Seksisme dan Androsentrisme
Agar perempuan disejajarkan dalam sistem, maka seksisme dan androsentrisme sebagai nilai yang mengakar dalam kebudayaan mesti dibongkar dengan sungguh-sungguh, dan itu telah dikampanyekan sejak lama dalam gerakan feminisme baik gerakan feminisme kultural, feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme sosialis maupun fenisme religius yang telah berlangsung sejak abad ke-19.
Melawan seksisme adalah gerakan yang menolak determinisme biologis sebagai dasar penentuan peran perempuan dalam pelbagai kehidupan masyarakat, politik, sosial, ekonomi dan budaya. Melawan androsentrisme yakni melawan segala sesuatu yang bertalian dengan kaum laki-laki menjadi hukum, sedang yang berpautan dengan perempuan hanyalah pengecualian. Kaidah kaum laki-laki adalah kaidah manusia.
Seksisme dan androsentrisme kemudian ditentang oleh Simone de Beaucoir, seorang filsof perempuan, yang mengatakan 'perempuan adalah yang lain'. Kalimat 'yang lain' kemudian dihubungkan dengan filsafat dialektis Hegelbahwa sesuatu itu baru berarti kalau dia melibatkan yang lain atau yang bertentangan dengannya. Suami misalnya, hanya dapat dimengerti dalam kaitan dengan istri, demikian sebaliknya. Kesuamian seseorang laki-laki tidak bisa dimengerti dalam dirinya sendiri, melainkan hanya bisa dimengerti kaitan dengan yang lain yakni istri. Tanpa kehadiran istri kita tidak bisa memahami pengertian suami. Pengertian secara dialektis diatas menandaskan bahwa laki-laki dan perempuan adalah manusia sederajat yang saling mengandaikan.
Kerangka dasariah diatas kemudian dikesampingkan oleh kerja-kerja kebudayaan. Nilai-nilai seksisme dan androsentrisme ditanamkan dan berasal dari agama dan adat sedia kala. Oleh kebudayaan, perbedaan laki-laki dan perempuan berasal dari alam berasal. Perempuan sebagai istri sekaligus sebagai ibu melahirkan, sedangkan laki-laki itu kuat karena dilengkapi kesanggupan fisik dan bekerja secara lebih berat. Perbedaan karena penentuan alam dalam nilai kebudayaan ini harusnya dipakai untuk saling melengkapi, bukan untuk saling menindas. Perbedaan itu tidak hanya diterima tapi perlu digunakan sebagai harta yang dapat menantang dan membahagiakan. Jika perbedaan itu dihargai oleh kebudayaan, maka keduanya akan saling bergantungan antar keduanya.
Olehnya, masalah perempuan yang dihadapi saat ini bukan terletak pada sistem politik tapi adalah soal kebudayaan. Karena itu strategi yang tepat adalah tidak dengan affirmative action didalam sistem politik melalui Undang-undang tapi dengan affirmative action didalam dunia kebudayaan, agar perempuan tidak menjadi asing didunia politik, tidak diberlakukan secara diskriminatif, tidak dipandang praktis-pragmatis, tidak dilemahkan tapi mesti disejajarkan dengan melawan seksisme dan androsentrisme seperti yang telah lama dikampanyekan dalam gerakan feminisme.
Inilah salah satu tugas Negara, warga bangsa dan lebih-lebih kaum perempuan yang tengah berjuang agar diperlakukan secara adil oleh kebudayaan. Tanpa merombak kebudayaan yang mengakar kuat dinegeri ini, kita tidak bisa berharap banyak pada perempuan untuk dilibatkan secara paripurna dalam politik.
Cikini, 25 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H