Oleh Akhmad Bumi
Ya kasus yang menimpa sejumlah elit Partai Golkar belakang ini cukup menarik. Menarik karena indikasi adanya tindak pidana korupsi korporasi yang ditujukan pada partai Golkar.
KPK telah menetapkan tiga tersangka yakni Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, pemilik saham Blackgold Natural Resources, Johannes B Kotjo, dan mantan Menteri Sosial Idrus Marham dalam kasus PLTU Riau-1.
Eni diduga menerima uang Rp 6,25 miliar dari Kotjo secara bertahap dengan rincian Rp 4 miliar sekitar November-Desember 2017 dan Rp 2,25 miliar pada Maret-Juni 2018. Pemberian uang terkait proyek PLTU Riau-1.
Menurut pengakuan Eni seperti yang dikutip banyak media, sebagian dari uang yang diterimanya tersebut, ia berikan untuk keperluan pelaksanaan Munaslub Golkar.
Saat itu, Eni adalah bendahara panitia Munaslub Partai Golkar. Sedangkan yang menjadi Ketua Panitia adalah Agus Gumiwang, politisi Golkar yang kini menjabat Menteri Sosial.
Benarkah dengan pengakuan Eni dengan serta merta Golkar dituduh melakukan tindak pidana korupsi?
Tentu tidak semudah itu. Karena partai politik akan menarik garis antara tindakan pengurus partai yang mewakili dirinya sendiri (individu) disatu sisi dengan kehendak partai dengan merujuk pada AD/ART dan mekanisme partai dalam mengambil keputusan pada sisi lain. Jika tidak pernah diambil keputusan dalam partai sesuai AD/ART, sepanjang itu juga tindakan tsb menjadi perbuatan pribadi. Karena tidak pernah diputuskan oleh partai dalam rapat sebagai forum pengambil keputusan partai.
Sanksi Pidana Korporasi
Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) disebutkan bahwa subyek hukum pelaku korupsi tidak saja orang, tetapi juga badan hukum atau korporasi.
UU Tipikor menyebutkan korporasi adalah "kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi, baik itu merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum".