Cuitan Ferdianand Hutahaean di Twitter, "Kasihan sekali  Allahmu, ternyata harus dibela. Kalau aku sih Allahku, luar biasa,  maha segalanya. DIAlah pembelaku selalu dan Allahku tak perlu dibela", diakun Twitternya @FerdinandHaean3 beberapa waktu lalu ternyata membawa petaka besar bagi Ferdinand Hutahaean dan akhirnya sejak semalam, 10 Januari 2022, ditahan sebagai Tersangka perkara ujaran kebencian yang bernada SARA oleh Penyidik Bareskrim Polri untuk 20 hari ke depan.
Sejak ramainya tweet dari seorang Ferdinand Hutahaean yang mempersonifikasikan Tuhan dengan makhluknya, ada beberapa laporan dari warga masyarakat dari mulai warga di Sulawesi Selatan hingga laporan DPP KNPI kepada Bareskrim Mabes Polri.Â
Ferdinand Hutahaean dijerat sebagai Tersangka antara lain dengan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 tahun 1946 dan Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik), ancaman hukuman secara kumulatif selama 10 tahun penjara.
Walaupun sempat mengelak dan mengaku sakit serta apa yang dilakukannya hanya merupakan dialog imajiner yang menjadi konsumsi pribadi, namun tidak menyurutkan langkah Penyidik Bareskrim Polri untuk menahan tersangka Ferdinand Hutahaean.Â
Alasan penahanan terhadap Ferdinand Hutahaean ini didasarkan alasan bahwa ancaman hukumannya diatas 5 tahun dan ada kekhawatiran tersangka akan melarikan diri dan menghilangkan barang bukti.
Publik banyak bertanya, apakah ini bentuk keseriusan dari Polri untuk melakukan penegakan hukum secara murni kepada penista agama melalui ruang siber atau sekedar untuk menaikkan citra Polri ditengah masyarakat atau desakan publik yang sangat kuat yang mendesak penahanan terhadap tersangka Ferdinand Hutahaean ini.
Penulis menilai untuk menjawab pertanyaan tersebut tidak mudah dan harus menunggu proses penegakan hukum yang akan berjalan kedepannya. Namun demikian, penulis mencoba meneropong sikap Penyidik Bareskrim Polri atas penahanan Ferdinand Hutahaean ini.Â
Menurut penulis, pertama, tidak ada desakan publik yang kuat untuk mendesak Penyidik melakukan penahanan tersangka. Reaksi publik biasa saja dan tidak massif.Â
Berbeda halnya saat kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok pada tahun 2016 silam. Desakan publik begitu kuat saat itu, namun tak mampu mendorong Penyidik Bareskrim Polri untuk menahan Ahok ditingkat penyidikan yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
 Kedua, penulis lebih cenderung menilai Penyidik Bareskrim Polri melakukan proses penegakan hukum dalam rangka untuk menaikan citra Polri yang semakin menaik citranya akhir-akhir ini, setelah Kapolri dijabat Jend. (Pol) Listyo Sigit Prabowo dengan visi PRESISI nya.Â