Mohon tunggu...
Weni Adityasning Arindawati
Weni Adityasning Arindawati Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Singaperbangsa Karawang

Alumni Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Alumni dari Sekolah Pascasarjana UGM program studi Kajian Budaya dan Media. Saat Ini aktif mengajar di Universitas Singaperbangsa Karawang dan tergabung dalam Jaringan Pegiat Literasi Digital (JAPELIDI)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Identitas dan Politik Representasi Media: Pemberitaan Buruh Migran Perempuan

21 Juli 2010   07:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:42 2051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Realitas Media: Antara Wacana dan Bias Gender

Kegiatan jurnalisme yang menjadi bagian cara kerja media (massa) memang tidak bisa dipisahkan dari persoalan mengolah fakta menjadi informasi. Realitas sosial dianggap sebagai "fakta". Kriteria-kriteria nilai berita menjelaskan beragam kejadian dan isu, yang akhirnya akan membentuk sebuah wacana yang mendasari karakter, visi dan kepentingan para pemilik (ownership), akses bagi publik (sasaran/target pasar), serta regulasi yang diramu sebagai bentuk kebijakan media.

Tentunya sebuah kebijakan ini tidak semata berafiliasi dengan realitas sosial yang ditemui. Kekuatan internal sebuah industri media massa juga merupakan hasil pertarungan yang membawa kepentingan ekonomi politik. Pertama, persoalan kepentingan finansial dan permodalan pemilik media. Kedua, terkait dengan profit media yang dimasuki oleh berbagai iklan. Ketiga, kekuatan ideologi yang membawa konsekuensi logis kehadiran mainstream baru, yaitu ideologi patriarki. Secara etimologis, "patriarki" merujuk pada sistem otoritas laki-laki yang menindas perempuan melalui institusi-institusi sosial, politik, dan ekonomi.[3]

Wacana (discourse) kekerasan Buruh Migran Perempuan yang banyak dipresentasikan beberapa media massa telah membuka lebar masuknya ideologi tersebut. Akhir-akhir ini pembahasan mengenai konstruksi identitas perempuan yang paling banyak disorot adalah soal tubuh, seks, dan perannya, namun selain itu konstruksi sosial-kultural masyarakat (baca: gender) biasanya agak tersembunyi dalam berbagai pesan makna, seperti identitas korban dan pelaku yang sebenarnya selain bias tapi juga ambivalen. Pesan makna sejauh yang dipahami dapat diartikan pula penandaan atau representasi.

Stuart Hall (1992) dalam hal ini mendeskripsikannya sebagai persoalan posisionalitas. Sebuah representasi kelompok sosial yang terpinggirkan, terutama kelas, gender dan ras. [4] Pointnya, media berperan menciptakan, mengkonstruksi dan memproduksi posisi subjek perempuan yang selalu teraniaya, lemah, tak berdaya. Bias gender dalam media terhadap posisi perempuan seperti pemberitaan mengenai kekerasan Buruh Migran Perempuan menggunakan perspektif gender, yang pertama soal konstruksi identitas "korban" dan "pelaku" kekerasan yang sudah dianggap fakta dari realitas. Sedangkan fakta-fakta "korban" disebutkan sebagai orang yang mengalami penyiksaan dan diposisikan sebagai objek penderita, sosok yang lemah, tidak mampu melawan.

Di sisi lain, pelaku yang dituduhkan itu juga adalah korban dari sistem atau struktur di masyarakat seperti teori strukturasinya Anthony Giddens karena dia merupakan agensi, kemampuannya melakukan hal-hal itu (kekuasaan).[5] Korban sesungguhnya bisa saja melakukan perlawanan terhadap tubuhnya yang disakiti tapi justru tidak dijadikan fakta oleh media. Dalam analisis framing dan wacana dari beberapa judul dan isi berita kekerasan BMP di media massa, kedudukan seorang pelaku selalu dihadapkan pada peran antagonis.

Wacana mengenai siapa korban dan pelaku dijadikan esensi nilai berita yang paling penting. Diasumsikan fakta dari kejadian itu memiliki nilai berita yang tinggi sehingga konflik pun dikonstruksi. Terlepas dari fakta yang terjadi yaitu konflik dalam artian pertarungan kepentingan (secara hukum), namun ‘konflik' dalam realitas media dapat ditunjukkan dari penggunaan bahasa. Bahasa yang dilekatkan pada diri subjek, seperti korban dan juga pelaku memainkan oposisi biner; siapa yang baik dan yang jahat, yang lemah dan kuat. Identitas perempuan yang baik dan lemah adalah korban (BMP). Sedangkan perempuan yang jahat dan kuat (kekuasaannya) merujuk pelaku (majikan). Posisi yang bias gender seperti ini justru semakin menguat karena adanya konstruksi wacana identitas perempuan semacam itu.

Politik Representasi Media Atas Subjek Perempuan

Konsep identitas korban dan pelaku yang keduanya merupakan subjek perempuan sebenarnya adalah obyek isu dari agenda setting media. Proses pewacanaan ini berimplikasi pada produksi makna dari ideologi patriarki yang menelisik masuk pada sebuah upaya wacana publik dan dimanfaatkan sebagai penguasaan arus pemikiran (utama): ketidakadilan gender. Rezim ini jelas berpotensi membuat definisi-definisi tentang mereka dianggap ‘yang lain', ‘the other', tanpa melihat akar persoalannya.

Kembali pada konteks kekerasan BMP, identitas perempuan sebagai subjek digambarkan tidak otonom. Subjek yang merupakan produk dari sistem penandaan/representasi oleh media dipengaruhi oleh socially constructed (konstruksi sosial). Bagi Foucalt (1972), wacana ini berkaitan dengan bahasa maupun praktik. Wacana mengacu pada produksi pengetahuan yang teregulasi lewat bahasa yang memberi makna pada benda-benda material dan praktik-praktik sosial. Pengidentifikasian antara subjek korban dan pelaku terus diwacanakan dengan cara mengkonstruksi, mendefinisikan, dan memproduksi objek-objek pengetahuan dengan suatu cara yang bisa dinalar. Maka dari itu, mempelajari situasi ini sebagai "rezim kebenaran/regime of truth".[6] Media dengan menjalankan fungsinya menyalurkan informasi, mengutip Dennis McQuail, peran besar dan peluang media adalah untuk mengatur sebuah konstruksi wacana.[7] Dalam realitas media hal ini dapat dikatakan sebagai kebijakan media (media policy).

Kebijakan media sangat berkaitan dengan dan selalu berubah untuk menghasilkan suatu wacana (discourse) dalam menggunakan bahasa (language). Wacana dan bahasa dalam paradigma kritis dilandasi dari proyek intelektual mazhab Frankfrut. Stuart Hall meletakkan esensi pemikirannya dari aliran Frankfrut.

"The media defined, not merely reproduced reality. Definitions of reality were suistained and produced through all those linguistic practices (in the broad sense) by means of which selective definitions of the real were represented. It implies the activework of selecting and presenting, of structuring and shaping: not merely the transmitting of an already-existing meaning, but the more active labour of making things mean."[8]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun