Becak berhenti di depan pasar. Namun? Aah, mengapa seperti ini? Tak ada lagi kegagahan Pasar Sumber Waras. Yang ada hanya sisa tembok yang berwarna kehitaman. Kutanya ke ibu warung, katanya pasar habis terbakar,mkira-kira sebelum subuh. Menurut kabar, pasar sengaja dibakar karena akan dibangun pasar modern yang lebih rapi dan mentereng.
Karim? Di mana kau? Apakah kau ikut terbakar? Aku bergegas masuk ke pasar yang sudah kehilangan sukmanya. Seng tergeletak tak beraturan. Puing-puing kios bertumpuk dari sisi kanan ke kiri. Aku nekat membuka tumpukan bata, berharap Karim ada di dalamnya. Karim, yang selalu rajin, datang sebelum pasar resmi dibuka. Biasanya jam 3 pagi, pas dengan waktu kebakaran.
Karim, kau di mana? Jangan tinggalkan aku? Karim, apakah kau selamat? Apakah kau tak tahu bahwa aku sangat mencintaimu? Walau kau hanya pedagang lele, tetapi berhasil mengiris-iris hatiku dengan senyuman sinis. Saat aku mencoba merayu dan memainkan rambut ikalku.
**
Dua tahun setelah pasar Sumber Waras terbakar. Digantikan dengan bangunan pasar modern yang berlantai tegel putih dan berventilasi, hingga pelanggan makin nyaman. Bahkan ada esklator untuk menghubungkan antar lantai di dalam pasar.
Gagahnya pasar modern kontras dengan kondisi di belakangya. Tetap saja ada warung kumuh, bangunan yang terbuat dari setengah bata setengah anyaman bambu, dan tempat pembuangan sampah sementara. Di sudut bak sampah, aku terus menangis. Karim! Di mana engkau! Aku terus menceracau dan orang-orang melemparkan pandangan aneh, sambil berteriak bahwa aku gila. Karena setelah pasar terbakar, ada undangan dari Karim yang menikah dengan putri Mbah Kuning.
Karim, di mana engkau? Mengapa kau tak membalas cintaku?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H