saja benar, jika kita membaca kajian tentang tema laut dalam kesusasteraan Indonesia. Berdasarkan hasil kajian yang dirangkum oleh Dennys Lombard dalam bukunya Le Carrefour Javanais, dikemukakan bahwa dalam kesusasteraan Jawa, hampir tak terdapat nyanyian pujian mengenai petualangan di laut. Hal ini berbeda dengan orang-orang Sumatera, yang hingga kini dalam kesehariannya masih mendendangkan cerita pelayaran Hang Tuah atau petualangan Anggun nan Tongga. Orang Bugis, sejak ratusan tahun lalu telah mengembangkan wiracerita La Galigo yang luar biasa. Buku setebal 1.000 halaman itu, membicarakan kisah mengenai pelayaran Sawerigading. Agaknya laut dalam khayalan orang Jawa dicirikan sebagai sesuatu yang kurang menyenangkan, seperti yang terdapat di pantai selatan Jawa. Dalam mitos Ratu Kidul, tergambar suatu kegelisahan masyarakat tentang laut yang menakutkan.
Namun sesungguhnya sebelum abad ke-17, kapal-kapal dan pelayaran telah memainkan peran besar dalam segenap urusan Jawa dan Laut Jawa. Tipe kapal Jawa seperti halnya kapal-kapal khas Nusantara lainnya, dibentuk dengan menyambung papan-papan pada lunas kapal dan kemudian saling disambungkan dengan pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut, atau paku. Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip, dilengkapi oleh dua batang kemudi menyerupai dayung dan sebentuk layar segi empat yang diikat dengan tali. Kapal ini berbeda dengan kapal China yang lambungnya dikencangkan dengan bilah-bilah kayu dan paku pada kerangka dan dinding penyekat yang memisahkan ruang muatan. Kapal-kapal China ini memiliki kemudi tunggal yang dipasang pada palang rusuk buritan.
Ketika Portugis baru saja menancapkan kekuasaannya di Malaka, mereka mengenali Jawa sebagai tempat asal jung-jung terbesar. Portugis menggambarkan bahwa jung-jung Jawa yang mereka tawan pada tahun 1511 dalam perjalanan menuju Malaka, memiliki bobot sekitar 600 ton. Pierre-Yves Manguin berdasarkan laporan orang-orang Eropa memperkirakan, bahwa bobot mati jung-jung pengangkut barang berada pada kisaran 400-500 ton. Malah jung yang digunakan untuk menyerang Malaka-Portugis yang dibangun oleh Dipati Unus, berbobot mati sekitar 1.000 ton. Kapten Portugis Fernao Peres de Andrade memerikan, bahwa jung besar tersebut merupakan kapal yang sangat kokoh dan mampu mengangkut sekitar seribu orang tentara. Peluru meriam Portugis paling besar sekalipun, tak mampu menembus dinding kapal tersebut. Keperkasaan kapal-kapal Indonesia, juga dilaporkan secara mengesankan oleh Tome Pires. Dimana pada suatu masa, penguasa Kanton mewajibkan kapal-kapal asing untuk berlabuh di salah satu pulau lepas pantai. Hal ini untuk menghindari pengrusakan jung-jung China oleh orang Jawa dan Melayu. Menurut laporan tersebut, satu jung Jawa atau Melayu, dapat menghancurkan 20 jung China sekaligus.
Salah satu kekuatan besar industri galangan kapal di Jawa, dimungkinkan karena adanya hutan-hutan jati yang waktu itu terbentang di sepanjang pantai utara, dekat Jepara dan Rembang. Keadaan yang menguntungkan inilah kemudian yang menjadi faktor penting kemajuan Kesultanan Demak. Sebelum kekuatan laut Demak jatuh pada tahun 1513, Demak memiliki 40 buah jung yang mengangkut hasil-hasil pertanian ke Malaka. Pada masa itu, Demak juga mampu mengerahkan kapal-kapalnya melintasi lautan, baik untuk tujuan damai maupun perang. Selain untuk dipakai sendiri, kapal juga merupakan salah satu komoditi ekspor terpenting Kesultanan Demak.
Meski Jawa memiliki banyak sumber bahan baku untuk pengembangan galangan kapal, namun peran orang Jawa dalam industri tersebut sangatlah kecil. Kajian dari F.J.A Broeze yang dilakukan berdasarkan Regeringsalmanak, terungkap bahwa pada tahun 1820 etnis Jawa (termasuk Sunda dan Madura di dalamnya) hanya memiliki sekitar 7,3% dari keseluruhan tonase kapal di Jawa. Angka ini terus menurun menjadi 3,1% pada tahun 1850. Sedangkan pada tahun yang sama, orang-orang Arab dari Hadhramaut yang kebanyakan bermukim di Surabaya, menguasai lebih dari separuh tonase kapal di Jawa. Angka ini melampaui penguasaan orang-orang China (28,7%) dan bangsa Eropa (18,9%).
Pelayaran "Orang-orang Jawa"
Sebelum abad ke-14, sedikit sekali catatan yang memberitakan mengenai perjalanan dan pelayaran orang Jawa. Dalam catatan Belanda, pelayaran "pertama" para pedagang Jawa terjadi di penghujung abad ke-14, yakni ketika mereka membeli cengkeh dari Maluku Utara. Namun dalam Kitab Negarakertagama, Jawa telah mengikuti rute rempah-rempah menuju Maluku pada periode 1331-1351. Pelayaran atas nama orang Jawa, selanjutnya justru banyak dilakukan oleh orang-orang China yang bermukim di sepanjang pesisir utara. Chen Yen-xiang adalah orang pertama yang membuka hubungan diplomatik antara Jawa dengan negara-negara Asia Timur Laut. Pada tahun 1406, dia menjadi utusan Jawa yang berangkat ke Korea. Meski Chen sempat ditawan oleh pelaut Jepang, namun ia berhasil mencapai istana Korea. Setelah itu, Chen menjadi utusan Jawa ke Jepang dengan menyandang gelar "arya". Duta besar Jawa lainnya yang berkebangsaan China adalah Ma Yong-liang. Ma yang berasal dari Longxi, Fujian, menjadi duta Jawa ke China berturut-turut pada tahun 1438, 1442, 1446, dan 1447. Dia terakhir kali menjalankan misi upeti ke China pada tahun 1453. Ketika pulang ke Jawa, ia membawa pesan khusus kaisar yang tak lagi menghendaki penguasa Jawa untuk terlalu sering mengirimkan upeti.
Orang-orang China yang banyak bermukim di pesisir utara sejak abad ke-15 itu, adalah orang-orang pelarian yang menolak kerja paksa di daratan Tiongkok. Adapula diantara mereka yang merupakan pengikut Laksamana Cheng-Ho yang tak mau kembali ke kampung halamannya. Disamping masyarakat China, pesisir utara juga banyak menampung para imigran asal Arab, Persi, Gujarat, dan Pasai. Sehingga ketika itu suasana pantai utara merupakan sebuah melting-pot kebudayaan yang saling mendukung. Meski mereka datang dari etnis yang berbeda, namun sebagian besar dari mereka adalah muslim. Dalam berdagang, mereka juga sering mengandalkan jaringan persaudaraan muslim yang ketika itu menguasai dunia. Berkat orang-orang luar inilah, perekonomian Jawa menjadi bergairah. Hal ini pada gilirannya mendorong migrasi orang-orang Jawa ke seberang lautan.
Tingginya mobilitas orang Jawa pada abad ke-16, ditandai dengan besarnya jumlah mereka di kota-kota perdagangan Nusantara, seperti Malaka, Palembang, Banten, dan Ternate. Menurut Alfonso de Albuquerque, orang Jawa pemeluk agama Islam ini, datang ke Malaka dalam keadaan miskin, memperoleh kemakmuran dengan berdagang, dan menjadi kaya raya. Diantara para pedagang Jawa yang cukup berpengaruh adalah Utimutiraja. Barros mengatakan bahwa dia merupakan orang yang paling kaya di seluruh kota, sekaligus menjadi pemimpin dari semua orang Jawa disini. Masih menurut Barros, di awal abad ke-16 Utimutiraja adalah orang kedua yang paling penting di Kerajaan Malaka setelah sultan. Dia memiliki sejumlah budak dan awak kapal, yang jika dihitung secara keseluruhan mencapai 10.000 orang lebih.
Selain sebagai pedagang, mereka juga banyak yang menjadi tukang kayu dan pembuat kapal. Albuquerque amat terkesan dengan keahlian pertukangan orang Jawa di Malaka. Sehingga dia membawa 60 tukang kayu Jawa yang cekatan ke India, untuk membantunya memperbaiki kapal-kapal Portugis disana. Ketika pelaut Malaka, Nina Chetu melakukan pelayaran ke Pegu, Pasai, dan India Selatan pada 1512-1513, orang Jawa juga merupakan mayoritas awak kapalnya.
Di Malaka, Patih Harun dan Patih Elias yang diduga berasal dari Jawa, memiliki peran yang cukup penting dalam penyusunan Undang-undang Laut Malaka. Undang-undang ini menyusun aturan pelayaran dan perniagaan Kerajaan Malaka. Selain kedua patih tersebut, pelaut Jawa lainnya yang cukup kesohor adalah Patih Yunus (Dipati Unus) dari Jepara. Ia menyerang Malaka yang baru saja direbut Portugis, pada bulan Januari 1513. Dalam penyerangan itu, ia mengirim 35 jung besar berbobot 500 ton, dan juga 70 kapal kecil lainnya serta kapal-kapal besar bersenjata lengkap. Namun kapal-kapal itu dengan mudahnya dipatahkan oleh Angkatan Laut Portugis, dan hanya menyisakan satu jung raksasa berbobot 1.000 ton yang berhasil kembali ke Jepara.
Kegagalan dalam pertempuran ini, lebih dikarenakan kurang lincahnya jung-jung Jawa dalam menghadapi kapal-kapal Portugis. Namun demikian hal ini telah memberikan pelajaran kepada mereka untuk segera membuat kapal yang lebih kecil namun lincah. Dalam tempo satu abad, Jawa telah meninggalkan kebiasaan membuat kapal-kapal bertonase besar. Hal ini sesuai dengan laporan Belanda pada abad ke-16, yang tak lagi menemukan kapal-kapal Jawa berbadan bongsor. Laporan Belanda yang muncul kemudian memperkirakan, bahwa kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan Jawa Timur hanya memiliki bobot antara 10-200 ton.
Kemunduran Maritim Jawa
Kemunduran dunia kemaritiman Jawa, sebenarnya lebih disebabkan oleh faktor-faktor internal. Mengecilnya ukuran kapal-kapal Jawa yang berlayar ke seberang lautan, secara otomatis akan mengurangi barang-barang yang bisa mereka perjualbelikan. Hal ini tentu berakibat kalahnya mereka dalam persaingan dengan pemain-pemain lain, seperti Aceh, Makassar, dan VOC Belanda. Selain bersaing dengan kerajaan luar, antara kota-kota pelabuhan tersebut-pun juga terjadi rivalitas yang amat tajam.
Keadaan ini semakin diperparah oleh Kesultanan Mataram di pedalaman. Raja-raja Mataram yang terkenal bengis dan otoriter itu, tak memperkenankan orang-orang pesisir untuk berdagang dengan dunia luar. Dengan menguatnya kedudukan politik Mataram di tanah Jawa, maka mereka hendak pula memonopoli perdagangan. Untuk merealisasikan keinginannya itu, Mataram segera menghancurkan kota-kota niaga di pesisir. Berturut-turut adalah Lasem (1616), Tuban (1619), Gresik (1623), dan Surabaya (1625). Sedangkan Jepara yang tetap mempertahankan loyalitasnya kepada Sultan Agung, diserang oleh VOC pada tahun 1628-29, tanpa ada pembelaan dari Mataram. Yang lebih gilanya lagi, penerus Sultan Agung : Amangkurat I, menutup semua pelabuhan dan memerintahkan penghancuran terhadap semua kapal. Kombinasi antara tekanan maritim VOC dan kecurigaan Mataram terhadap masyarakat pesisir, menyebabkan menurunnya dunia kemaritiman masyarakat Jawa.
Dengan ditutupnya pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara, maka pada pertengahan abad ke-17 terjadi eksodus besar-besaran pelaut Jawa (termasuk orang-orang keturunan Arab dan Tionghoa) ke seantero Nusantara. Di berbagai tempat mereka segera berbaur, berkawin campur, dan mengidentifikasikan dirinya sebagai "orang Melayu". Saudagar-saudagar yang lebih besar, pindah ke pelabuhan yang dianggap bisa melindungi kepentingan mereka, seperti Banten, Makassar, Malaka, Aceh, Palembang, dan Banjarmasin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H