Air liurku muncul. Opak, dulu di jawa timur aku menyebutnya sebagai sarmiler. Entah terbuat dari apa. Mungkinkah dari singkong? Ah, apapun bahannya, aku masukkan opak itu ke mulut.
Kerenyahannya mengingatkanku akan kerenyahan suara Bang Edu. Saat pertama kali mengenalnya, suaranya merdu. Maklum ia adalah mantan penyiar radio. Setelah kopi darat, aku makin jatuh hati. Karena wajahnya seindah suaranya.
Lamunanku buyar oleh suara gadis itu. "mbak, jadi beli berapa?". Tergopoh gopoh aku merogoh uang di saku, menyerahkan selembar uang ungu nominal 10.000. Gadis itu mengangsurkan 5 keping opak.
"Terimakasih ya, hari ini dagangan saya belum laku. Makasih sudah membeli opak saya". Lalu ia pergi, berjalan pelan pelan. Tubuhnya yang kurus makin tertutupi oleh keramaian jalanan.
Gadis penjual opak itu tak tahu, bahwa teriakannya mencegahku untuk mengambil tali. Tampar yang tergantung di ruang tengah. Setelah Bang Edu memukuli punggungku, lalu tak lagi kembali.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI