Mohon tunggu...
Afan Bachtiar
Afan Bachtiar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penulis biasa yang menyukai semua konten tulisan. Hobi membaca cerita bergambar yang memiliki jalan cerita yang unik dan menarik. Ingin berkarya melalui tulisan. Sudah terbiasa menulis sejak kecil, tapi besarnya nyasar ke jurusan lain. Ujung-ujungnya tetap melakoni dunia tulis menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

How Are You, Hanna?

20 November 2021   12:33 Diperbarui: 20 November 2021   12:39 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Untuk penumpang kereta api Kahuripan, silahkan untuk menuju ke jalur dua. Sekali lagi, untuk penumpang kereta api Kahuripan, silahkan untuk menuju ke jalur dua karena kereta tersebut akan segera datang." Aku mendengar pengumuman tersebut berkali-kali sembari menunggu kereta api yang akan aku tumpangi datang.

Masih dua jam lagi sebenarnya jadwal kereta yang akan aku naiki. Aku selalu melihat jam dinding yang menunjukkan waktu, namun waktu berjalan lambat karena aku sering mengeceknya. Akhirnya aku kembali membuka smartphone-ku dan membuka aplikasi Instagram. Iseng-iseng, kembali aku melihat jumlah follower yang aku miliki. Tidak ada yang menarik. Lalu, aku melihat jumlah following yang aku miliki. Karena tidak tahu harus melakukan apa, iseng-iseng aku ketik nama mantan pacarku di search bar. Ternyata ada. Lalu aku tekan tombol mengikuti untuk mengaktifkan perintah unfollow. Memang terlalu iseng, tetapi tak jadi mengapa karena memang sudah tidak ada urusannya dengan dia. 

Kembali mengecek pengaturan akun milikku, ternyata aku menyembunyikan beberapa story akun Instagram. Ada salah satu akun yang menarik dan memiliki kisah tersendiri di dalam hatiku yang paling dalam. Aku tersenyum, pikiranku melayang, kembali pada momen itu.

****

Awalnya kita hanya sebatas relasi antara kakak kelas dan adik kelas. Kita tidak berada di radar yang sama. Namun pada akhirnya sebuah relasi berubah menjadi hubungan pertemanan karena adanya sebuah komunikasi. Komunikasi itu diawali olehnya.

"Halo Mas, Kenalin ini aku Hanna, adik kelasnya Mas. Boleh tanya-tanya nggak mas?" Pop up pesan itu tiba-tiba saja muncul di layar smartphone-ku. Aku mengingat kembali siapa itu Hanna. Aku lihat foto profilnya, barulah aku mengenali siapa dirinya. Memang dia adik kelasku. Akhirnya komunikasi kita mulai berjalan lancar. Radar kita saling bertemu dengan cara saling menyapa di setiap pergantian kelas. Sebagai seorang manusia yang memiliki rasa haus akan kasih sayang, saat itu aku merasa ada percikan rasa yang membuatmu hadir di dalam perasaanku.

Namun sayangnya, saat itu aku sedang bersama dengan orang lain. Sehingga aku menjaga agar percikan perasaan yang membahagiakan ini tidak menjadi kobaran perasaan yang lebih menggebu-gebu. Aku menjaga batas yang menurutku sangat sulit aku jaga. Karena ketika ada kesempatan berdua dengan Hanna, perasaanku tiba-tiba saja menjadi kobaran yang tidak bisa aku tahan. Tapi nyatanya aku seorang pengecut yang hanya mempermainkan perasaan seseorang yang sedang bersamaku dan tidak berani mengungkapkan apa yang aku rasakan kepada Hanna.

"Mas, jangan pulang dulu ya? Aku mau ngajak diskusi Mas."

"Oke, nanti tunggu saja aku di sekretariat seperti biasa." Jawabku sembari melihatnya menjauhi kelasku. Aku pikir aku bisa menjaga percikan ini untuk tidak menjadi kobaran yang sangat besar pada perasaanku. Nyatanya aku di dalam satu organisasi dengan Hanna. Nyatanya aku melihat titik kelemahanmu. Nyatanya aku merasakan bahwa Hanna sangat manja terhadapku. Aku merasakan Hanna seperti membutuhkanku. Bagaimana bisa percikan ini bisa terjaga dengan baik jika Hanna semakin menarik untuk dimiliki.

Pada akhirnya kita berada di sebuah zona. Zona tersebut bisa dikenal dengan nama brother-sister zone. Zona ini membuat kita perhatian layaknya seorang kakak ke adiknya dan sebaliknya pula. Zona itu juga menjadi salah satu retaknya hubungan yang sedang aku pertahankan bersama orang lain. Aku merasa lebih nyaman bersama dengan Hanna daripada dengan pasanganku.

"Mas,makan yuk!"

"Ayuk, mau makan apa Hanna?"

"Makan sate aja, cuma mampir ke kosan dulu boleh gak Mas? Hanna kedinginan nih. Nggak bawa jaket."

"Kelamaan Han, ini pakai jaket punya Mas saja." Aku melepaskan jaketku dan menyampirkan ke bahu yang selama ini sering aku lamunkan untuk bisa bersandar dengannya. Hanna hanya tersenyum kepadaku. Lalu aku memboncengnya dengan motor butut-ku untuk pergi ke penjual sate favorit Hanna. Ini pertama kalinya aku makan bersama dengan Hanna. Karena masih SMA, uang saku milikku hanya cukup membeli satu porsi saja. Sehingga kita membayarnya sendiri-sendiri. Dari sana aku berjanji pada diri sendiri untuk bisa mentraktir Hanna suatu saat nanti. Setelah selesai makan, aku mengantar Hanna pulang ke kosan.

"Makasih ya Mas!" Hanna memberikan senyum manisnya dan masuk ke dalam kosan. Hari itu menjadi salah satu hari yang tidak pernah aku lupakan untuk saat ini.

Saking dekatnya aku dengan Hanna. Aku bisa mengetahui siapa yang dekat dengan Hanna. Masalah apa yang sedang terjadi pada Hanna. Tentu saja aku selalu menawarkan bantuan kepada Hanna ketika sedang ada masalah ataupun menyiapkan telinga jika sedang mengungkapkan isi hatinya. Terkadang aku merasa iri dengan seseorang yang dekat dengan Hanna. Kadang aku juga marah karena orang-orang tersebut berani memainkan perasaan Hanna. Aku berpikir lebih baik Hanna denganku saja.

Tapi, apakah aku berani mengungkapkan perasaanku kepada Hanna?

Pada akhirnya kedekatan-ku dengan Hanna membuat hubungan percintaan yang aku miliki mulai dingin. Ada masanya ketika sedang ulang tahun, pasanganku mendapati ucapan selamat ulang tahun dari Hanna yang menurutnya lebih manis dari ucapannya yang diberikan untukku. Ada masanya ia melihat curhatan Hanna yang membuatnya merasa cemburu karena aku dianggap menanggapinya terlalu berlebihan. Aku hanya berkata bahwa dia hanya sekadar adik saja. Tapi perasaan lainnya lebih memilih menjawab jika dia lebih dari sekedar adik. Situasi ini semakin dingin dan membuat pasanganku memilih untuk tidak berdebat.

Pada suatu masa, Hanna tiba-tiba saja curhat saat sedang rapat organisasi.

"Mas, kenapa tuh ya aku nggak pernah bisa dapat orang yang aku sayang?"

"Lha, yang sayang sama kamu banyak tahu Han. Ada sahabat kamu. Ada orang tua kamu. Semua orang tuh sayang sama kamu Han."

"Tapi aku belum bisa move on Mas sama dia. Tapi dia kok tega banget malah lebih milih sama yang baru."

"Lupain aja Han. Dia saja nggak mikirin kamu. Lebih baik kamu mencari yang lain saja." Saranku kepada Hanna. Lalu tiba-tiba ia menyandarkan kepalanya di bahuku. Perasaanku campur aduk. Senang, sedih, semuanya jadi satu. Aku sudah tidak berpikir lagi bagaimana dengan perasaan pacarku jika mengetahui hal ini.

Sejak kejadian itu, banyak yang bergosip jika aku dekat dengan Hanna. Aku menepisnya dan bilang jika aku hanya menganggapnya sebagai adik. Namun ketika kabar tersebut sampai ke pacarku, hal ini menjadi topik yang panas diantara kita berdua. Pada akhirnya aku tidak bisa mempertahankan hubunganku. Aku putus dengan pacarku. Mungkin semua orang berkata bahwa sangat disayangkan aku putus dengan pacarku. Karena hubungan itu sudah ada sejak tiga tahun lamanya dan selalu didoakan untuk sampai ke jenjang yang lebih tinggi.

Lalu apa yang aku pikirkan ketika hubunganku selesai? Aku bahagia. Aku senang karena aku tidak lagi menahan perasaanku terhadap Hanna. Tidak peduli lagi jika kobaran perasaanku ini sudah menjadi sebuah obsesi untuk bersama Hanna. Pikiranku saat itu tertuju pada Hanna.

Insiden aku putus dengan pacarku juga bertepatan dengan lulusnya aku dari SMA. Jelas saja hal itu juga membuatku tidak bisa bertemu dengan Hanna lagi. Ketika aku ceritakan bahwa aku sudah tidak berhubungan lagi dengan pacarku, Hanna hanya menanggapinya seperti tidak ada apa-apa. Aku pun yang memiliki tujuan untuk bisa memiliki hubungan spesial dengan Hanna, tidak sadar jika hal tersebut ternyata ada apa-apanya.

Aku sibuk dengan perkuliahanku dan Hanna sibuk dengan ujian kelulusannya. Aku sendiri kuliah tidak jauh dari tempat tinggalku sehingga aku masih bisa mengajak pergi Hanna. Terkadang Hanna yang mengajakku pergi untuk sekedar menanyakan materi ujian yang tidak ia mengerti. Karena aku ingin memberikan radar bahwa aku suka dengannya, maka aku dengan senang hati mengajarinya. Di sela-sela pertemuan kita, aku selalu menyelipkan tanda bahwa aku tertarik dengannya. Namun Hanna dengan cueknya menepis tanda itu dan seakan-akan aku ini hanya sekadar kakak baginya.

Pada akhirnya, Hanna lulus dengan nilai memuaskan. Hanna mengucapkan rasa syukur dan terima kasih karena cara yang aku ajarkan berguna sekali untuknya. Namun, pada akhirnya usaha yang aku lakukan tidak membuat Hanna tertarik padaku. Bahkan ia lebih memilih untuk kuliah di kota kelahirannya dibandingkan di kota-ku yang memiliki banyak universitas yang terkenal. Pertemuanku dengan Hanna yang terakhir terjadi di stasiun kereta.

"Makasih ya Mas sudah bantu Hanna selama ini." Ucapnya sambil tertawa. 

"Iya sama-sama Han. Mas juga senang kok bantuin Hanna. Jangan lupa keep contact ya sama Mas. Jangan lupain Mas disini. Kalo kangen SMA, mampir saja. Nanti Mas pasti jemput."

"Iya Mas, aku janji!" Ucapnya mantap. Hanna masuk ke kereta api Kahuripan. Aku melihatnya ia duduk dengan nyaman dan memberikan gerakan sampai jumpa yang terlihat dari jendela kereta api. Tentu saja aku membalas gerakan tersebut. Sampai saat ini, aku belum berani mengungkapkan perasaanku padanya karena takut aku tidak bisa lagi berhubungan dengan Hanna.

Hana telah pergi dari kota ini. Rasanya ada yang hilang. Namun rasa tersebut masih terobati dengan banyaknya pesan yang saling kita kirimkan untuk saling melepas rasa rindu. Hingga apa yang aku takutkan terjadi. Hanna sudah jarang membalas pesan yang kuberikan. Bahkan telepon saja sudah tidak diangkat lagi. Ada suatu masa tiba-tiba saja Hanna menghubungiku untuk suatu keperluan. Namun ketika keperluannya selesai, dia menghilang. Hingga pada akhirnya, aku sudah menyerah untuk menghubungi Hanna lagi. Mungkin saat itu, rasanya perasaanku yang berkobar-kobar ini disiram air oleh logika-ku. Logika-ku berkata untuk segera melanjutkan kehidupan. Kenyataannya perasaanku masih ada sedikit percikan yang menggambarkan Hanna.

****

4 tahun kemudian...

Smartphone-ku berbunyi dan layarnya menunjukkan jika kontak yang aku namai Sayang sedang menghubungiku.

"Halo Mas. Ini undangannya sudah jadi. Mau Mas kirim langsung ke teman-temannya Mas nggak?"

"Boleh deh. Kirim langsung ke Whatsapp Mas ya. Mas tunggu!. Kamu sudah makan?

"Ini mau makan Mas. Mas juga jangan lupa makan ya!"

"Iya, ini lagi nunggu temen-temen mau ngajakin makan siang bareng"

"Oke, hati-hati di jalan Mas!"

"Iya, Kamu juga ya!"

Sore membawa petang. Pekerjaan hari ini melelahkan setelah makan siang berakhir. Kali ini aku mendapatkan tugas di luar kota. Pekerjaan kali ini sepertinya akan menjadi lebih sulit. Bukan karena tugas yang diberikan oleh atasanku, tapi ada hal lain yang membuatku menjadi lebih sulit.

Pagi harinya aku sudah bersiap pergi untuk pekerjaan di luar kota. Perjalanannya sangat menyenangkan menggunakan kereta api. Aku merasakan pemandangan yang berbeda karena kali ini melihat dari posisi yang berbeda. Namun, masih ada setitik keraguan yang masih saja membuatku bingung. Namun pada akhirnya, aku harus segera menyelesaikan dengan cepat pekerjaan ini. Alhasil, aku bisa melakukannya dengan cepat karena negosiasi berjalan dengan baik. 

Apakah kali ini aku harus menghapus keraguan tersebut? Mungkin hal ini memang harus dituntaskan agar tidak meninggalkan bekas yang mendalam.

****

Centang dua sudah nampak pada whatsapp yang sudah aku kirim. Lalu tidak lama dari itu, pesanku dibalas dengan cepat. Akhirnya aku menentukan tempat janjian. Saatnya menghapus semua keraguan ini.

****

"Halo Mas! Masa baru ngabarin sekarang sih kalau kesini. Tahu gitu kan aku bisa selesaikan pekerjaanku lebih cepat"

"Iya maaf ya kalau dadakan, soalnya baru ingat kalau kamu tinggal di dekat kota ini. Makanya Mas ngehubungin kamu. Apa kabar Hanna? Kayaknya sudah empat tahun kita tidak berjumpa ya Han?"

"Baik Mas. Iya nih udah lama nggak ketemuan ya Mas. Mas udah makan? Hanna belum makan nih, mau makan sate langganan Hanna nggak?" Aku mengangguk. Kali ini aku masih menuruti apa yang diinginkannya.

Aku mendengar ceritanya selama empat tahun. Aku masih mendengarkan Hanna yang ternyata masih belum bisa move on dengan orang yang ia sukai. Aku merindukan masa-masa indah SMA. Aku merindukan Hanna. Percikan perasaan ini kembali mulai berkobar secara perlahan-lahan seakan perasaan ini sudah seharusnya keluar.

Semakin malam, aku semakin tidak yakin apakah aku akan bisa melepas Hanna dari perasaanku. Hal ini memuncak ketika Hanna akan aku antar pulang ke rumah. Ada perasaan sedih yang muncul dari raut wajah Hanna. Lalu kemudian aku mengeluarkan smartphone-ku untuk mengirimkan dokumen.

Smartphone Hanna berbunyi, ia semakin menimbulkan raut wajah yang tidak mengenakkan.

"Ini beneran Mas? Mas mau nikah?"

"Iya Han. Mas mau nikah. Doain ya Han."

"Iya mas. Aku doakan..."

Suasana hening menemani kita di Mobil, dengan air conditioner yang mulai merasa dingin. Aku mencoba untuk menenangkan perasaan Hanna.

"Sebenarnya Mas nggak tega ngasih undangan kayak gini ke Hanna. Tapi memang harus aku berikan ke Hanna agar perasaan Mas tenang. Apa Hanna tidak menyadari jika Mas dari dulu sebenarnya suka dengan Hanna." Sepertinya setelah perkataanku selesai, aku mulai mendengar isak tangis Hanna. Aku merasa bersalah, tapi aku tidak bisa membuat orang lain menjadi tersakiti karena perasaanku yang masih tertinggal. Aku hanya mengelus pundaknya saja untuk mencoba menenangkannya. Isak tangis Hanna lama kelamaan mereda.

"Sebenarnya Mas, Hanna juga suka sama Mas. Sayang banget malah sama Mas. Tapi dulu Hanna nggak berani, karena nggak mau disebut sebagai perusak hubungan orang Mas. Hanna tahan untuk menjaga jarak terlebih dahulu. Hanna sengaja untuk tidak membalas pesan yang Mas kirim agar komunikasi kita ada jedanya. Aku pikir Mas bakal ngejar Hanna lagi. Tapi Aku yang bodoh Mas. Aku tidak mengira jika Mas akhirnya benar-benar tidak menghubungiku sama sekali. Aku takut menghubungi Mas. Jadi aku hanya bisa nyimpen perasaan ini selama empat tahun. Mas tahu? Hanna seneng banget tiba-tiba Mas bilang ada di dekat Hanna. Ada alasan lagi untuk bisa menghubungi Mas. Tujuannya agar kali ini aku bisa memberikan apa yang aku rasa ke Mas. Tapi semuanya terlambat ya Mas?" jawab Hanna dengan suara gemetar. Aku bingung menjawab apa. Hening kembali menemani kita berdua.

"Maafin Mas yang belum bisa pertahanin perasaan Mas ya. Sebagai laki-laki yang berpikiran rasional, mengetahui situasi itu membuatku menyimpulkan jika sudah tidak ada kesempatan lagi sama Hanna."

"Harusnya Mas gitu dong. Tapi Hanna juga salah sih, harusnya Hanna yang berani juga ngungkapin perasaan Hanna ke Mas. Tapi sekali lagi makasih ya, Mas sudah mau jujur. Hanna kali ini juga mau jujur sekali lagi kalau Hanna suka dan sayang sama Mas"

"Makasih ya Han, dan kayaknya kita cuma bisa di zona kakak adik saja. Hahahaha!"

"Ya, pokoknya Mas tetap bantuin Hanna ya nantinya. Tenang aja, Hanna ga bakal bikin cemburu pasangannya Mas. Tapi  boleh tanya sesuatu nggak Mas?" Pertanyaan yang diutarakan sedikit menggantung ada ada sedikit keraguan.

"Iya boleh, tanya aja Han."

"Mas sudah pernah ciuman sama pacarnya Mas?" Hanna menanyakannya malu-malu. Tentu saja aku tertawa terbahak-bahak. Hanna menampilkan wajah termanisnya saat tertawa. Ia memaksaku untuk segera menjawab. Namun aku tidak segera menjawabnya.

Aku mengantarkan sampai depan rumah Hanna. Kemudian ia mengajakku masuk ke dalam rumahnya, namun jam sudah menunjukkan hampir dini hari. Lalu Hanna menyuruhku menunggu sebentar dan mengeluarkan tripod. Ia memintaku untuk foto terakhir kalinya. Aku merasakan lengan Hanna menggandeng tanganku. Foto itu terlihat sangat menarik, namun aku tidak berniat memintanya.

"Jawabannya belum Han. Mas belum pernah ngapa-ngapain sama pacar Mas." Jawabku setelah pamit pulang dari rumah Hanna.

"Oke deh Mas. Makasih jawabannya." Jawab Hanna. Lalu aku meninggalkan Hanna dan menutup pagar rumahnya. Hanna teriak memanggilku. Aku menghentikan langkahku. Aku kaget karena Hanna bukan mengatakan sesuatu namun ia mengecup bibirku dan memeluk dengan erat. Apa yang dilakukan membuat perasaanku semakin berkobar. Aku membalas pelukannya dan memberikan satu ciuman di bibir Hanna. Lalu kita melepaskan pelukan secara bersamaan. Muka kita berdua sudah layaknya kepiting rebus yang berwarna merah.

"Walaupun Mas nikah sama orang lain, tapi ini hadiah dari Hanna buat Mas! Jangan dilupain, tapi jangan cerita ke siapa-siapa ya! Aku sayang kamu Mas!" Hanna berteriak sambil menghindari pandangan mataku. Aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan jika Hanna sudah masuk ke rumahnya. Hari ini sangat menyenangkan rupanya.

****

"Untuk penumpang kereta api Singasari, silahkan untuk menuju ke jalur saru. Sekali lagi, untuk penumpang kereta api Singasari, silahkan untuk menuju ke jalur satu karena kereta tersebut akan segera datang."

Mendengar suara itu membuat lamunanku buyar. Aku segera mengambil tas punggung-ku dan masuk ke gerbong kereta sesuai dengan tiket. Aku selalu duduk dekat jendela gerbong kereta api. Aku kembali memikirkan apa yang menjadi lamunanku sebelumnya.Gara-gara melihat hidden story Instagram aku teringat masa laluku. Namun hal itu membawa khayalan yang terasa sangat nyata. 

Aku rasa karena perasaan ini sangat kuat, aku sampai bisa berkhayal bisa memeluk dan mencium bibir Hanna. Namun kenyataanya, aku tidak bertemu dengan Hanna sama sekali hari ini. Aku mengajaknya pergi dan ia sibuk dengan urusannya. Kemudian aku mengirimkan undangan pernikahanku dan sampai saat ini tidak dibalas sama sekali. Centang dua di whatsapp-ku belum berubah menjadi warna biru. Mungkin Hanna memang benar-benar sibuk.

Pada akhirnya, aku harus menyelesaikan perasaan ini. Aku harus menyudahi perasaan tentang Hanna. Khayalan ini menjadi titik bahwa aku harus berhenti memikirkan Hanna. 

Lebih baik lagi, aku benar-benar harus melupakan dan merelakan kenangan bersama Hanna. Aku sudah berjanji kepada seseorang yang memang sudah menyukai diriku sejak lama. Aku sudah berjanji akan memberikan perasaan kepadanya seutuhnya. Salah satu hal yang harus aku tuntaskan adalah perasaanku terhadap Hanna. Hasilnya, lebih cepat aku dapatkan. Aku benar-benar harus melupakan Hanna.

Sehingga kita hanya akan kembali menjadi seseorang yang asing di pertemuan kita yang selanjutnya.

Sehingga tidak diperlukan lagi pertanyaan tentang kabar Hanna di setiap pagiku.

****

Aku benar-benar merelakan Hanna. Aku benar-benar mencintainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun