Imaiwa. Begitu orang kampung megenalnya. Sudah kurang lebih seminggu perempuan itu berkeluh. Ada badai berkecamuk di hatinya. Angannya membenrontak. Nalarnya liar. Perempuan yang menikah kurang lebih tujuh tahun lalu itu akhir-akhir ini hanya mengahabiskan waktunya di legolego rumah. Imaiwa berdiam diri. Angannya melayang. Hanya sesekali ketika melihat orang kampung melintas di depan rumahnya, ia melempar senyumnya yang khas.
***
Semua orang di kampung tahu betul siapa Imaiwa. Perempuan yang pernah bersekolah di pondok pesantren itu dikenal baik oleh orang kampung. Kecantikannya pun santer disebut pemuda kampung. Hanya saja ketika ia telah dipersunting oleh Lanomba, pemuda kampung tentu sudah tidak beringsut mendekatinya.
Kecantikan dan modal sebagai alumni pesantren membuat nama Imaiwa jadi mentereng di kampung, bahkan sampai di kampung sebelah. Tak pelak lagi, beberapa pemuda kampung pernah datang membawa adat ke rumah Imaiwa, termasuk Lapetta, teman pesantrennya dahulu yang kini bekerja sebagai guru mengaji di kapung, sambilannya berdagang. Lapetta membeli beras dari petani di kampung dan menjualnya kembali ke kota. Begitu rutinitasnya. Lapetta tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana karena harus bekerja membiayai keuangan keluarga.
Sebagai teman pesantren, Imaiwa tentu banyak kenal siapa Lapetta. Ia adalah pemuda yang saleh dan pekerja keras, terlebih karena Lapetta adalah tulang punggung keluarga. Lapetta tinggal bersama ibu dan dua orang adiknya yang masih duduk di bangku madrasah tsanawiah. Solihin, ayah Lapetta, meninggal gegara digerogoti penyakit iabetes ketika Lepetta berusia delapan belas tahun.
Setelah tamat dari pesanteren, terbesit di nalar Lapetta tentang nama Imaiwa. Ada setitik ruang cinta yang masih kosong di hatinya. Karena itu, setelah beberapa tahun dan telah merasa cukup, ia datang melamar Imaiwa. Namun Pung Aji, ibu Imaiwa, menolak lamaran tersebut karena persoalan uang panai’(Bugis: mahar). Lapetta hanya memiliki uang panai’ sebesar Rp 25 juta.
“Maaf nak Petta, saya tahu betul siapa nak Petta. Apalagi teman sekolah Imaiwa. Kalau saya pribadi dari dulu saya sudah menerima. Hanya saja, mure dan keluarga yang lain tidak mau kalau tidak sesuai uangpanai’. Mure Imaiwa inginnya Rp 93 juta,” jelas Pung Aji.
Bukan hanya Lapetta, sebelumnya beberapa orang pemuda yang kesengsem dengan Imaiwa pernah datang membawa adat di rumahnya. Juga ditolak. Alasannya sama, tidak sesuai uang panai’. Orang di kampung yang tahu tentang lamaran itu tentu memaklumi. Di kalangan masyarakat bugis seperti di kampung Imaiwa, uang panai’ adalah harga diri keluarga. Apalagi kalau anak gadis memiliki penampilan yang cantik dan berpendidikan, maka tentu uang panai’ harus di patok tinggi. Kalau tidak demikian, ini sama saja melanggar aturan adat, budaya siri’.
***
Matahari baru saja tergelincir di barat. Gelap perlahan merangkak menaiki lekukan ranting pohon di sudut-sudut kampung. Suara kalong sahut-sahutan menerabas menerbangi perkampungan. Malam itu bulan malas menampakkan sinarnya. Malam gelap. Perkampungan gelap. Segelap angan Imaiwa yang terpaksa harus meredupkan cahaya cintanya kepada Lapetta. Nalarnya seperti berada di persimpangan. Di satu sisi ia mencintai Lapetta, namun di sisi lain ia juga tidak bisa melawan keputusan Pung Aji, ibunya. Kalau Imaiwa ngotot menerima Lapetta, itu berarti ia durhaka kepada orangtuanya. Hatinya bimbang. Imaiwa bak ditumbuk godam berkali-kali. Jiwanya sengkarut. Yang ia tahu, cinta bukanlah tentang persoalan fisik dan harta. Tetapi lebih daripada itu, cinta adalah tentang keikhlasan untuk saling menerima. Yang ia tahu, cinta tidaklah harus tunduk pada budaya. Namun sebaliknya, budayalah yang harus tunduk pada kebenaran cinta. Ia juga tahu, adat dan budaya hanya bisa mengekang dan tidak akan pernah bisa menjanjikan kebahagiaan. Tetapi sebaliknya, kebenaran cintalah yang akan menjamin hadirnya sepucuk kebahagiaan hakiki.
***
Di usianya yang kian beranjak, Pung Aji kemudian menjodohkan anaknya dengan Lanomba, seorang pemuda yang bekerja sebagai PNS di kota.
“Sekiranya engkau setuju, ibu ingin menjodohn engkau dengan seorang pemuda, Lanomba. Ia adalah anak teman ibu waktu SMA. Ia adalah pemuda yang baik, ia pun mapan. Masa depannya sudah pasti. Ibu mohon, lupakanlah Lapetta,” bujuk Pung Aji memohon.
Imaiwa terdiam. Angannya kosong. Ada gemuruh menyambar di benaknya. Lidahnya terkunci. Bibirnya gemetar.
Belum juga Imaiwa menjawab bujukan Pung Aji, tiba-tiba Pung Aji meluncurkan pinta.
“Ibu mohon, ibu juga sudah tua. Lagipula, ini juga kemauan mure-mu dan keluarga lainnya,”pungkas Pung Aji.
Sebagai bentuk abdinya kepada orangtua, tanpa tedeng aling-aling Imaiwa pun mengikuti kemauan Pung Aji. Imaiwa rela.
***
Sebagai seorang muslimah yang soleha, Imaiwa adalah istri yang taat kepada suami. Meskipun begitu, hatinya kadang berkecamuk karena ia belum juga bisa melupakan Lapetta. Kadangkala, ketika tubuh indahnya digerayangi oleh suaminya di gelap malam, ia bahkan sering berpura-pura untuk mendesah demi memuaskan hasrat suami. Imaiwa pasrah. Ia pasrah tubuhnya dinikmati oleh lelaki yang tidak ia cintai. Namun ia juga sadar, ini adalah tanggung jawabnya sebagai seorang istri.
Hatinya berkecamuk.
Selama kurang lebih tujuh tahun pernikahannya dengan Lanomba, sang suami tiba-tiba mendapatkan tugas kerja di ibukota. Imaiwa pun mengikhlaskan kepergian suaminya dan memberikan setampuk kepercayaan. Imaiwa tidak bisa ikut. Ia harus menjaga anaknya yang masih merangkak, terlebih merawat Pung Aji yang juga mulai sakit-sakitan. Di awal-awal bulan kepergian suaminya, Imaiwa terus mendapatkan kiriman uang dari Lanomba. Uang tersebut digunakan untuk biaya hidup di kampung dan belanja susu untuk anaknya. Sisanya ia tabung.
Hari-hari Imaiwa ia lewati bersama Pung Aji dan seorang anaknya di kampung. Namun begitu kagetnya ia ketika mendapatkan kabar dari Bu Azmi, mantan rekan kerja Lanomba, bahwa Lanomba telah menikahi seorang gadis di Ibukota. Bu Azmi pun memperlihatkan foto pernikahan Lanomba kepada Imaiwa. Imaiwa begitu terpukul dengan berita tersebut. Seketika ada gemuruh di hatinya. Pengabdian cinta yang ia berikan kepada Lanomba selama ini hanya sia-sia. Tubuh indahnya yang sedarai dulu ia jaga kesuciannya telah tergores dinodai suaminya. Imaiwa dirundung sesal. Imaiwa sadar, pernikahan yang tidak dilandasi oleh kekuatan cinta sama saja dengan ritual pembirokrasian hawa negatif dari cinta. Imaiwa merasakan bahwa pernikahan yang ia lakukan tujuh tahun silam tidak lebih hanyalah sebatas simbol untuk melegalkan dirinya menjadi budak cinta sang suami.
***
Pikiran Imaiwa kian kosong. Kakinya melangkah terasa berat. Seberat pikirannya yang dihantui perbuatan suaminya. Seberat angannya memikirkan teman pesantrennya, Lapetta. Seberat nalarnya merecoki keputusan Pung Aji. Imaiwa membisu. Tangisnya pecah. Air matanya dengan cepat mengalir ke pipinya. Secepat langkahnya menuju batas perkampungan. Sampai akhirnya orang kampung menemukan mayat Imaiwa di tepian sungai. Imaiwa melangkah. Imaiwa melompat dari atas jembatan di batas perkampungan. Imaiwa bunuh diri. Pikirannya berat.
***
Kematian Imaiwa hanya sesaat menjadi buah bibir orang kampung. Selepas seratus hari kematiannya. Nama Imaiwa pun hilang bersama api cinta yang dipendamnya. Sehabis itu, suasana kampung kembali normal. Orang-orang kampung ke sawah. Anak-anak bermain enggo’. Dan sahut-sahutan kalong membahana seperti biasa kala rembang petang. Hanya saja, menurut penuturan orang kampung, di malam-malam tertentu, arwah Imaiwa selalu naik di altar jembatan, duduk menangisi perbuatan keluarganya yang telah menolak lamaran Lapetta yang kini menjadi pebisnis yang sukses dan hidup bahagia bersama istrinya.
Di suatu hari di rembang petang
Kendari, Mei 2016
Daftar makna kata:
Enggo’ : Permainan tradisional sepeti petak umpet
Legolego: Beranda rumah
Mure : Paman/tante
Uang Panai’ : Uang Mahar
Budaya Siri’: Budaya malu. Merupakan budaya yang dijunjung tinggi masyarakat bugis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H