Mohon tunggu...
Budi Kurnia
Budi Kurnia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ayo, Bung! Rebut Kembali Kemerdekaan di Garis Pantai

2 Agustus 2017   17:53 Diperbarui: 3 Agustus 2017   05:11 836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan Agustus adalah bulan yang sangat spesial dan bermakna bagi seluruh rakyat Indonesia, bagaimana tidak pada bulan ini bangsa Indonesia merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Dibawah panji Sang Saka Merah-Putih, Indonesia menyatakan sebagai negara yang berdaulat,  dan di akui keberadaanya oleh dunia Internasional. Kita patut berbangga, Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945. Kemerdekaan tentu merupakan pencapaian yang heroik, akan tetapi perjuangan tidak berhenti sampai disitu. Karena tujuan utama dari berBangsa dan berNegara belum lagi tercapai hingga saat ini. Kemerdekaan 1945, merupakan sebuah langkah awal, yang sudah didahului oleh para pahlawan bangsa, sehingga kita terbebas dari belenggu penjajahan bangsa asing.  

Perjuangan merebut kemerdekaan masa itu tentu lebih berat dan berdarah-darah. Kini, sebagai generasi penerus; merawat, menjaga, mengisi dan memaknai kemerdekaan tersebut, tentu sudah menjadi kewajiban kita bersama. 72 tahun sudah Indonesia Merdeka, saya pikir, usia bangsa ini tidak lagi muda. Sejauh ini, adakah kita sudah benar-benar merdeka? Jika belum, lantas kapan bangsa ini mencapai Kemerdekaan yang hakiki?

Pun setelah kemerdekaan, kita tahu ada berbagai persoalan bangsa menunggu. Bukannya mengerucut, semakin kesini, malahan persoalan yang kita hadapi semakin bertambah. Ambil contoh kasus  kelangkaan garam yang terjadi akhir-akhir ini, sehingga pada awal bulan agustus ini garam asal Australia akan membanjiri tanah air. Sah-sah saja pemerintah membuka kran impor  garam dari luar negeri, untuk memenuhi kebutuhan industri dan pasar rakyat di Indonesia. Saya sebetulnya setuju langkah pemerintah, dan ini bukan persoalan yang pelik, tapi sejujurnya kebijakan impor garam ini sangat menggelitik nurani saya, nyaris tidak masuk kedalam akal sehat.

Memang, tantangan yang dihadapi bangsa dalam mengisi kemerdekaan tentunya tidak mudah. Ibarat bayi yang baru saja lahir, mencoba merangkak tatkala ubun-ubun masih lunak, berusaha mengejaa setiap tingkah pola, laku dan gerak --bangsa lain yang lebih dahulu merdeka dan maju, lalu kemudian berdiri tegak, sehingga pada kaki sendiri kita berpijak.

Selaku anak bangsa, saya berani mengatakan, bahwa bangsa Indonesia belum menemukan jati dirinya sebagai bangsa yang merdeka dan mandiri, terutama secara ekonomi. Bahkan sekedar memproduksi garam, yang merupakan kebutuhan bahan makanan saja kita tidak mampu, bergantung kepada Negara lain. Dalam kasus ini, dimana letak kemerdekaan petani petambak garam akan kita sematkan? Justeru saya melihat, perjuangan bangsa Indonesia masih dan akan terus berlangsung sampai beberapa puluh tahun kedepan. Artinya, cita-cita proklamasi belum akan tercapai dalam waktu dekat. Indonesia masih sedang berproses menuju kearah itu, yakni  sebuah Negara yang betul-betul Merdeka, terutama secara ekonomi. Belum lagi merdeka secara sosial, politik, agama dan berbagai aspek lainnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kembali pada petani petambak garam. Sudah sewajarnya para petani petambak garam hidup sejahtera saat ini. Bayangkan betapa bahagianya petani petambak garam jika mereka bisa mengolah sendiri, menghasilkan garam yang berkualitas tinggi, punya daya saing, bahkan bisa untuk diekspor? Bukan seperti yang terjadi sekarang ini, menjadi petani garam tidak lagi menjanjikan, hasil panen tidak maksimal akibat seringnya panen dini, kondisi pasar tidak stabil, diperparah dengan kebijakan impor garam oleh pemerintah. 

Rencananya pemerintah akan impor garam sebanyak 75. 000 ton. Alhasil, kondisi yang sudah parah ini sangat memukul petani garam lokal. Maka, mau tidak mau, petani garam harus menerima kenyataan hidup yang stagnan, biasa-biasa saja, berpenghasilan pas-pasan pun untuk melanjutkan hidup, menutupi biaya kebutuhan hidup setiap harinya di Negara Indonesia yang katanya telah Merdeka ini. Bahkan tidak sedikit juga yang banting setir mencari sumber pendapatan di sektor lain.

Indonesia memiliki sumber daya alam yang cukup. Khusus untuk petani garam, Indonesia memiliki garis pantai dan laut yang luas, terhampar dari Sabang sampai Merauke, bahkan garis pantai Indonesia merupakan garis pantai terpanjang di Dunia. Dari segi Sumber daya manusia, Indonesia mumpuni dan teruji. Dalam dunia pertanian, sejak zaman nenek moyang dahulu, penduduk Indonesia tidak perlu diragukan.  Bisa dikatakan bangsa ini lahir dari tangan petani, maka dari itu, tidak akan kesulitan jika  sekarang pun masih banyak yang harus menjalani hidup sebagai petani. Lantas dimana lagi letak kekurang kita, sehingga kelangkaan garam bisa terjadi?

Adalah pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan petani garam lokal. Sebagai pengelola Negara saya pikir pemerintah belum bekerja secara maksimal. Kalau saja pemerintah kita jeli, kelangkaan garam sepertinya bisa dideteksi sejak awal. Impor garam bukanlah satu-satunya solusi menyikapi kondisi ini, bisa juga dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas garam lokal, sehingga terpenuhinya  kebutuhan garam industri, juga garam rakyat. Harapan saya, pemerintah supaya lebih memperhatikan nasib petani kita. 

Cilakanya, pemerintah Indonesia lalai, bahkan cenderung menimpakan kesalahan pada kondisi alam yang berubah-ubah, seperti anomali cuaca yang belakangan sering  terjadi. Atau, Pemerintah lempar bola liar ke media, dengan menduga-duga seolah adanya permaianan dan keterlibatan para kartel garam, sehingga stok garam dalam negeri menipis, sehingga pemerintah harus mengambil tindakan impor garam. Setidaknya, statemen seperti itu sudah disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan, yakni Susi Pudjiastuti di pelbagai media nasional dewasa ini. Ia mengatakan kebocoran garam impor menjadi salah satu modus kartel garam. 

Melalui tulisan ini, saya mencoba memerdekakan pikiran, saya tidak akan ikut menduga-duga seperti yang dilakukan Ibu Susi. Saya cenderung melihat pada fakta yang terjadi sekarang, jumlah petani garam lokal mengalami penurunan dari tahun ketahun. Pada lima tahun ini saja misalnya, penurunan jumlah petani garam menurun drastis, yakni 30.668 jiwa pada 2012, menjadi 21. 056 jiwa pada 2016.

Tidak dinafikan pula, pemerintah sebenarnya sudah memiliki program untuk petani garam, yakni Pengembangan Usaha Garam Rakyat (PUGAR). Namun implementasinya tidak berjalan maksimal. Sikap pemerintah melakukan impor garam, dinilai mematikan hajat petani garam local. Sesuai data ekonom Indef (Institute for Development of Economics and Finance), Bhima Yudhistira Adhinegara, setidaknya ada sekitar 8.400 petani garam yang alih profesi. Sebagian besar menjadi buruh kasar, atau pekerjaan informal lainnya, dan berkonstribusi terhadap fenomena migrasi kemiskinan dari desa ke kota. Ironisnya, kondisi ini terjadi menjelang Negara Kesatuan Republik Indonesia akan merayakan hari Kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 2017 mendatang. Merdeka! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun