Mohon tunggu...
Farid Muadz Basakran
Farid Muadz Basakran Mohon Tunggu... Administrasi - Advokat

#Advokat #Mediator #Medikolegal I Pendiri BASAKRAN dan GINTING MANIK Law Office sejak 1996 I Sentra Advokasi Masyarakat I Hotline : +62816 793 313

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menyikapi Telegram Kapolri No. 339/2021 Mengenai Pedoman Penanganan Cybercrime

24 Februari 2021   12:20 Diperbarui: 7 Januari 2023   09:04 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Penegakan hukum yang semata-mata bersifat represif tanpa memperhatikan pendekatan preventif akan bertentangan dengan hakikat dan kodrat kejahatan yang bersumber dari masyarakat", pendapat itu dikemukakan Prof. Dr. Muladi, S.H. ketika memulai tulisannya yang berjudul "Kebijakan Kriminal dan UU ITE", di Harian Kompas, Selasa, 7 Januari 2020, halaman 6.

Mengutip Harian Kompas (23/9/2019) halaman 3, Prof. Muladi menulis, dalam rubrik Kilas Politik dan Hukum, memberitakan sejak Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) berlaku pada 2008, jumlah kasus tindak pidana yang terkait dengan UU tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. Sejak 2017 hingga 2019 saja total 6.895 orang sudah diselidiki Polri dengan rincian 38 persen terkait dengan penghinaan terhadap tokoh, penguasa, lembaga publik; 20 persen terkait dengan penyebaran tipuan; 12 persen terkait pidato kebencian; dan sisanya tindakan lain.

Melihat data diatas, menurut Muladi, orang mulai berpikir mengapa UU yang juga mengandung pengaturan tentang cybercrime (vide Cybercrime Convention, 2001) tersebut telah dituduh telah menjadi instrumen pemidanaan. Menurut Muladi, ada tiga moralitas, atau dimensi kepentingan negara dan masyarakat, kepentingan korban, dan kepentingan pelaku yang belum tentu bersalah.

Dari berbagai kritik terhadap UU ITE, menurut Muladi lebih lanjut, tampak bahwa UU ini dalam beberapa hal masih dianggap kurang menjamin kepastian hukum, beberapa perumusan bersifat multitafsir (karet) sehingga mengganggu kebebesan berekspresi (opini, kritik) di era demokrasi melalui Facebook, Twitter, Youtube, messenger (SMS, Whatsapp, dan BBM).

Disamping itu, UU ITE cenderung memicu perselisihan warga masyarakat yang dengan mudah melaporkan kepada penegak hukum dan menambah sumber konflik antara penguasa dan anggota masyarakat. Beberapa pasal dianggap merupakan duplikasi dengan aturan KUHP. Selanjutnya ada kesan UU ITE di satu pihak mengandung unsur perlindungan, tetapi juga mengandung ancaman dan mengakibatkan keresahan.

Itulah keresahan almarhum Prof. Dr. Muladi, S.H. dalam tulisannya mengenai Kebijakan Kriminal dan UU ITE di Harian Kompas pada 7 Januari 2020. Selanjutnya Prof. Muladi menyarankan perlunya UU ITE dievaluasi oleh pemerintah dan DPR, apakah standar kriminalisasi diatas sudah dipenuhi untuk menjamin trias fungsi hukum, yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, karena revisi dengan UU No. 19/2016 dianggap belum memuaskan. Terlepas dari kelemahan itu, harus terus dikembangkan peningkatan kualitas penegak hukum untuk dapat melakukan tindakan pelacakan kejahatan ITE dan menetralisasi konten negatif.

Surat Telegram Kapolri No : ST/339/II/RES.1.1.1./2021.

Keresahan Prof. Muladi setahun yang lalu, sebagiannya seperti terjawab dengan terbitnya Surat Telegram Kapolri No. ST/339/II/RES.1.1.1./2021 tertanggal 22 Februari 2021 yang ditandatangani oleh Waka Bareskrim Polri Irjen Pol. Wahyu Hadiningrat, S.I.K., M.H. Surat Telegram Kapolri tersebut pada pokoknya memberikan petunjuk dan pengarahan sebagai pedoman penanganan tindak pidana siber (cybercrime) terhadap hal-hal sebagai berikut :

1. Tindak Pidana yang dapat diselesaikan dengan cara Restorative Justice adalah Pencemaran Nama Baik/Fitnah/Penghinaan adalah sebagai berikut :

     a. Tindak Pidana sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

     b. Tindak Pidana sebagaimana dimaksud Pasal 207 KUHP;

     c. Tindak Pidana sebagaimana dimaksud Pasal 310 KUHP;

     d. Tindak Pidana sebagaimana dimaksud Pasal 311 KUHP.

Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Pasal 207 KUHP, Pasal 310 KUHP, dan Pasal 311 KUHP tersebut agar TIDAK DILAKSANAKAN PENAHANAN terhadap tersangkanya. Dalam setiap tahapan penyidikan dan penetapan tersangka agar melaksanakan Gelar Perkara melalui Virtual Meeting/Zoom kepada Kabareskrim Polri Up. Dirtipidsiber.

2. Tindak Pidana yang dapat/berpotensi memecah belah bangsa (disintegrasi dan intoleransi) adalah sebagai berikut :

      a. Tindak Pidana yang mengandung unsur SARA KMA, Kebencian terhadap Golongan atau Agama dan Diskriminasi Ras dan Etnis,               yakni :

          1. Tindak Pidana sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (2) UU ITE;

          2. Tindak Pidana sebagaimana dimaksud Pasal 156 KUHP;

          3. Tindak Pidana sebagaimana dimaksud Pasal 156a KUHP;

          4. Tindak Pidana sebagaimana dimaksud Pasal 4 UU No. 40 Tahun 2008.

     b. Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong yang menimbulkan keonaran, sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 tahun              1946.

Terhadap tindak pidana yang dapat/berpotensi memecah belah bangsa (disintegrasi dan intoleransi) tersebut tidak ada petunjuk dan pengarahan serta perintah untuk tidak melakukan Penahanan terhadap tersangkanya, maka secara  a contrario  dapat dianalogikan, bahwa terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (2) UU ITE, Pasal 156 KUHP dan Pasal 156a KUHP, serta Pasal 4 UU No. 40 tahun 2008, DAPAT DILAKUKAN PENAHANAN. Dalam setiap tahapan penyidikan dan penetapan tersangka agar melaksanakan Gelar Perkara melalui Virtual Meeting/Zoom kepada Kabareskrim Polri Up. Dirtipidsiber.

Menurut Prof. Indriyanti Seno Adjie, "Bagi saya, ST Kapolri itu memang benar dan memiliki legitimasi yang sah.  Memang, kebebasan berpendapat itu dijamin konstitusi, tetapi haruslah dipahami bahwa suatu kebebasan berpendapat tidak pernah berlaku absolut. Ada batas-batasnya. Ada limitasi restriktif, baik secara hukum dengan regulasi, yakni KUHP dan UU ITE, doktrin atau ilmu hukum, yurisprudensi, maupaun restriksi etika sosial," (https://www.beritasatu.com/nasional/619151/pakar-surat-telegram-kapolri-soal-penghinaan-presiden-miliki-legitimasi).

Dengan terbitnya Surat Telegram Kapolri No. 339/2021 ini, melegakan dan menjawab keresahan berbagai kalangan, dari kalangan akademisi sampai rakyat jelata. Namun demikian, Surat Telegram ini tidak serta merta efektif dalam implementasinya. Bisa saja, ada subordinasi dari oknum penyidik atau oknum penyidik dalam praktek tidak mematuhi petunjuk dan pengarahan serta perintah Kapolri ini. Harus ada sikap tegas dari Kapolri untuk melakukan pembinaan sejak awal dan pemberian sanksi apabila ada oknum anggota Polri yang tidak mematuhi Surat Telegram No. 339/2021 tertanggal 22 Februari 2021 ini.

Dan yang lebih penting lagi adalah, apakah dalam implementasinya Surat Telegram Kapolri bisa memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak yang berpekara, baik korban ataupun pelakunya. Kita tunggu implementasinya dalam praktek.

 

Semoga bermanfaat

FARID MU'ADZ BASAKRAN

Advokat dan Mediator

0816793313

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun