Mohon tunggu...
Avizena Zen
Avizena Zen Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis buku, Blogger, Penulis konten, dan Penerjemah bahasa Inggris

Penulis buku Kakeibo. Blogger. Hobi menulis, memasak, dan menggambar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis Penjual Opak

13 Juli 2023   13:43 Diperbarui: 13 Juli 2023   13:47 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bising suara kendaraan menjadi makanan sehari hari. Kontrakanku terletak di pinggir jalan. Tak pernah lengang. Waktu menunjukkan jam 2 siang. Mobil dan sepeda motor seolah beradu kecepatan. Siapa yang akan menang di jalanan kota? Kota yang makin sempit dengan pendatang dari daerah lain.

Udara panas memaksaku untuk menyeka keringat. Tak ada AC, bahkan kipas angin di rumah kontrakan ini. Aku hanya bisa mengipasi wajahku dengan lembaran koran bekas lusuh. Minimal perutku tak lagi mengaduh.

Makan angin saja. Ya, angin! Berbagai makanan mulai dari nasi padang, mie goreng, hingga bubur ayam tak mampu menaikkan nafsu makanku. Bahkan secara bercanda Bang Edu bilang ingin menyuapiku dengan sesendok vitamin penambah nafsu makan. Hah?

"Opaknya buu..opak pak..Dijamin enak"

Teriakan penjual opak itu menghentikan lamunanku. Segera ku keluar rumah.

Gadis itu cukup manis. Rambutnya yang sebahu, berpadu dengan kaos dan celana selutut yang dipakainya. Membuatku teringat akan Euis. Gadis penjual opak di serial keluarga cemara.

Ah, opak! Tiba tiba perutku berbunyi. Mungkin ia bisa jadi pengganjal lapar yang sejak kemarin kurindukan.

Aku lambaikan tangan lalu memanggilnya. Dengan terburu buru ia menyebrang jalan. Menembus jalanan yang padat dan hampir macet, setengah berlari menuju halaman rumahku.

Butir butir keringat menghiasi wajahnya yang cukup manis. Pipinya terlihat kemerahan karena terpapar sinar matahari. Ia menyeka keringatnya dengan saputangan, lalu menyorongkan plastik dagangannya.

"Silahkan mbak. Opaknya saya bikin sendiri. Tidak pedas kok. Atau mbak mau mencicipi satu dulu?"

Aku lihat sekeping opak di hadapanku. Bundar dan berwarna kecokelatan.

Air liurku muncul. Opak, dulu di jawa timur aku menyebutnya sebagai sarmiler. Entah terbuat dari apa. Mungkinkah dari singkong? Ah, apapun bahannya, aku masukkan opak itu ke mulut.

Kerenyahannya mengingatkanku akan kerenyahan suara Bang Edu. Saat pertama kali mengenalnya, suaranya merdu. Maklum ia adalah mantan penyiar radio. Setelah kopi darat, aku makin jatuh hati. Karena wajahnya seindah suaranya.

Lamunanku buyar oleh suara gadis itu. "mbak, jadi beli berapa?". Tergopoh gopoh aku merogoh uang di saku, menyerahkan selembar uang ungu nominal 10.000. Gadis itu mengangsurkan 5 keping opak.

"Terimakasih ya, hari ini dagangan saya belum laku. Makasih sudah membeli opak saya". Lalu ia pergi, berjalan pelan pelan. Tubuhnya yang kurus makin tertutupi oleh keramaian jalanan.

Gadis penjual opak itu tak tahu, bahwa teriakannya mencegahku untuk mengambil tali. Tampar yang tergantung di ruang tengah. Setelah Bang Edu memukuli punggungku, lalu tak lagi kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun