"Bang, lihat deh!"
Istriku memberikan ponselnya, di layar tertera gambar mangga muda.
"Sabar ya, Dek! Nunggu abang gajian, nanti kucarikan mangga paling manis eh paling asem."
Dia hanya mengangguk lemah lalu bersandar di sofa. Di kehamilannya yang pertama, tidak banyak yang dipintanya. Ngidamnya pun tidak aneh-anah, paling hanya ayam goreng yang dijual di depan minimarket. Namun kali ini dia harus lebih bersabar karena uangku menipis, sementara tanggal gajian masih 10 hari lagi.
Sorenya kupandangi pohon di sebelah masjid. Ah, mengapa aku tidak sadar kalau itu pohon mangga? Namun sanggupkah kumemintanya? Jika tak diperbolehkan oleh orang yang menanamnya, apakah aku harus mengambilnya diam-diam?
Lagipula, itu kan pohon bukan milik perseorangan. Siapa yang punya? Apa aku hanya cukup berdoa lalu minta maaf ke Tuhan karena meminta mangga yang berbuah di samping masjid?
Kusudahi pikiran burukku. Huh! Lebih baik aku cari usaha lain agar mendapatkan mangga dengan cara yang halal.
##
Besoknya aku mengeluarkan sepeda motor, hendak memanaskannya. Seorang laki-laki berkumis tebal datang, wajahnya kemerahan.
"Heh, kamu yang ambil mangga di samping masjid ya? Kemarin aku lihat kamu lihatin terus pohonnya. Istrimu mengidam kan? Ngaku aja!"
HAAAH?
Aku sigap menjawab, "Astaghfirullah, mana mungkin Pak saya mencuri. Iya saya melihat tapi ya liatin aja, bukannya mengambil. Saya gak punya galah, gak bisa memanjat. Bapak periksa sendiri di dalam rumah apakah ada mangganya?
Ia masuk lalu mengubak-ubek dapur. Wajahnya makin merah karena mangganya tidak ada.
"Ya sudah, saya permisi!"
Aku menarik nafas panjang. Untung istriku sedang beli sayur sehingga tidak mendengar keributan ini.
bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H