Mohon tunggu...
Aeron Brusen
Aeron Brusen Mohon Tunggu... Koki - Science Fiction Writer

Seorang aspire writer dengan spesialisasi di bidang Fiksi Ilmiah atau Science Fiction.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Xeroser

6 September 2024   16:32 Diperbarui: 6 September 2024   20:08 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

    17 Agustus 2045, seluruh rakyat Indonesia tenggelam dalam euforia kemerdekaan. Namun, seratus tahun merdeka bukanlah satu-satunya alasan mereka berbahagia.

    Setelah berselisih cukup lama, Indonesia dan kelompok separatis Papua akhirnya sepakat untuk berdamai. Dengan kesepakatan ini, harapan akan berakhirnya teror dan konflik berdarah mulai terlihat. 

    Akan tetapi, kesepakatan damai terancam gagal setelah tersiar kabar: "Nkawu. Sebuah desa di perbatasan Papua lenyap dalam semalam." Tensi kembali memanas, kedua pihak saling menuduh. 

    Maruna, seorang dosen Geologi UI, sedang mengajar saat ia disambangi sekumpulan tentara di kelasnya. Satu kampus seketika heboh. Desas-desus beredar liar di antara mahasiswa: "Bu Maruna terindikasi punya hubungan dengan kelompok separatis." Semua orang tahu bahwa ia putri asli Papua yang berprestasi. Gelar profesor diselesaikan di Jerman. Penelitian dan jurnal-jurnal ilmiahnya diakui kalangan ilmuwan dunia. Semuanya ia raih di usia yang terbilang masih muda, 28 tahun. 

    Spekulasi liar berubah menjadi keniscayaan saat mahasiswa mendengar kabar bahwa Bu Maruna pulang ke Papua. Sebenarnya, semua spekulasi dan tuduhan itu tidak benar.

    "Maafkan kami terburu-buru seperti ini, Bu. Detailnya akan kami jelaskan saat kita tiba di Jayapura," jelas seorang tentara.

    Selama enam jam perjalanan, Maruna membaca pesan singkat dari mahasiswa dan rekan dosennya. Mereka semua khawatir, dan menanyakan bagaimana keadaan Maruna—sebagian meminta penjelasan atas apa yang sebenarnya terjadi.

    Maruna tidak menggubrisnya. Ia mengerti, kejadian ini harus dirahasiakan dari masyarakat umum. Sebenarnya, ia sendiri pun belum mengerti alasan utama penjemputan mendadak seperti ini. 

    Dua hari setelah tiba di Jayapura, Maruna dibawa ke KODAM Cendrawasih. Di dalam ruangan redup yang dipenuhi anggota TNI, ia duduk bersama lima orang peneliti di barisan kursi paling depan. PANGDAM Cendrawasih menjelaskan detail kejadiannya di hadapan mereka.

    "Ini citra satelit Desa Nkawu dua hari sebelum hari kemerdekaan. Tidak ada yang aneh, semuanya normal. Dan yang satu ini, setelah 17 Agustus. Hanya dalam satu malam, Desa itu lenyap."

    "Izin bertanya, Pak. Apakah ini akibat dari serangan kelompok separatis?" tanya Maruna.

    PANGDAM menggeleng kepalanya. Tidak semua pihak mengetahui kebenaran ini. Untuk menjaga nama dan harga diri bangsa, Indonesia menuduh kelompok separatis sebagai dalang kejadian ini. Dengan dukungan dari dinas intelijen, media-media besar di seluruh tanah air memberitakan propaganda sesuai dengan instruksi yang diterima. 

    "Seperti yang kalian lihat. Desa Nkawu, beserta hutan hutan-hutan di sekitarnya berubah menjadi debu. Kelompok separatis tidak mungkin melakukan ini. Mustahil."

    Keesokan paginya, Maruna bersama tim ekspedisi peneliti berangkat ke perbatasan Papua menggunakan helikopter. 

    Di dalam helikopter, Maruna memandangi pemandangan hijau yang mulai memudar seiring mereka mendekati lokasi Desa Nkawu. Ketegangan mulai menyelimuti, dan keheningan di antara anggota tim menggambarkan betapa seriusnya situasi ini. Mereka berusaha fokus dengan mempersiapkan peralatan, tetapi pikiran mereka tertuju pada apa yang sedang menunggu di bawah sana. 

    Saat helikopter mendarat, mereka tercengang dengan pemandangan tanah kosong yang dulunya menjadi tempat dari rumah-rumah sederhana. Dada Maruna seketika sesak ketika membayangkan nasib anak-anak di Desa itu.

     Ia lahir dan besar di kampung pedalaman Papua. Ia khawatir, kalau mereka gagal menemukan penyebab hilangnya Desa Nkawu, kampung halamannya akan bernasib sama.

     Maruna melangkah keluar dengan hati berdebar. Dari tempatnya berdiri, ia memandang hamparan debu dengan penuh tanda tanya. Terbersit di bayangannya, tawa sekumpulan anak-anak berlarian dan bermain. 

    "Siapa yang melakukan ini?" bisiknya. 

    TNI yang mengawal tim peneliti bergegas membangun tenda darurat. Para peneliti bergegas mengumpulkan sampel dari berbagai titik. Tanpa membuang waktu, Maruna mengeluarkan mikroskop portabel, dan mengambil sampel kristal debu berwarna kemerahan di bawah kakinya. Maruna mengusap keningnya berulang kali, merasakan keringat dingin mengalir. Sesekali, ia menulis sesuatu di atas kertas. Kristal debu itu membuat raut wajah Maruna penuh dengan keraguan, seolah ada rahasia besar yang menuntut untuk diungkap—dan waktu terus berjalan. 

    Menjelang sore, tentara pengawal meminta para peneliti untuk kembali ke helikopter. Sesuai dengan instruksi keamanan, mereka harus kembali ke markas TNI terdekat untuk bermalam. 

    Malam itu, Maruna dan para peneliti tidak tidur, tetapi berdiskusi dan saling bertukar data, sesuai dengan bidang ilmu masing-masing. Wajah mereka seketika pucat setelah data yang mereka kumpulkan dianalisa oleh komputer. Bayangan khawatir tergambar di mata mereka. 

    Maruna kembali teringat dengan catatan yang ia tulis siang tadi: "Kandungan oksida besi dengan jumlah yang sangat tinggi." Lahan subur khas Papua, hanya dalam semalam, tiba-tiba berubah menjadi kristal debu dengan kandungan oksida. Dengan kata lain: Berkarat. 

    "Saya tidak ingin mengatakan ini, tapi sebagai seorang ahli astrofisika, saya harus mengatakan kalau sampel debu yang kita teliti bukan partikel yang berasal dari bumi," ujar seorang peneliti, suaranya bergetar. 

    Maruna mengangguk, mendukung statemen itu. Sebagai ahli geologi, ia sudah menyadari ada yang aneh sejak awal. 

    "Sekarang yang menjadi pertanyaan, kenapa partikel debu dari Planet Mars bisa sampai ke tempat ini?" Matanya tajam menatap layar komputer yang selesai menganalisis data partikel debu yang mereka bawa—analisis komputer menunujukan kesamaan data komposisi tanah bebatuan di Planet Mars dan partikel debu di Desa Nkawu. 

    "Apa pun itu. Harus kita selediki lebih lanjut," kata Maruna, napasnya tersendat. "Jika benda ini benar asalnya dari luar angkasa, kita perlu mendiskusikannya dengan pihak yang berwenang. Kita harus hati-hati. Ini bisa jadi isu yang sensitif di tengah masyarakat."

    Ruang laboratorium darurat itu terasa semakin pengap, seolah-olah menyimpan rahasia yang terlalu besar untuk ditangani. Maruna merasakan ketegangan yang menggantung di udara, menunggu jawaban yang mungkin mengubah segalanya.

    Esok paginya, mereka kembali ke Desa Nkawu. Betapa kagetnya mereka melihat kondisi kemah yang ditinggalkan telah hancur berantakan. Tiang-tiang rubuh, terpal berhamburan, kursi dan meja patah. Seolah menjadi penanda atas apa yang mereka takutkan semalam. 

    Maruna menunggu di helikopter sampai tendanya selesai dibangun ulang oleh anggota TNI. Peneliti lain sudah sejak tadi bergegas ke luar.

    "Bu Maruna, lihat ini," panggil salah satu anggota peneliti. "Lihat, ada residu radiasi di sini."

    Maruna terkejut dari lamunannya. "Radiasi? Dari mana? Apa mungkin ada bebatuan yang memancarkan radiasi dari bawah tanah?" 

    "Entahlah. Perasaanku tidak enak sejak tadi. Sebaiknya kita mulai berhati-hati."

    Maruna kembali ke helikopter setelah mengambil sampel debu di tempat yang mengandung radiasi. Ia terperangah, matanya membesar saat menyadari partikel debu ini diselimuti oleh medan energi yang bergetar. 

    Ketika hendak turun dari helikopter untuk memberitahukan temuannya, langit tiba-tiba gelap. Maruna menengadah dan menyaksikan sekumpulan awan tampak turun perlahan ke bumi. Keadaan sekitar yang tadinya cerah, tiba-tiba menjadi berkabut. Gemuruh yang menggelegar membuatnya menutup telinga, suara itu begitu memekakan, seolah alam sedang marah. Seketika, suasana yang tadinya hening, berubah menjadi mencekam. Menumbuhkan rasa cemas yang mulai merayapi Maruna.

    Tak lama kemudian, suara tembakan pecah dari arah tenda, Maruna tersentak kaget. Ia tidak berani keluar karena mendengar jeritan kesakitan dari tentara di sekitaran tenda. Cahaya terang berwarna kebiruan beberapa kali terpancar dari sana. Mendadak, semuanya kembali hening. 

    Berpikir dirinya aman, Maruna tak sadar ada sosok bertubuh jangkung menatapnya dari luar jendela helikopter. Ia menjerit sekuat tenaga saat makhluk itu memegang kakinya dan menyeretnya keluar dari helikopter. 

    "Katakan. Apa yang kalian cari." Tiba-tiba, suara bergema menyelimuti kepala Maruna. Seolah makhluk ini berkomunikasi melalui telepati. 

    Maruna meraung memohon ampun. Ia tidak sanggup menatap makhluk asing di hadapannya. Bibirnya bergetar, tubuhnya bergetar, pikirannya kalut. 

    "Untuk mencari jawaban," jawabnya dengan napas terengah. 

    Makhluk itu menyentuh kepala Maruna. Dalam sekejap, bayangan saat Desa Nkawu yang menghilang muncul di benaknya. Gambaran yang muncul menjelaskan tentang kejadian malam itu—bagaimana mereka datang dan mengubah seluruh Desa Nkawu menjadi debu dalam sekejap mata. Cahaya putih yang ditembakan dari bagian bawah pesawat angkasa mengubah apa saja yang disentuhnya menjadi partikel debu. 

    Maruna akhirnya menyadari, makhluk-makhluk ini berasal dari sebuah planet jauh yang peradabannya sangat maju. Mereka terpaksa melakukan ini; planet mereka sekarat, satu-satunya cara bertahan hidup adalah dengan mengambil unsur kehidupan planet lain. Mereka telah melakukan hal yang sama pada planet Mars seratus ribu tahun yang lalu. 

    Semua bayangan itu lenyap ketika makhluk jangkung berhenti menyentuh kepala Maruna. Ia kembali ke pesawat angkasanya, meninggalkan Maruna dalam kesunyian yang mencekam. 

    Di kejauhan, Maruna hanya bisa berlutut. Tubuhnya lemah dan hampa. Ia mengatup tangan, menutup mata, dan mengingat semua yang ia cintai—sanak saudara di kampung halaman, orang-orang yang membantunya meraih kesuksesan, mahasiswa pembuat onar yang selalu mewarnai hidupnya; semuanya akan sirna.  

    Dengan air mata yang mengalir, ia berdoa untuk terakhir kali, berharap agar jiwa-jiwa yang hilang tidak terlupakan, sebelum tubuhnya perlahan hancur menjadi partikel debu, dan menyatu dengan hamparan tanah kosong Desa Nkawu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun