Latar Belakang
Pada saat ini, tindak kejahatan bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang dari lapisan masyarakat manapun. Tindak kejahatan meningkat seiring bertambahnya dari banyaknya jumlah penduduk, perkembangan teknologi, pengangguran serta pertumbuhan ekonomi. Beberapa faktor mendasari kejahatan individu maupun kelompok. R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan dari perspektif yuridis dan perspektif sosiologis. Dalam konteks yuridis, kejahatan merujuk pada perilaku yang melanggar hukum.Â
Dalam konteks sosiologis, kejahatan merujuk pada perilaku atau tindakan yang tidak hanya merugikan pelaku, tetapi juga merugikan masyarakat secara umum, seperti mengganggu keseimbangan, ketenangan, dan ketertiban. Tindak kejahatan pada dasarnya dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang usia, jenis kelamin, pekerjaan, atau latar belakang pendidikan. Seperti penyakit yang menyerang manusia, kejahatan juga menjadi penyakit dalam masyarakat yang tidak dapat sepenuhnya dihindari dalam kehidupan nyata. Namun, upaya dilakukan untuk mengendalikan atau mengurangi jumlah pelanggaran melalui pemberian sanksi.Â
Di Indonesia, sanksi pidana berupa kehilangan kebebasan dibedakan menjadi pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana tutupan (sesuai Pasal 10 KUHP dan Undang-Undang No. 20 Tahun 1946), dengan penempatan mereka di lembaga pemasyarakatan yang sama.
Kosakata hukum memiliki banyak makna dan interpretasi yang beragam. Konsepsi tentang hukum seringkali diwarnai oleh berbagai penafsiran dan interpretasi yang berbeda. Secara praktis, hukum sering diartikan sebagai sekumpulan aturan yang dibuat oleh penguasa atau otoritas dengan tujuan mengatur interaksi manusia dalam konteks sosial masyarakat secara umum, khususnya dalam konteks bangsa dan negara.Â
Hukum sangat penting untuk mengatur kepentingan manusia baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas. Sebagai makhluk personal dan sosial, manusia memiliki perasaan, pikiran, emosi, dan kehendak yang berhak dilindungi dalam konteks kehidupan bersama yang ideal. Tanpa adanya hukum, hak-hak dasar dan asasi manusia tidak dapat dijamin dan keberlangsungan kehidupan yang normal akan terancam. Anarkisme akan muncul dan mengancam eksistensi individu manusia.Â
Proses perkembangan hukum sebenarnya berlangsung secara dinamis selama jangka waktu yang sangat lama. Dilihat dari perspektif sistem sosial, hukum telah ada sejak masyarakat komunal primitif hingga masyarakat modern saat ini (Prawironegoro, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa hukum pada dasarnya merupakan unsur yang sangat penting dan esensial bagi kelangsungan hidup manusia dalam berbagai kondisi manusiawi.Â
Hukum mengungkapkan dan menempatkan dirinya sebagai elemen substansial dalam komunitas atau kehidupan bersama manusia. Fungsi hukum adalah mengatur hubungan antarmanusia sebagai anggota masyarakat untuk menciptakan harmoni sosial yang ideal. Tujuan pelaksanaan hukum adalah menciptakan kondisi masyarakat yang damai, teratur, sejalan, dan adil.Â
Mengapa pelaksanaan hukum diperlukan dan bagaimana cara melakukannya? Dua pertanyaan ini menjadi fokus utama yang terus menjadi perdebatan publik di berbagai tingkatan, baik oleh praktisi hukum maupun akademisi di seluruh dunia. Diskusi ini umumnya berkisar pada masalah keadilan dalam praktik hukum.Â
Namun, muncul pula pertanyaan baru, yaitu dalam bentuk atau paradigma seperti apa hukuman yang dianggap adil bagi manusia seharusnya diterapkan? Pendapat yang beragam pun muncul. Polemik panjang tentang hukuman yang adil terus berlanjut dalam ranah diskursus hukum dan politik global. Bahkan, perdebatan di tingkat filosofis pun tak kalah intens. Ada banyak aliran pemikiran filsafat yang mempertanyakan, menyelidiki, merenungkan, dan secara sistematis mengkaji model ideal dari hukuman yang adil bagi manusia.Â
Siapa itu Jeremy Bentham?
Jeremy Bentham adalah seorang tokoh yang sangat terkenal di Inggris hingga saat ini. Ia dilahirkan pada tanggal 15 Februari 1748 di London, Inggris.Â
Ayah dan kakeknya adalah jaksa yang bekerja di bidang hukum. Keterlibatan keluarganya dalam profesi hukum ini memicu minat Bentham terhadap masalah hukum sejak ia masih kecil. Ia kemudian melanjutkan pendidikan hukum di Oxford dan berhasil memperoleh kualifikasi terakhir sebagai barrister atau pengacara di London. Dengan keahliannya dalam bidang hukum, Bentham telah memberikan kontribusi besar yang membuat namanya terkenal hingga memasuki abad ke-21 ini.
Bentham, sebagai salah satu filsuf terkemuka dalam aliran empirisme, memiliki pengaruh yang besar dalam bidang moral dan politik. Pemikiran hukum Bentham dipengaruhi oleh banyak filsuf sebelumnya. Konsep penting Bentham mengenai Prinsip Kebahagiaan Terbesar sangat dipengaruhi oleh pemikiran filosof seperti Protagoras, Epicurus, John Locke, David Hume, Montesquieu, dan Thomas Hobbes. Sebagai pendiri utilitarisme Inggris, Bentham menjadi seorang pemikir brilian yang memberikan pengaruh yang kuat kepada para filsuf yang mengikuti tradisi tersebut. Beberapa nama yang dapat disebutkan termasuk John Stuart Mill, Henry Sidgwick, Michel Foucault, Peter Singer, John Austin, dan Robert Owen.Â
Bentham sangat konsisten dalam memperjuangkan isu-isu hukum. Ia bahkan menggunakan dana pribadinya untuk mendirikan Westminster Review pada tahun 1824. Forum ini selama bertahun-tahun mempublikasikan gagasan-gagasan politik dan hukum Bentham kepada masyarakat umum. Akibatnya, masyarakat akhirnya dapat mengenal dan mengakui pemikiran-pemikiran Bentham.Â
Forum ini menerima banyak apresiasi positif dan konstruktif dari publik yang menghargai sumbangsihnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran-pemikiran Bentham mulai merasuki wacana dan kesadaran publik, bahkan menyebar luas ke seluruh dunia.
Sebagai seorang yang sangat rasional, Bentham membangun teori filsafat hukumnya berdasarkan individualisme dan utilitarianisme. Banyak filsuf menilai Bentham dari berbagai perspektif multidimensi. Salah satunya adalah Bertrand Russell, yang menilai bahwa Bentham membangun dasar filsafat hukumnya di atas dua prinsip utama, yaitu prinsip asosiasi (association principle) dan prinsip kebahagiaan terbesar (greatest happiness principle).Â
Prinsip asosiasi mengacu pada hubungan antara ide dan bahasa, serta hubungan antara ide dengan ide. Sementara itu, prinsip kebahagiaan terbesar berkaitan dengan kebaikan individu. Jika kita melihat latar belakang ide-idenya, kita dapat memahami bahwa pemikiran Bentham terinspirasi oleh kebangkitan humanisme pada masa itu, yang menghargai nilai intrinsik martabat kemanusiaan setiap individu. Nilai humanisme menjadi dasar yang mendasari pemikiran hukum Bentham dengan erat.
Keadilan Hukum Menurut Jeremy Bentham
Teori Bentham tentang hukuman didasarkan pada prinsip kemanfaatan (Principle of Utility). Dalam bukunya yang terkenal, "Introduction to the Principles of Morals and Legislation" yang diterbitkan pada tahun 1960, Bentham menjelaskan pandangan hukum dari sudut pandang psikologis yang mendalam mengenai prinsip utilitarisme.Â
Bentham menulis, "Alam telah menempatkan manusia di bawah dua kekuasaan, yaitu ketidaknyamanan dan kesenangan. Setiap tindakan dan perilaku yang kita lakukan ditujukan dan ditentukan oleh keduanya. Standar baik dan buruk, serta hubungan sebab-akibat, erat kaitannya dengan keduanya. Keduanya memandu kita dalam semua tindakan, ucapan, dan pikiran kita.Â
Setiap upaya yang kita lakukan untuk menolak ketergantungan kita pada dua kekuasaan itu hanya akan membuktikan dan mengkonfirmasi kebenaran itu" (Bentham: 1960, hlm. 125). Dengan menggunakan istilah utilitas atau kemanfaatan, Bentham menekankan kebenaran faktual bahwa setiap orang cenderung menghasilkan keuntungan, manfaat, kebaikan, dan kebahagiaan bagi dirinya sendiri. Ini berarti bahwa setiap orang cenderung menghindari situasi yang merugikan, rasa sakit, kejahatan, ketidaknyamanan, dan ketidakbahagiaan yang mengganggu ketenangannya.
Kebahagiaan dan kesenangan yang dikemukakan oleh Bentham tidak hanya merujuk pada konsekuensi subjektif dari tindakan individu, tetapi juga termasuk keputusan yang dibuat oleh otoritas pemerintah atau kebijakan institusional hukum yang memiliki wewenang dalam mengatur negara.Â
Dalam konteks ini, institusi yang dimaksud adalah lembaga hukum yang kompeten dalam memberikan hukuman kepada subjek yang terhukum (pengadilan). Terlihat bahwa ruang lingkup atau konstelasi pemikiran utilitarisme sangat luas, baik mencakup dimensi individual maupun dimensi sosial. Oleh karena itu, Bentham menetapkannya sebagai prinsip fundamental bagi hukum moralitas.
Dengan dasar ini, kita sampai pada pertanyaan penting tentang bagaimana teori utilitas diterapkan dalam konteks hukuman terhadap individu yang terhukum. Jika setiap orang cenderung menghindari rasa sakit, kemalangan, dan kesedihan, hal yang sama juga berlaku bagi individu yang terhukum yang berharap untuk menghindari hukuman. Secara manusiawi, seorang terhukum tentu saja akan berusaha untuk menghindari hukuman yang merugikan dirinya.Â
Namun, jika seseorang harus dihukum atau menerima hukuman, pelaksanaan hukuman tersebut harus menjamin bahwa hukuman tersebut menghindarkan kerugian dan ketidaknyamanan yang lebih besar.Â
Hukuman yang tidak menjanjikan konsekuensi yang lebih baik di masa depan harus ditolak dengan tegas. Hukuman yang baik harus menjamin keuntungan positif bagi pelaku. Hak seseorang untuk hidup bahagia dan terhindar dari hukuman yang lebih besar di masa depan harus tetap menjadi prioritas yang dijaga dan dilindungi.
Teori Utilitas Bentham
Menurut teori utilitas Bentham, hukuman dapat dibenarkan jika pelaksanaannya mencapai dua efek utama:Â
Pertama, hukuman tersebut mencegah terjadinya kejahatan yang sama di masa depan. Kedua, hukuman memberikan kepuasan bagi korban dan pihak terkait lainnya. Hukuman ini memiliki ciri khas preventif untuk mencegah pelanggaran hukum di masa depan dan memenuhi kepuasan orang-orang yang terlibat dalam kasus hukum tersebut. Dalam pencegahan (preventif), Bentham mengidentifikasi tiga bentuk efek yang mungkin muncul.Â
Pertama, hukuman yang diterima oleh pelanggar hukum membuatnya kehilangan kemampuan untuk melakukan kejahatan yang sama di masa depan. Misalnya, jika pelaku dikurung dalam penjara seumur hidup, tangan dipotong, atau dieksekusi mati oleh vonis lembaga hukum formal.Â
Kedua, hukuman dapat mempengaruhi dan memperbarui perilaku buruk dalam diri pelaku. Ini mengasumsikan bahwa hukuman memengaruhi dan mengubah kebiasaan buruk dalam diri subjek terhukum, sehingga mereka tidak ingin lagi melakukan kejahatan di masa depan.Â
Dalam hal ini, pikiran seseorang diperbarui sehingga setelah mereka bebas, mereka tidak lagi ingin melanggar hukum. Ini diasumsikan bahwa pelaku telah mengalami transformasi diri setelah menjalani proses hukum selama berada di dalam penjara. Ketiga, hukuman memiliki efek jera dan penangkalan (deterrence). Hukuman harus mampu membuat pelaku jera dan pada saat yang sama mencegah potensi kejahatan dari pelaku potensial lainnya dalam masyarakat. Hukuman ini membuat orang yang bebas dari penjara untuk kapok dan juga memberikan pesan kepada anggota masyarakat lainnya untuk tidak melakukan kejahatan baru di dalam masyarakat.Â
Wesley Cragg menyatakan bahwa fungsi penjara dalam efek hukuman dapat dipahami sebagai bentuk kontrol sosial, sedangkan Philip Benn mengatakan bahwa tujuan di balik penjara adalah untuk mengancam orang lain agar tidak lagi melakukan kejahatan. Selain tujuan utama hukuman tersebut, Bentham juga menekankan tujuan sekunder hukuman yang terkait erat dengan kemungkinan pelanggaran hukum di masa depan. Dalam konteks ini, Bentham membicarakan tentang kepuasan hukum. Kepuasan melalui hukuman dapat dicapai dalam dua bentuk, yaitu kompensasi material dan pelampiasan atau pengekspresian rasa dendam.Â
Meskipun bentuk pertama sulit diterapkan dalam semua kasus hukum, menurut Bentham, hukuman kompensasi material memberikan kepuasan bagi manusia. Uang merupakan bentuk kompensasi yang efektif terhadap banyak kejahatan. Bentham mengkategorikan bahwa uang hanya dapat digunakan dalam kasus pencurian dan perampokan, tetapi tidak dapat diterapkan dalam kasus kejahatan serius seperti pembunuhan dan pemerkosaan.Â
Hukuman yang sesuai pada pelaku menyebabkan rasa sakit pada pelaku dan berfungsi sebagai saluran emosi negatif bagi korban kejahatan dan keluarganya. Hukuman dapat memberikan kepuasan bagi korban dan pihak terkait lainnya yang terlibat dalam kasus tersebut. Bentham juga mengidentifikasi berbagai bentuk hukuman bagi pelaku yang tercantum dalam banyak peraturan. Di antara banyak peraturan tersebut, terdapat tiga hal utama.Â
Pertama, hukuman harus tidak lebih ringan dari yang diperlukan untuk mengimbangi kebaikan yang dihilangkan oleh tindakan kejahatan, dan hukuman yang terlalu ringan berpotensi tidak mencegah kejahatan serupa terjadi lagi.Â
Kedua, semakin merugikan suatu kesalahan, semakin berat hukuman yang harus dijatuhkan pada pelaku.Â
Ketiga, hukuman tidak boleh lebih berat daripada yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan di masa depan. Itulah pokok pemikiran Bentham mengenai prinsip utilitas di balik penerapan hukuman pada pelaku. J.S. Mill menganggap bahwa Bentham telah menciptakan teori yang hampir sempurna tentang pembenaran hukuman legal.Â
Pengertian Panoptic
Panopticon adalah suatu jenis bangunan institusional yang dirancang oleh filsuf dan teori sosial Inggris, Jeremy Bentham, pada akhir abad ke-18. Konsep desain ini bertujuan untuk memungkinkan pengamat untuk mengawasi semua penghuni lembaga (-OPTICON) tanpa mereka dapat mengetahui apakah mereka sedang diawasi atau tidak (pan-). Desainnya meliputi sebuah struktur melingkar dengan "rumah inspeksi" di tengahnya, tempat manajer atau staf lembaga dapat mengamati para tahanan yang ditempatkan di sekitar perimeter.Â
Bentham menggambarkan Panopticon sebagai "cara baru untuk memperoleh kekuatan pikiran atas pikiran." Selain untuk penjara, konsep Panopticon juga dapat diterapkan dalam bangunan lain yang membutuhkan tingkat pengawasan yang tinggi, seperti sekolah, rumah sakit, atau asrama. Efek utama dari mekanisme Panopticon ini adalah menciptakan kesadaran akan pengawasan dan pengamat yang konstan terhadap individu. Kesadaran ini mengindikasikan bahwa tindakan dan gerakan mereka terus-menerus dipantau dan dikontrol. Kesadaran akan pengawasan dan pengendalian ini dapat menghasilkan efek ketaatan bahkan ketakutan. Selain penggunaan kamera CCTV, peraturan dan kode etik juga dapat berperan sebagai mekanisme Panopticon.
Konsep Panoptic
Michael Foucault (1790) menjelaskan konsep panopticon sebagai hubungan antara yang diawasi dan yang mengawasi, antara pihak yang mengendalikan dan yang dikendalikan, antara pihak yang merehabilitasi dan yang direhabilitasi, serta antara pihak yang dianggap abnormal dan upaya untuk menormalkan mereka dalam konteks kekuasaan. Hal ini terjadi tanpa kontak langsung antara pengawas dan yang diawasi. Efek utama dari mekanisme panopticon adalah menciptakan kesadaran konstan bahwa seseorang sedang diawasi dan diperhatikan. Kesadaran ini mengisyaratkan bahwa setiap tindakan dan gerakan individu dikontrol dan diamati oleh pihak lain. Tentu saja, kesadaran akan pengawasan dan pengendalian ini menghasilkan efek kepatuhan, tekanan, dan bahkan ketakutan.Â
Berdasarkan kesimpulannya, desain dari Panopticon memiliki dampak signifikan terhadap psikologi penerima atau narapidana. Arsitektur dan psikologi saling terkait, terutama dalam bidang Psikologi Arsitektur yang mempelajari hubungan antara manusia dan lingkungan binaannya. Psikologi Arsitektur merupakan disiplin ilmu yang mendorong arsitek dan desainer untuk selalu mempertimbangkan dampak psikologis dalam desain mereka, bukan hanya sekadar menciptakan bangunan sebagai seni belaka. Seperti yang dikatakan oleh Winston Churchill, "Kita membentuk bangunan kita, dan kemudian bangunan kita membentuk kita."Â
Dalam konteks Panopticon, efek kepatuhan, tekanan, dan ketakutan yang timbul dari desain arsitektur ini diharapkan dapat menciptakan kesadaran dan ketekunan terhadap niat atau tindakan kriminal yang sedang atau telah dilakukan. Seperti yang dikutip dalam buku "Psikologi Arsitektur", manusia terdiri dari dua entitas: tubuh dan jiwa. Terdapat tiga pandangan filosofis yang mempengaruhi perkembangan disiplin psikologi, salah satunya adalah pandangan bahwa tubuh dan jiwa merupakan entitas terpisah namun saling berhubungan (interaksionisme).
Dalam rancangan Panopticon, Bentham tidak hanya bermaksud untuk mendisiplinkan, tetapi juga untuk memastikan bahwa perawatan dan penanganan di penjara lebih mudah dan murah dibandingkan dengan penjara pada saat itu, karena membutuhkan staf yang lebih sedikit. Namun, hal ini tidak memperhatikan hak asasi atau kebutuhan layanan bagi narapidana. Jika rancangan ini diterapkan secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang panjang, dampak negatif dapat muncul. Ketika seseorang kehilangan kontrol atas ruang, kemampuannya untuk berfungsi secara psikologis akan terganggu. Bahkan, dapat timbul kerusakan psikologis permanen atau "kegilaan" akibatnya. Ini adalah konsekuensi buruk yang mungkin timbul dari desain Panopticon dan harus dihindari. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara dimensi kebutuhan ruang untuk narapidana agar efek yang tidak diinginkan dapat dihindari dan kebutuhan yang diperlukan tetap terpenuhi.
Karakteristik dan Desain panoptic
Rancangan Panopticon terdiri dari struktur melingkar dengan "inspeksi rumah" di pusatnya, yang memungkinkan staf lembaga untuk mengawasi dan mengontrol para tahanan dari kejauhan tanpa disadari oleh narapidana. Meskipun menciptakan kesan bahwa daerah teritori dalam bentuk kamar sel masih ada, kenyataannya, dalam sebagian besar lembaga di Indonesia, lebih dari satu narapidana ditempatkan dalam satu sel, sehingga mereka tidak dapat memiliki teritori atau ruang pribadi mereka sendiri. Teritori berperan sebagai pemicu agresi namun juga dapat berfungsi sebagai penghambat untuk mencegah agresi. Agresi sering terjadi dalam kondisi teritori yang belum jelas atau saat adanya persaingan. Perebutan teritori adalah situasi yang rentan terjadi di dalam penjara. Ketika ruang-ruang memiliki batas atau tanda yang membatasi teritori satu ruang dengan ruang lainnya, terbukti bahwa vandalisme dan kejahatan berkurang. Jika para penghuni diberikan kesempatan untuk memiliki teritori pribadi, maka atmosfer sosial di dalam blok-blok sel dapat meningkatkan perasaan positif (Barton, 1996; Holahan, 1967; Holahan & Saegert, 1973). Batasan teritori yang jelas akan lebih mampu menciptakan stabilitas dan mengurangi konflik di antara kelompok manusia, baik di dalam penjara maupun pada hewan (O'Neal & McDonald, 1976). Desain ruang dalam Panopticon memiliki struktur melingkar yang terdiri dari tiga bagian, yaitu ruangan sel di bagian luar yang khusus untuk narapidana, lalu ada sirkulasi atau jarak antara ruangan sel dan menara, dan tepat di tengah lingkaran terdapat menara pengamat yang khusus untuk sipir penjara.
Desain ruang dalam Panopticon memiliki batasan teritori yang sangat jelas. Strukturnya berbentuk melingkar dan terdiri dari tiga bagian utama. Bagian terluar adalah ruangan sel yang khusus untuk narapidana, diikuti oleh sirkulasi atau jarak antara ruangan sel dan menara. Di tengah lingkaran terdapat menara pengamat yang secara khusus digunakan oleh sipir penjara. Panopticon umumnya dibangun dengan menggunakan dinding beton berstruktur dan dilengkapi dengan jendela kaca tunggal tanpa bukaan di setiap sel. Ukuran sel dapat bervariasi, mulai dari 1x2 hingga 2x2, dan dilengkapi dengan fasilitas seperti WC dan tempat tidur (untuk penjara). Panopticon biasanya memiliki lebih dari dua lantai, tergantung pada kemampuan pengawasan dari menara pengamat. Akses ke setiap lantai dapat dilakukan melalui tangga atau lift.
Pengaturan dan Pengawasan Sebuah Panopticon
Dalam konteks panopticon, kekuasaan modern memiliki tujuan untuk memperbaiki perilaku yang menyimpang, bukan untuk membalas dendam atau menghukum secara langsung, tetapi untuk mengubahnya menjadi sesuatu yang sesuai dengan nilai dan norma yang diinginkan. Hal ini disebut sebagai penyederhanaan sistem peradilan. Pengawasan ini berbeda dengan kesadaran pada zaman lampau yang tidak terikat oleh undang-undang dan peraturan. Sebaliknya, pengawasan ini berkaitan dengan memastikan bahwa setiap kegiatan masyarakat tidak melanggar undang-undang, nilai, dan norma yang ada. Dampak dari panopticon dapat digunakan sebagai metode dalam menentukan kebijakan pendidikan, ekonomi, termasuk politik; sementara pemeriksaan berkaitan dengan pendekatan yang menggabungkan pengawasan hierarkis dan penyederhanaan sistem peradilan. Ini adalah contoh utama dari apa yang Foucault sebut sebagai kekuasaan melalui pengetahuan. Pemeriksaan adalah cara untuk memberi tahu subjek tentang situasinya, seperti kondisi kesehatan subjek, sehingga subjek mengetahui kemampuan mereka dan mengontrol perilaku mereka dengan menentukan apa yang seharusnya mereka lakukan untuk menjaga kesehatan mereka. Secara umum, pemeriksaan memberikan informasi atau pengetahuan dengan tujuan mengontrol perilaku subjek dengan persetujuan subjek itu sendiri.
Relevansi Pemikiran Bentham untuk Praktik Hukum Temporer
Pelaksanaan hukuman terhadap pelanggar hukum harus dilihat sebagai sarana pembelajaran bagi mereka agar dapat mengubah diri ke arah yang lebih baik di masa depan. Dalam hal ini, transformasi diri pelaku diharapkan dapat terjadi. Hukuman terhadap pelanggar hukum tidak boleh didasarkan pada balas dendam semata, tetapi harus dipahami dalam konteks kebaikan dan perkembangan masa depan pelaku. Meskipun pelaku telah melanggar hukum, kita tidak boleh menganggap bahwa mereka telah kehilangan hak-hak sebagai manusia. Pelaku tetap merupakan individu yang berproses dalam perjalanan hidupnya menuju kesempurnaan pribadi yang lebih baik di masa depan. Pelaku tetap memiliki peluang untuk mengubah dirinya menjadi orang yang baik. Dalam konteks penerapan hukuman, penting bagi para pengambil keputusan hukum untuk tetap menghargai martabat manusia pelanggar hukum dan mempertahankan optimisme bahwa mereka masih memiliki peluang besar untuk menjadi baik di masa depan. Perspektif ini membutuhkan perlindungan terhadap hak-hak pelaku sebagai manusia. Oleh karena itu, dalam praktik hukuman yang diberikan, tidak boleh semata-mata merupakan ekspresi negatif atau tindakan balas dendam semata. Meskipun hukuman yang dijatuhkan juga dapat menjadi alat untuk meredakan rasa sakit hati korban atau keluarga korban, kita harus tetap sadar bahwa kita berurusan dengan individu yang memiliki nilai intrinsik sebagai manusia. Kita tidak berurusan dengan objek atau benda mati, melainkan dengan manusia yang memiliki martabat. Kesadaran etis tentang pentingnya martabat manusia harus hadir dalam pelaksanaan hukuman terhadap pelanggar hukum. Hanya dengan ini, hukuman terhadap pelaku dapat membawa manfaat bagi mereka. Nilai kemanusiaan kita juga terlindungi dari tindakan balas dendam yang merendahkan martabat manusia kita sendiri. Perspektif ini dapat mewujudkan praktik hukum yang adil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apapun kesalahan yang dilakukan oleh pelanggar hukum, kemanusiaan tetap harus dipertahankan, dilindungi, dan ditegakkan. Dalam konteks filsafat, etika adalah cabang yang menyelidiki perbuatan-perbuatan yang dianggap baik dalam kehidupan manusia.Â
Sebagai seorang filsuf, Bentham menyisipkan pandangan hukumnya yang mementingkan nilai-nilai etis-moral di dalamnya. Etika dan moralitas menjadi dasar dalam membangun pandangan tentang hukuman yang adil. Dalam konteks hukuman yang adil, perlu diperhatikan maksud baik di balik penerapan hukuman terhadap pelanggar hukum. Yang terpenting adalah memastikan motivasi para penegak hukum dalam menghukum pelaku berasal dari niat yang baik. Hukuman yang adil bukan berarti tidak memiliki konten nilai moral-etis di dalamnya. Hukuman yang adil, meskipun ditujukan untuk menghukum pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku, harus dilaksanakan dengan standar etis-moral yang baik. Penerapan hukuman oleh hakim di pengadilan bukanlah semata-mata untuk menghukum pelaku, tetapi untuk melindungi moralitas dan nilai-nilai etis dalam realitas kehidupan. Dengan demikian, seorang hakim harus terhindar dari keterbatasan perspektif di mana hanya menghukum seseorang tanpa kesadaran moral-etis di dalamnya. Jika seorang hakim menjatuhkan hukuman tanpa kesadaran moral-etis, keputusan tersebut akan kurang adil bagi pelaku. Keputusan hukum harus didasari oleh nilai etika dan niat baik untuk kebaikan pelaku di masa depan. Prinsip etis-moral harus dipegang teguh oleh para eksekutor hukum, seperti hakim. Artinya, mereka harus menjalankan tugas memvonis pelaku bukan hanya dengan mengikuti teks dokumen hukum yang telah tertulis dengan rapi, tetapi yang terpenting adalah memahami makna yang terkandung di dalamnya. Menjatuhkan vonis hanya berfokus pada teks hukum tanpa kesadaran etis-moral di dalamnya sama artinya dengan tindakan yang tidak konsisten dan tidak manusiawi terhadap individu. Oleh karena itu, penting untuk menanamkan kesadaran etis mendasar pada hakim atau siapapun yang menjalankan tugas memvonis atau memberikan hukuman terhadap pelanggar hukum.Â
Penjara atau lembaga pemasyarakatan dianggap sebagai tempat pelaksanaan hukuman yang juga berperan sebagai pendidikan moral. Di penjara, pelaku mengalami proses pemurnian moral. Ini berarti di penjara, pelaku harus diberikan pendidikan spiritual dan moral yang memadai agar mereka dapat kembali menjadi individu yang baik di masyarakat. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pelaku telah mengabaikan kewajiban moral mereka sebagai individu yang baik di masyarakat dengan melanggar hukum. Oleh karena itu, penjara menjadi tempat rehabilitasi moral. Sejauh ini, penjara dianggap menjalankan fungsinya sesuai dengan teori utilitas rehabilitasi. Oleh karena itu, penjara di setiap negara harus melaksanakan hukuman secara manusiawi demi keadilan bagi pelanggar hukum itu sendiri, yang berhak diperlakukan sebagai manusia. Perlu diterapkan konseling konstruktif, terapi penyembuhan, pendalaman spiritual, dan kegiatan sosial yang memperkuat kembali martabat kemanusiaan mereka yang telah terjerumus dalam pelanggaran hukum. Hakim dan penjara harus tetap menerapkan prinsip-prinsip etis-moral terhadap pelanggar hukum. Hal ini penting untuk mencegah munculnya tindakan agresif di penjara yang dapat menyebabkan trauma berkelanjutan pada narapidana.Â
Kesimpulan
Bagaimana kita dapat memastikan bahwa suatu praktik hukuman dianggap adil dan dapat dibenarkan telah menjadi pertanyaan kritis yang terus diperdebatkan di seluruh negara dalam masyarakat kontemporer. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa praktik hukuman yang benar-benar adil bagi manusia masih harus terus diperjuangkan dalam sistem hukum di berbagai negara di dunia. Terlalu sering, karena kesalahan manusia, para pelaksana hukum mengabaikan mekanisme praktik hukuman yang adil terhadap subjek terhukum. Akibatnya, praktik hukuman tidak memberikan manfaat yang diharapkan, malah dapat membawa risiko yang lebih buruk bagi subjek terhukum. Dalam momentum saat ini, kesadaran baru tentang pentingnya praktik hukuman yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, etis-moral, dan nilai utilitas atau manfaat harus terus diperjuangkan dan dipahami oleh para penegak hukum.
Setiap penegak hukum harus selalu menyadari pentingnya hukuman yang mempertimbangkan nilai-nilai ini. Kita dapat mencermati dan mengambil inspirasi dari pandangan kaum utilitaris, terutama pemikiran Jeremy Bentham yang telah dikaji dalam tulisan ini. Bentham mengembangkan sebuah teori yang relevan dan berarti sepanjang masa tentang praktik hukuman yang adil bagi subjek terhukum. Ia menjabarkan pokok-pokok pemikiran tentang hukuman yang adil dari perspektif utilitas atau prinsip kemanfaatan. Menurut Bentham, setiap bentuk hukuman yang adil adalah hukuman yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi subjek pelanggar hukum itu sendiri di masa depan.
Dasar etis dalam teori hukum Bentham menekankan unsur psikologis-humanis, dimensi etis-moral, dan dimensi utilitas bagi subjek terhukum. Bentham menegaskan bahwa hukuman yang tidak memperhatikan ketiga hal ini harus ditolak karena tidak adil dan tidak dapat dibenarkan secara logis-empiris. Oleh karena itu, hukuman yang adil hanya dapat diwujudkan jika para pelaksana hukum mempertimbangkan dimensi kemanusiaan, dimensi etis-moral, dan dimensi utilitas dalam proses hukuman terhadap subjek pelanggar hukum. Hanya dengan memperhatikan aspek-aspek ini, hukuman dapat dianggap adil. Di luar ketiga hal ini, hukuman dianggap tidak adil dan oleh karena itu tidak dapat diterima oleh subjek terhukum. Konsekuensinya, hukuman yang seharusnya adil malah menjadi bertentangan dan tidak adil.
Daftar Pustaka:
RIDHWAN, A. (2014). Karya dan kekuasaan pengarang: Pemikiran dan gaya naratif mutakhir Anwar Ridhwan. Jurnal Melayu Jilid, 12(1), 70.
Eldija, F. D., & Mastutie, F. (2016). Panoptic Architecture. Media Matrasain, 13(1), 16-23.
Wrobel, C. (2020). At the crossroads of law and literature; on the role of fiction in Jeremy Bentham's Penal Theory. Law & Literature, 32(3), 415-435.
Bentham, J. (1960). Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Oxford:Â Basil Blackwell.
Bean, P. (1981). Punishment: A Philosophical and Criminological Inquiry. Oxford:Â Martin Robertson.
Prawironegoro, D. (2010). Filsafat Ilmu. Jakarta: Nusantara Consulting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H