Mohon tunggu...
Akhmad Bumi
Akhmad Bumi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kuota 30%, Diskriminasi terhadap Perempuan?

25 September 2018   13:44 Diperbarui: 25 September 2018   14:00 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Akhmad Bumi

Indonesia Negara hukum, olehnya hukum sebagai dasar legalitas sekaligus sebagai syarat berfungsinya sebuah Negara. Asas legalitas menandaskan Negara memakai hukum, bukan kekuasaan sebagai kriteria keabsahannya.

Untuk mendapat legitimasi / keabsahannya dilakukan dengan cara demokrasi. Menurut faham demokrasi, Negara harus dilegitimasi dari kehendak mereka yang dikuasai. Dalam konteks ini, olehnya kita bicara tentang Pemilu (pemilihan umum). Pemilu adalah perwujudan demokrasi yang berkedaulatan rakyat.

Pemilu bahagian dari demokrasi, tapi bukan satu-satunya, karena Pemilu hanya salah satu bentuk perwujudan demokrasi dari bentuk-bentuk lain. Pemilu adalah metode Negara untuk merealisasikan kedaulatan rakyat.

Pemilu dan demokrasi bukanlah konsep yang sinonim, tapi Pemilu berkualitas dipandang sebagai salah satu ciri kritis bahwa bangsa itu demokratis. Kualitas atau tidak Pemilu ditentukan 3 (tiga) hal; Pertama, electoral prosesyang didalam menyangkut struktur, peserta, penyelenggara dan mekanisme. Kedua, electoral laws yang menetapkan asas, tujuan, sistem dan dampak Pemilu. Ketiga, electoral formula yakni rumusan tentang pola dan mekanisme penentuan siapa atau Parpol mana yang akan jadi pemenang.

Karena Pemilu itu bersifat umum, olehnya semua warga tanpa diskriminasi ras, suku, agama, aliran pemikiran, aliran politik dan jenis kelamin berhak dipilih dan memilih, termasuk perempuan.

Penetapan kuota 30%

Penetapan kuota 30% untuk perempuan sebagaimana diatur Undang-undang disatu sisi adalah langkah maju, babak baru politik perempuan Indonesia, mendorong perempuan Indonesia untuk terlibat dalam dunia politik. Olehnya, pandangan selama ini bahwa politik adalah dunia milik laki-laki didekonstruksi menjadi strategi perjuangan semua warga Negara tanpa membeda-bedakankan termasuk jenis kelamin.

Pengaturan kuota 30% didasari argumentasi bahwa perempuan itu lemah atau dilemahkan oleh politik. Argumentasi itu tidak sepenuhnya tepat. Perempuan itu lemah atau dilemahkan bukan karena sistem politik tapi dipengaruhi oleh budaya (kebudayaan). Sistem politik Indonesia mengakui semua warga Negara sama, tidak ada pengkelasan warga Negara bahwa laki-laki sebagai warga Negara kelas satu dan perempuan sebagai warga Negara kelas dua dst.

Kebudayaan yang semestinya menjawab konstruksi sosial kita tentang posisi perempuan dalam masyarakat. Karena kita tidak bisa mengelak fakta, lapisan epistemik masyarakat kita masih bertipikal patriarkat yang membumi. Selama ini kesadaran politik perempuan rendah, itu karena masalah pra-politik, yakni sebuah masalah kebudayaan yang berdampak pada politik.

Membangkitkan kesadaran masyarakat untuk mendukung dan memilih calon perempuan dalam Pemilu berarti terlebih dahulu menghancurkan lapisan epistemik yang mengakar kuat secara patriarkat. Karena kebudayaan yang membentuk lapisan patriarkat, maka pola penghancuran dilakukan dengan jalan kebudayaan pula.

Persoalan mendasar yang mesti dijawab adalah konstruksi sosial tentang peran perempuan dalam masyarakat. Konstruksi sosial yang ada sekarang adalah penghalang kesederajatan perempuan dengan laki-laki. Dalam kebudayaan masyarakat patriarkat kedudukan perempuan dipandang rendah. Kaum perempuan tidak dipandang sebagai mitra sederajat dengan laki-laki. Hal itu kemudian mengokohkan dominasi laki-laki atas perempuan.

Perendahan martabat perempuan itu sudah berjalan dalam rentang waktu yang panjang, sejak zaman Yunani kuno. Oleh Aristoteles (384-322 SM) berteori tentang organisasi alamiah sebuah masyarakat bersistem hirarkhi yang terdiri dari subordinasi. Menurut Aristoteles, sesuai kodrat sangat pantas jiwa memerintah badan, tuan memerintah budak, dan laki-laki memerintah perempuan. Dualisme patriarkat inilah yang mesti ditolak dengan jalan kebudayaan yang radikal.

Fakta inilah kemudian dilawan dengan gerakan feminisme. Feminisme sebuah gerakan sosial yang berakar dari pengalaman kaum perempuan yang berjuang dan ingin bebas dari diskriminasi dan penindasan.

Praktis-pragmatis

Penetapan kuata 30% keterwakilan perempuan dipandang menantang. Pertanyaannya, apakah dengan affirmative action yang mengkuotakan 30% keterwakilan perempuan itu bisa terwujud sesuai harapan? Jangan sampai hanya menghasilkan apa sebaliknya dari yang diharapkan.

Pada sisi lain, pengkuotaan 30% perempuan adalah bentuk pragmatisme politik. Semangat pragmatisme adalah semangat yang mementingkan nilai kegunaan praktis dari apa yang ada sekarang bukan untuk masa depan.

Mengafirmasi keterlibatan perempuan dalam Undang-undang juga dipandang merendahkan perempuan. Bagaimana tidak, hanya untuk memenuhi syarat formal Undang-undang tentang kuota 30%, perempuan yang selama ini hanya sibuk dengan dunianya sebagai ibu rumah tangga yang tidak memiliki pengetahuan politik yang memadai dipaksa untuk bersedia dicalonkan hanya untuk memenuhi syarat formal Caleg yang diharuskan Undang-undang. Lain hal dengan perempuan yang selama ini telah berkecimpung jauh dalam dunia politik.

Penciptakan kuota 30% keterwakilan perempuan juga melahirkan ketergantungan baru. Perempuan bisa masuk politik tergantung belas kasih Undang-undang, ketergantungan kepada Undang-undang yang memberikan ruang. Begitu Undang-undang diubah dengan dihapusnya pasal pengkuotaan 30% tersebut, disaat itu lenyap pula perempuan dipanggung politik.

Pengkuotaan 30% juga dipandang bersifat sementara, sekedar membuka pintu keterlibatan perempuan dalam politik, sekalipun dilihat dari kacamata etika politik, Undang-undang itu dilahirkan sebagai bentuk diskriminatif terhadap perempuan. Karena tidak sejalan dengan asas similia similibus, bahwa semua orang memiliki kedudukan sama didepan hukum dan karena itu harus diperlakukan sama, equality befor the law dalam konsep rule of law dinegara-negara Anglo-saxon. Dalam sistem politik dan sistem hukum Indonesia, konstitusi dalam beberapa zaman tidak pernah melarang atau tidak pernah membatasi perempuan terlibat dalam politik.

Adalah paradoksal, kita mau mengatasi masalah diskriminasi perempuan tapi justru dilakukan dengan cara-cara yang diskriminasi. Inilah yang disebut keadilan formal. Padahal keadilan hukum harus mencakup aspek keadilan substansial, tidak harus prosedur benar berdasar Undang-undang, tapi bagaimana perempuan itu dimaklumi oleh kebudayaan sejajar dengan laki-laki dalam berbagai aspek.

Olehnya, nilai-nilai positif dari gerakan perempuan selama ini mesti dijadikan patokan untuk memberdayakan perempuan dengan merombak secara radikal sistem kebudayaan yang mengakar kuat dimaksud. Tanpa pemberdayaan dan merombak sistem kebudayaan itu, kita tidak bisa berharap banyak terhadap perempuan untuk terlibat dalam dunia politik sekalipun telah diharuskan Undang-undang, kecuali sekedar memenuhi syarat formal Undang-undang dimaksud.

Seksisme dan Androsentrisme

Agar perempuan disejajarkan dalam sistem, maka seksisme dan androsentrisme sebagai nilai yang mengakar dalam kebudayaan mesti dibongkar dengan sungguh-sungguh, dan itu telah dikampanyekan sejak lama dalam gerakan feminisme baik gerakan feminisme kultural, feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme sosialis maupun fenisme religius yang telah berlangsung sejak abad ke-19.

Melawan seksisme adalah gerakan yang menolak determinisme biologis sebagai dasar penentuan peran perempuan dalam pelbagai kehidupan masyarakat, politik, sosial, ekonomi dan budaya. Melawan androsentrisme yakni melawan segala sesuatu yang bertalian dengan kaum laki-laki menjadi hukum, sedang yang berpautan dengan perempuan hanyalah pengecualian. Kaidah kaum laki-laki adalah kaidah manusia.

Seksisme dan androsentrisme kemudian ditentang oleh Simone de Beaucoir, seorang filsof perempuan, yang mengatakan 'perempuan adalah yang lain'. Kalimat 'yang lain' kemudian dihubungkan dengan filsafat dialektis Hegelbahwa sesuatu itu baru berarti kalau dia melibatkan yang lain atau yang bertentangan dengannya. Suami misalnya, hanya dapat dimengerti dalam kaitan dengan istri, demikian sebaliknya. Kesuamian seseorang laki-laki tidak bisa dimengerti dalam dirinya sendiri, melainkan hanya bisa dimengerti kaitan dengan yang lain yakni istri. Tanpa kehadiran istri kita tidak bisa memahami pengertian suami. Pengertian secara dialektis diatas menandaskan bahwa laki-laki dan perempuan adalah manusia sederajat yang saling mengandaikan.

Kerangka dasariah diatas kemudian dikesampingkan oleh kerja-kerja kebudayaan. Nilai-nilai seksisme dan androsentrisme ditanamkan dan berasal dari agama dan adat sedia kala. Oleh kebudayaan, perbedaan laki-laki dan perempuan berasal dari alam berasal. Perempuan sebagai istri sekaligus sebagai ibu melahirkan, sedangkan laki-laki itu kuat karena dilengkapi kesanggupan fisik dan bekerja secara lebih berat. Perbedaan karena penentuan alam dalam nilai kebudayaan ini harusnya dipakai untuk saling melengkapi, bukan untuk saling menindas. Perbedaan itu tidak hanya diterima tapi perlu digunakan sebagai harta yang dapat menantang dan membahagiakan. Jika perbedaan itu dihargai oleh kebudayaan, maka keduanya akan saling bergantungan antar keduanya.

Olehnya, masalah perempuan yang dihadapi saat ini bukan terletak pada sistem politik tapi adalah soal kebudayaan. Karena itu strategi yang tepat adalah tidak dengan affirmative action didalam sistem politik melalui Undang-undang tapi dengan affirmative action didalam dunia kebudayaan, agar perempuan tidak menjadi asing didunia politik, tidak diberlakukan secara diskriminatif, tidak dipandang praktis-pragmatis, tidak dilemahkan tapi mesti disejajarkan dengan melawan seksisme dan androsentrisme seperti yang telah lama dikampanyekan dalam gerakan feminisme.

Inilah salah satu tugas Negara, warga bangsa dan lebih-lebih kaum perempuan yang tengah berjuang agar diperlakukan secara adil oleh kebudayaan. Tanpa merombak kebudayaan yang mengakar kuat dinegeri ini, kita tidak bisa berharap banyak pada perempuan untuk dilibatkan secara paripurna dalam politik.

Cikini, 25 September 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun