Mohon tunggu...
Akhmad Bumi
Akhmad Bumi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kuota 30%, Diskriminasi terhadap Perempuan?

25 September 2018   13:44 Diperbarui: 25 September 2018   14:00 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Persoalan mendasar yang mesti dijawab adalah konstruksi sosial tentang peran perempuan dalam masyarakat. Konstruksi sosial yang ada sekarang adalah penghalang kesederajatan perempuan dengan laki-laki. Dalam kebudayaan masyarakat patriarkat kedudukan perempuan dipandang rendah. Kaum perempuan tidak dipandang sebagai mitra sederajat dengan laki-laki. Hal itu kemudian mengokohkan dominasi laki-laki atas perempuan.

Perendahan martabat perempuan itu sudah berjalan dalam rentang waktu yang panjang, sejak zaman Yunani kuno. Oleh Aristoteles (384-322 SM) berteori tentang organisasi alamiah sebuah masyarakat bersistem hirarkhi yang terdiri dari subordinasi. Menurut Aristoteles, sesuai kodrat sangat pantas jiwa memerintah badan, tuan memerintah budak, dan laki-laki memerintah perempuan. Dualisme patriarkat inilah yang mesti ditolak dengan jalan kebudayaan yang radikal.

Fakta inilah kemudian dilawan dengan gerakan feminisme. Feminisme sebuah gerakan sosial yang berakar dari pengalaman kaum perempuan yang berjuang dan ingin bebas dari diskriminasi dan penindasan.

Praktis-pragmatis

Penetapan kuata 30% keterwakilan perempuan dipandang menantang. Pertanyaannya, apakah dengan affirmative action yang mengkuotakan 30% keterwakilan perempuan itu bisa terwujud sesuai harapan? Jangan sampai hanya menghasilkan apa sebaliknya dari yang diharapkan.

Pada sisi lain, pengkuotaan 30% perempuan adalah bentuk pragmatisme politik. Semangat pragmatisme adalah semangat yang mementingkan nilai kegunaan praktis dari apa yang ada sekarang bukan untuk masa depan.

Mengafirmasi keterlibatan perempuan dalam Undang-undang juga dipandang merendahkan perempuan. Bagaimana tidak, hanya untuk memenuhi syarat formal Undang-undang tentang kuota 30%, perempuan yang selama ini hanya sibuk dengan dunianya sebagai ibu rumah tangga yang tidak memiliki pengetahuan politik yang memadai dipaksa untuk bersedia dicalonkan hanya untuk memenuhi syarat formal Caleg yang diharuskan Undang-undang. Lain hal dengan perempuan yang selama ini telah berkecimpung jauh dalam dunia politik.

Penciptakan kuota 30% keterwakilan perempuan juga melahirkan ketergantungan baru. Perempuan bisa masuk politik tergantung belas kasih Undang-undang, ketergantungan kepada Undang-undang yang memberikan ruang. Begitu Undang-undang diubah dengan dihapusnya pasal pengkuotaan 30% tersebut, disaat itu lenyap pula perempuan dipanggung politik.

Pengkuotaan 30% juga dipandang bersifat sementara, sekedar membuka pintu keterlibatan perempuan dalam politik, sekalipun dilihat dari kacamata etika politik, Undang-undang itu dilahirkan sebagai bentuk diskriminatif terhadap perempuan. Karena tidak sejalan dengan asas similia similibus, bahwa semua orang memiliki kedudukan sama didepan hukum dan karena itu harus diperlakukan sama, equality befor the law dalam konsep rule of law dinegara-negara Anglo-saxon. Dalam sistem politik dan sistem hukum Indonesia, konstitusi dalam beberapa zaman tidak pernah melarang atau tidak pernah membatasi perempuan terlibat dalam politik.

Adalah paradoksal, kita mau mengatasi masalah diskriminasi perempuan tapi justru dilakukan dengan cara-cara yang diskriminasi. Inilah yang disebut keadilan formal. Padahal keadilan hukum harus mencakup aspek keadilan substansial, tidak harus prosedur benar berdasar Undang-undang, tapi bagaimana perempuan itu dimaklumi oleh kebudayaan sejajar dengan laki-laki dalam berbagai aspek.

Olehnya, nilai-nilai positif dari gerakan perempuan selama ini mesti dijadikan patokan untuk memberdayakan perempuan dengan merombak secara radikal sistem kebudayaan yang mengakar kuat dimaksud. Tanpa pemberdayaan dan merombak sistem kebudayaan itu, kita tidak bisa berharap banyak terhadap perempuan untuk terlibat dalam dunia politik sekalipun telah diharuskan Undang-undang, kecuali sekedar memenuhi syarat formal Undang-undang dimaksud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun