Mohon tunggu...
Haeruddin Zulbahara Zamani
Haeruddin Zulbahara Zamani Mohon Tunggu... -

Nothing special with me. just an ordinary people....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

K.A.R.M.A...? (Bag. 6)

25 November 2010   13:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:18 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

YANG TERSEMAI NAMUN TAK MENUAI

Agustus.

Hujan menyambang lebih awal. Derainya membasahi bumi anoa. Sekedar membasahi. Tidak membuat becek tanahnya yang merah bata. Akhir-akhir ini, ia merinai pelan seolah langit biru menitikan air matanya. Bersedih, untuk sebuah alasan.

Cukuplah ia menyegarkan rerumputan yg menguning melayu diterpa terik mentari kemarau. Aku menyukai aroma basah tanah dan rerumputan yg tersentuh tetes tangis angkasa, membuatku merasa berada didunia lain. Dunia dimana aku dapat berbaring diantara ilalang dan mendengarkan lirih suaranya saat angin menyentuh helai dedaunnya lalu memandang angkasa biru yang melingkar diatas sana. Kadang awan putih bergumul diantaranya, memberi corak putih ditengah birunya langit. Kadang burung camar terbang beriringan mencolek lembut mega-mega diatas sana menjadi sketsa indah yang tercapture indra penglihatanku. Syahdu.

sebaliknya, aku sangat tidak menyukai aroma jalanan beraspal yang menguapkan titik hujan seketika setelah ia menyentuhnya. Aroma pekatnya membuat pening kepalaku. Kupikir mengendusnya dalam dosis tinggi dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan otak. Karna itulah, pada cuaca semacam itu, banyak berkeliaran anjing gila. Mereka terlalu lama mengendus bau aspal yang menguapkan panasnya.

Ada satu hal yang istimewa tentang Agustus bagiku, selain kemeriahan Dirgahayu Negeriku tentunya. Agustus adalah bulan dimana aku menghirup udara bumi, setelah delapan bulan terdekap hangat rahim ibuku. Yah, delapan bukan sembilan. Sebab aku terlahir prematur.

Aku ingat bapakku berkisah, aku terlahir dalam kondisi yang menyedihkan. Kecil, layu dan kurus kering. Kakek, dan paman-pamanku sibuk menerka, seberapa lama Ae kecil sanggup bertahan menghirup udara dimuka bumi. Melampaui beberapa senja atau hanya sekali dua kali tarikan napas.

Bapakku yang malang, ia dekap bayinya yang bahkan tak menangis karna tak tak kuasa. Ia berdoa, jika memang bayinya bisa melalui malam setelah ia dilahirkan, maka ia berumur panjang. Sebaliknya, jika memang bayi mungilnya itu tak berezeki dengan hidup, maka dilepaskan dengan ikhlas sebelum rasa cintanya pada bayinya membukit.

Malam itu, Ae mungil melewati malam pertamanya bernapas dimuka bumi dalam dekap bapaknya yang berlinang air mata cemas.

..................

Purnama penuh malam itu. bulan berbentuk sempurna. Cahayanya benderang menjalar dipermukaan bumi, menjamahnya hingga kesudut-sudut yang temaram. Bahkan, cahayanya merembes manja disela-sela jendalaku yang tak berkaca. Kusibak kain horden, mempesilahkannya bertamu diruang kamarku yang pengap. Dari jendelaku rembulan terlihat Elok, seumpama gadis yang bersolek dan meramu merona.

"Ah Diah, pernahkah meski Cuma sekali kau menyukai purnama seelok ini..."

Angin berhembus pelan membisikku, aku memejam mata. Kutemui dirinya dalam sibak kabut imajiku. Dia tersenyum. Pernah sekali....

Aku menanti gelisah, peluhku membanjiri sekujur tubuhku. Berkali bangkit, berjalan hilir mudik lalu kembali duduk memeluk lutut. Didepanku alang-alang bergoyang, menari bersama musik yang didendangkan alaw lewat semilir anginnya.

"Diah ingin bertemu, Petang ini ..."

Laksmi menjumpaiku pagi sekali. Ekspresi wajahnya datar, ia palingkan wajahnya seolah tak sudi menatapku.

"Stadion Lakidende, Pintu utara...." Katanya dan berlalu dalam boncengan yoko. Meninggalkanku yang diam terpaku tak bergeming. Sayup kudengar yoko mengucap salam perpisahan.

Langit hampir menggelar jubah hitamnya. Dibarat, kemilau jingga mentari meredup beralih kelabu ketika sosok yang kurindui itu berjalan diantara hembus bayu yang pelan menyejukan. Wajahnya menirus pucat, tubuhnya layu namun tak mengusir gurat kecantikan yang dilukiskan sang kuasa. Matanya beningnya hampa meredup. Ia berhenti melangkah. Seolah enggan mendekat padaku, ia berada beberapa kaki dariku. Menatapku dengan binger matanya yang syahdu. Kami saling menatap, membisu. Semilir angin berhembus, mengantar senja megamit pulang kelambu gelap malam kepada kami. Lirih suaranya yang terdengar, menghentikan duniaku.

Bersambung.....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun