"Ah Diah, pernahkah meski Cuma sekali kau menyukai purnama seelok ini..."
Angin berhembus pelan membisikku, aku memejam mata. Kutemui dirinya dalam sibak kabut imajiku. Dia tersenyum. Pernah sekali....
Aku menanti gelisah, peluhku membanjiri sekujur tubuhku. Berkali bangkit, berjalan hilir mudik lalu kembali duduk memeluk lutut. Didepanku alang-alang bergoyang, menari bersama musik yang didendangkan alaw lewat semilir anginnya.
"Diah ingin bertemu, Petang ini ..."
Laksmi menjumpaiku pagi sekali. Ekspresi wajahnya datar, ia palingkan wajahnya seolah tak sudi menatapku.
"Stadion Lakidende, Pintu utara...." Katanya dan berlalu dalam boncengan yoko. Meninggalkanku yang diam terpaku tak bergeming. Sayup kudengar yoko mengucap salam perpisahan.
Langit hampir menggelar jubah hitamnya. Dibarat, kemilau jingga mentari meredup beralih kelabu ketika sosok yang kurindui itu berjalan diantara hembus bayu yang pelan menyejukan. Wajahnya menirus pucat, tubuhnya layu namun tak mengusir gurat kecantikan yang dilukiskan sang kuasa. Matanya beningnya hampa meredup. Ia berhenti melangkah. Seolah enggan mendekat padaku, ia berada beberapa kaki dariku. Menatapku dengan binger matanya yang syahdu. Kami saling menatap, membisu. Semilir angin berhembus, mengantar senja megamit pulang kelambu gelap malam kepada kami. Lirih suaranya yang terdengar, menghentikan duniaku.
Bersambung.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H