Karim tetap serius saat membersihkan lele pesanan pelanggan. Ia tak mempedulikan cipratan darah dan licinnya tubuh ikan berwarna hitam. Kurasa ia punya kecerdasan di atas rata-rata, karena selalu ingat apa pesanan pelanggan.Â
Seperti aku yang selalu minta lele yang tidak dipenggal kepalanya, tetapi hanya setengah putus dan sudah dibersihkan isinya. Tiap hari aku melihatnya mengiris badan lele yang telah menggelepar tanpa perlawanan, tetapi sama sekali tidak membosankan.
Aku coba melemparkan senyum manis ke wajah Karim, tetapi ia tetap saja tenang. Padahal aku telah mengganti lipstik merah darah kesayanganku menjadi berwarna lebih lembut. Tetapi ia tidak memperhatikannya. Huh! Dasar lelaki!
Padahal telah kuhabiskan malam-malamku untuk pergi ke rumah Wak Dukun, meminta doa pengasihan. Agar wajahku seindah rembulan dan tiap orang memberiku berbagai hadiah tanpa berpikir panjang. Namun apakah pelet ini kurang ampuh? Padahal sudah kutambah dengan susuk emas yang dimasukkan ke sela-sela mata dan juga pipi. Haruskah aku mengambil sedikit rambutnya dan pergi ke dukun lain untuk mencari aji-aji yang lebih mujarab?
Karim tetap diam dan menyelesaikan tugasnya. Mengapa susuk dan pelet ini tidak membuatnya tergila-gila? Padahal demi Karim, aku rela berpanas-panasan di pasar, mengantri dengan pelanggan lain. Tak kupedulikan aroma berbagai jenis bumbu di kios sebrang.
Aku sengaja menggoyangan pinggul agar Karim melihat aksiku, tetapi yang terkena efeknya malah preman pasar! Oh tidak, ia mengajakku kencan.Mengapa, oh mengapa? Jadi salah sasaran. Jangan sampai Karim tahu dan mengira aku berpacaran dengan sang preman.
Setelah pesananku selesai, saatnya belanja cabe. Ingin rasanya kukecup pipi Karim, tetapi tentu malu saat dilihat banyak orang di pasar. Bisa-bisa kami akan dikawinkan eh dinikahkan. Wah, senang dong? He-he-he. Tetapi tidak ah, biarlah dia yang mengejarku, bukan aku yang terus menggodanya dengan senyuman nakal.
Di kios cabe, sang bibi penjual menyerahkan pesananku. Ia selalu ingat bahwa aku butuh setidaknya 1 kg cabe tiap hari. Masih dibonusi 2 bungkus ketumbar bubuk. Katanya biar aku tidak berpindah ke penjual cabe lain. Padahal di kios baju atau kios bubur mutiara, penjualnya saling mendukung. Saat tidak ada barangnya, mereka malah merekomendasikan ke kios yang lain. Aneh! Biar sajalah, untung aku berjualan di warung, bukan di pasar yang sempit dan panas.
Setelah belanja dan naik becak, akhirnya aku sampai di kios. Saatnya membersihkan lele di bawah air mengalir. Lalu, lele dibumbui dengan sederhana, hanya garam, ketumbar, kunyit, dan bawang putih. Wajan besar kusiapkan dan kutuang minyak, menunggu panas. Lele sudah tak berdaya di dalamnya, sebentar lagi siap disantap oleh pelanggan.
Warungku cukup ramai, dan banyak pelanggan yang menggodaku. Katanya karena aku masih perawan ting-ting. Meski banyak yang mencoba memperistriku, tetapi aku tetap setia pada Karim. Mengapa harus memendam cinta seperti ini? Apakah cinta itu menyakitkan?
**
Keesokan harinya, dengan semangat aku berangkat ke pasar. Rasanya kursi becak lebih empuk daripada biasanya. Bagaikan naik mobil sedan keluaran terbaru. Semua gara-gara Karim. Hatiku jadi berbunga-bunga, bagaikan kembali jadi ABG yang merasakan cinta pertama.