Di usianya yang kian beranjak, Pung Aji kemudian menjodohkan anaknya dengan Lanomba, seorang pemuda yang bekerja sebagai PNS di kota.
“Sekiranya engkau setuju, ibu ingin menjodohn engkau dengan seorang pemuda, Lanomba. Ia adalah anak teman ibu waktu SMA. Ia adalah pemuda yang baik, ia pun mapan. Masa depannya sudah pasti. Ibu mohon, lupakanlah Lapetta,” bujuk Pung Aji memohon.
Imaiwa terdiam. Angannya kosong. Ada gemuruh menyambar di benaknya. Lidahnya terkunci. Bibirnya gemetar.
Belum juga Imaiwa menjawab bujukan Pung Aji, tiba-tiba Pung Aji meluncurkan pinta.
“Ibu mohon, ibu juga sudah tua. Lagipula, ini juga kemauan mure-mu dan keluarga lainnya,”pungkas Pung Aji.
Sebagai bentuk abdinya kepada orangtua, tanpa tedeng aling-aling Imaiwa pun mengikuti kemauan Pung Aji. Imaiwa rela.
***
Sebagai seorang muslimah yang soleha, Imaiwa adalah istri yang taat kepada suami. Meskipun begitu, hatinya kadang berkecamuk karena ia belum juga bisa melupakan Lapetta. Kadangkala, ketika tubuh indahnya digerayangi oleh suaminya di gelap malam, ia bahkan sering berpura-pura untuk mendesah demi memuaskan hasrat suami. Imaiwa pasrah. Ia pasrah tubuhnya dinikmati oleh lelaki yang tidak ia cintai. Namun ia juga sadar, ini adalah tanggung jawabnya sebagai seorang istri.
Hatinya berkecamuk.
Selama kurang lebih tujuh tahun pernikahannya dengan Lanomba, sang suami tiba-tiba mendapatkan tugas kerja di ibukota. Imaiwa pun mengikhlaskan kepergian suaminya dan memberikan setampuk kepercayaan. Imaiwa tidak bisa ikut. Ia harus menjaga anaknya yang masih merangkak, terlebih merawat Pung Aji yang juga mulai sakit-sakitan. Di awal-awal bulan kepergian suaminya, Imaiwa terus mendapatkan kiriman uang dari Lanomba. Uang tersebut digunakan untuk biaya hidup di kampung dan belanja susu untuk anaknya. Sisanya ia tabung.