Mohon tunggu...
Adyatama Nugraha
Adyatama Nugraha Mohon Tunggu... Psikolog - S1

Halo

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Panopticon Jeremy Bentham

29 Mei 2023   15:39 Diperbarui: 29 Mei 2023   15:44 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai seorang filsuf, Bentham menyisipkan pandangan hukumnya yang mementingkan nilai-nilai etis-moral di dalamnya. Etika dan moralitas menjadi dasar dalam membangun pandangan tentang hukuman yang adil. Dalam konteks hukuman yang adil, perlu diperhatikan maksud baik di balik penerapan hukuman terhadap pelanggar hukum. Yang terpenting adalah memastikan motivasi para penegak hukum dalam menghukum pelaku berasal dari niat yang baik. Hukuman yang adil bukan berarti tidak memiliki konten nilai moral-etis di dalamnya. Hukuman yang adil, meskipun ditujukan untuk menghukum pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku, harus dilaksanakan dengan standar etis-moral yang baik. Penerapan hukuman oleh hakim di pengadilan bukanlah semata-mata untuk menghukum pelaku, tetapi untuk melindungi moralitas dan nilai-nilai etis dalam realitas kehidupan. Dengan demikian, seorang hakim harus terhindar dari keterbatasan perspektif di mana hanya menghukum seseorang tanpa kesadaran moral-etis di dalamnya. Jika seorang hakim menjatuhkan hukuman tanpa kesadaran moral-etis, keputusan tersebut akan kurang adil bagi pelaku. Keputusan hukum harus didasari oleh nilai etika dan niat baik untuk kebaikan pelaku di masa depan. Prinsip etis-moral harus dipegang teguh oleh para eksekutor hukum, seperti hakim. Artinya, mereka harus menjalankan tugas memvonis pelaku bukan hanya dengan mengikuti teks dokumen hukum yang telah tertulis dengan rapi, tetapi yang terpenting adalah memahami makna yang terkandung di dalamnya. Menjatuhkan vonis hanya berfokus pada teks hukum tanpa kesadaran etis-moral di dalamnya sama artinya dengan tindakan yang tidak konsisten dan tidak manusiawi terhadap individu. Oleh karena itu, penting untuk menanamkan kesadaran etis mendasar pada hakim atau siapapun yang menjalankan tugas memvonis atau memberikan hukuman terhadap pelanggar hukum. 

Penjara atau lembaga pemasyarakatan dianggap sebagai tempat pelaksanaan hukuman yang juga berperan sebagai pendidikan moral. Di penjara, pelaku mengalami proses pemurnian moral. Ini berarti di penjara, pelaku harus diberikan pendidikan spiritual dan moral yang memadai agar mereka dapat kembali menjadi individu yang baik di masyarakat. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pelaku telah mengabaikan kewajiban moral mereka sebagai individu yang baik di masyarakat dengan melanggar hukum. Oleh karena itu, penjara menjadi tempat rehabilitasi moral. Sejauh ini, penjara dianggap menjalankan fungsinya sesuai dengan teori utilitas rehabilitasi. Oleh karena itu, penjara di setiap negara harus melaksanakan hukuman secara manusiawi demi keadilan bagi pelanggar hukum itu sendiri, yang berhak diperlakukan sebagai manusia. Perlu diterapkan konseling konstruktif, terapi penyembuhan, pendalaman spiritual, dan kegiatan sosial yang memperkuat kembali martabat kemanusiaan mereka yang telah terjerumus dalam pelanggaran hukum. Hakim dan penjara harus tetap menerapkan prinsip-prinsip etis-moral terhadap pelanggar hukum. Hal ini penting untuk mencegah munculnya tindakan agresif di penjara yang dapat menyebabkan trauma berkelanjutan pada narapidana. 

Kesimpulan

Bagaimana kita dapat memastikan bahwa suatu praktik hukuman dianggap adil dan dapat dibenarkan telah menjadi pertanyaan kritis yang terus diperdebatkan di seluruh negara dalam masyarakat kontemporer. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa praktik hukuman yang benar-benar adil bagi manusia masih harus terus diperjuangkan dalam sistem hukum di berbagai negara di dunia. Terlalu sering, karena kesalahan manusia, para pelaksana hukum mengabaikan mekanisme praktik hukuman yang adil terhadap subjek terhukum. Akibatnya, praktik hukuman tidak memberikan manfaat yang diharapkan, malah dapat membawa risiko yang lebih buruk bagi subjek terhukum. Dalam momentum saat ini, kesadaran baru tentang pentingnya praktik hukuman yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, etis-moral, dan nilai utilitas atau manfaat harus terus diperjuangkan dan dipahami oleh para penegak hukum.

Setiap penegak hukum harus selalu menyadari pentingnya hukuman yang mempertimbangkan nilai-nilai ini. Kita dapat mencermati dan mengambil inspirasi dari pandangan kaum utilitaris, terutama pemikiran Jeremy Bentham yang telah dikaji dalam tulisan ini. Bentham mengembangkan sebuah teori yang relevan dan berarti sepanjang masa tentang praktik hukuman yang adil bagi subjek terhukum. Ia menjabarkan pokok-pokok pemikiran tentang hukuman yang adil dari perspektif utilitas atau prinsip kemanfaatan. Menurut Bentham, setiap bentuk hukuman yang adil adalah hukuman yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi subjek pelanggar hukum itu sendiri di masa depan.

Dasar etis dalam teori hukum Bentham menekankan unsur psikologis-humanis, dimensi etis-moral, dan dimensi utilitas bagi subjek terhukum. Bentham menegaskan bahwa hukuman yang tidak memperhatikan ketiga hal ini harus ditolak karena tidak adil dan tidak dapat dibenarkan secara logis-empiris. Oleh karena itu, hukuman yang adil hanya dapat diwujudkan jika para pelaksana hukum mempertimbangkan dimensi kemanusiaan, dimensi etis-moral, dan dimensi utilitas dalam proses hukuman terhadap subjek pelanggar hukum. Hanya dengan memperhatikan aspek-aspek ini, hukuman dapat dianggap adil. Di luar ketiga hal ini, hukuman dianggap tidak adil dan oleh karena itu tidak dapat diterima oleh subjek terhukum. Konsekuensinya, hukuman yang seharusnya adil malah menjadi bertentangan dan tidak adil.

Daftar Pustaka:
RIDHWAN, A. (2014). Karya dan kekuasaan pengarang: Pemikiran dan gaya naratif mutakhir Anwar Ridhwan. Jurnal Melayu Jilid, 12(1), 70.
Eldija, F. D., & Mastutie, F. (2016). Panoptic Architecture. Media Matrasain, 13(1), 16-23.

Wrobel, C. (2020). At the crossroads of law and literature; on the role of fiction in Jeremy Bentham's Penal Theory. Law & Literature, 32(3), 415-435.

Bentham, J. (1960). Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Oxford: Basil Blackwell.

Bean, P. (1981). Punishment: A Philosophical and Criminological Inquiry. Oxford: Martin Robertson.

Prawironegoro, D. (2010). Filsafat Ilmu. Jakarta: Nusantara Consulting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun