Mohon tunggu...
Farid Muadz Basakran
Farid Muadz Basakran Mohon Tunggu... Administrasi - Advokat

#Advokat #Mediator #Medikolegal I Pendiri BASAKRAN dan GINTING MANIK Law Office sejak 1996 I Sentra Advokasi Masyarakat I Hotline : +62816 793 313

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bisakah Warga Negara diusir dari Kediamannya Sendiri?

11 Agustus 2015   08:04 Diperbarui: 11 Agustus 2015   08:44 1810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah anda mengalami, melihat, atau mendengar ada seorang warga negara dan keluarganya yang menjadi korban tindak pidana diusir dari rumah kediamannya yang sah ? Bila belum pernah maka akan penulis ceritakan kisah nyata yang terjadi baru-baru ini. Dan seandainya ada kisah yang mirip terjadi dalam rangka HUT ke 70 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ini, maka layak pula dibagi pengalaman melalui tulisan ini.

Mengusir penjajah yang bercokol di suatu negara itu adalah hal yang lazim. Begitu pula pengalaman memerdekakan negeri ini dari penjajahan Belanda, Inggris, Portugis dan terakhir Jepang, dilakukan oleh para pendahulu kita dengan berjuang sekuat tenaga untuk mengusir penjajah agar hengkang dari negeri ini.

Di beberapa masyarakat adat di Indonesia ini, memang bukan hal yang aneh bila ada warga adat yang di hukum usir melanggar hukum adat yang berlaku di suatu daerah atau suku. Namun di zaman mutakhir saat ini, merupakan hal yang langka hukum usir ini diberlakukan kepada warga adat, apalagi dalam masyarakat yang berstruktur heterogen.

Kisah Nyata.

Ini kisah nyata yang merupakan kejadian luar biasa yang terjadi saat ini. Seorang warga negara yang menjadi korban kejahatan, dan berlaku hukum positif, seorang oknum menggalang warga lainnya dengan cara diprovokasi dan di agitasi, agar warga negara tersebut dan keluarganya di usir dari kediamannya yang sah. Tidak tangung-tanggung, yang diprovokasi dan diagitasi tersebut adalah Kepala Desa, Sekretaris Desa dan perangkat desa lainnya, aparat kepolisian setempat dan bahkan unsur-unsur dari kecamatan setempat. Pelaku dan otak intelektualnya pun bukan main, seorang oknum anggota Polri berpangkat Brigadir, dan masih bertugas secara aktif hingga saat ini. Sanksi pun terhadapnya belum berjalan maksimal dan belum memiliki deterrent effect atau efek jera terhadap pelakunya. Korbannya pun suami-isteri yang berprofesi sebagai advokat. Bila seorang advokat saja bisa menjadi korban kejahatan oknum anggota Polri, lalu bagaimana halnya dengan masyarakat awam ?

Maksud oknum anggota Polri berpangkat Brigadir kelihatannya tidak lain adalah untuk menghapus pertanggungjawaban pidana yang akan dimintakan terhadap si pelaku. Dan korban dibuat malu dan dipermalukan di depan khalayak umum yang terprovokasi dengan fitnah keji antara lain tukang rusuh, pengganggu ketentraman dan keamanan warga, dan lainnya. Padahal sebaliknya korban dan keluarganya bersikap positif dalam bermasyarakat dan membangun fisik dan mental masyarakat sekitar. Untuk mencapai tujuannya dikerahkanlah isteri, mertua dan keluarganya yang lain. Selain itu didatangkan lah seorang Reporter muda dari Harian RB di Bogor, dimana saat penyerbuan sang Reporter muda ini berada di garda depan mengambil gambar kebiadaban mereka melakukan aksinya. Dan  keesokan harinya berita tersebut dimuat di Harian RB tanpa konfirmasi kepada korban dan kelihatannya dipesan untuk menghancurkan harkat dan martabat korban sekeluarga dan berusaha membunuh karakter korban dan keluarganya. Dan merupakan kejadian luar biasa pula dalam menjalankan aksinya oknum Polri masih menikmati gaji yang berasal dari APBN yang nota bene berasal dari uang rakyat. Selain itu, aparat kepolisian setempat termasuk atasan oknum anggota Polri ini mengetahui hal ini dan senyatanya telah membiarkan perbuatan biadab yang tidak mengenal perikemanusiaan. Sungguh luar biasa, ada peristiwa yang melanggar etika profesi Polri dan melanggar ketentuan hukum pidana dibiarkan berlangsung sebagai suatu peristiwa dan berlalu begitu saja serta dimungkinkan berlanjut untuk mengulangi perbuatannya.

Saat ini yang bersangkutan sudah ditetapkan statusnya sebagai Tersangka karena melakukan tindak pidana penganiayaan di Polresta Bogor, jadi harus menunggu apa lagi korban untuk mendapatkan keadilan atas perlakuan sewenang-wenang dari oknum anggota Polri berpangkat Brigadir yang bertugas di Polres Bogor ini. Sementara keberhasilannya menebar fitnah dan kebencian, provokasi dan mengusir seorang warga negara dari tempat tinggalnya belum disentuh oleh hukum dan atasannya. 

 

Pelanggaran Hak Konstitusional dan Hak Asasi Manusia.

Apakah kisah nyata merupakan pelanggaran hak asasi manusia ? Sangat jelas !. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak konstitusional dan hak-hak mendasar yang dimiliki oleh seorang warga negara beserta keluarganya. 

Menurut Pasal 28 G UUD 1945 ayat (1) dan (2) disebutkan hak warga negara atas perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda. Selengkapnya penulis kutip :

(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. 

Sementara itu Pasal 28 H UUD 1945 ayat (1) dan ayat (4) mengatur hak-hak konstitusional antara lain :

(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.

Dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak konstitusional atas tempat tinggal di wilayah Indonesia, atas perlindungan pribadi, keluarga, harkat dan martabat, dan perlindungan atas hak milik benda dijabarkan sebagai hak asasi manusia di dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 30, Pasal 31 ayat (1) dan (2) yang diatur sebagai berikut :

Pasal 27

(1) Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia.

Pasal 30

Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

Pasal 31

(1) Tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu.

(2) Menginjak atau memasuki suatu pekarangan tempat kediaman atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan orang yang mendiaminya, hal diperbolehkan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang.

Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia baik dalam pertimbangan, batang tubuh, serta penjelasannya sangat menekankan pentingnya memperhatikan hak asasi manusia dan menghormati harkat dan martabat manusia dalam menjalankan tugas sebagai anggota Polri. Selain itu dalam bertindak pun setiap anggota Polri harus didasarkan pada dasar hukum yang kuat agar tidak dikatakan melanggar hukum dalam menjalankan profesi sebagai anggota Polri.

Setiap anggota Polri pun terikat pada Peraturan Disiplin Anggota Polri sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 2003. Terhadap pelanggaran disiplin setiap anggota Polri pun dapat dijatuhkan sanksi disiplin atau etika berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri.

Anggota Polri terikat pada sumpah yang diucapkannya sebelum diangkat melakukan tugas sebagai anggota Polri sebagai dimaksud Pasal 23 UU No. 2 tahun 2002, yang selengkapnya lafal sumpah tersebut :

   "Demi Allah, saya bersumpah/berjanji :

    bahwa saya, untuk diangkat menjadi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, akan setia dan taat sepenuhnya kepada     Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tri Brata, Catur Prasatya, dan Negara               Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah yang sah;

    bahwa saya, akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan kedinasan di Kepolisian           Negara Republik Indonesia yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;

   bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan martabat anggota Kepolisian Negara          Republik Indonesia, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara daripada kepentingan    saya sendiri, seseorang atau golongan;

    bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan;    

    bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan             Republik Indonesia dan tidak akan menerima pemberian berupa hadiah dan/atau janji-janji baik langsung maupun tidak               langsung yang ada kaitannya dengan pekerjaan saya".

Dari fakta tersebut jelas bahwa oknum Polri berpangkat Brigadir jelas melanggar hak konstisuonal, hak asasi manusia dam hak hukum korban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang berarti melanggar sumpah  sebagai anggota Polri. 

Saat ini korban memerlukan keadilan agar si tersangka berpangkat Brigadir segera mendapatkan hukuman yang cepat dari atasannya dan perlu mendapatkan hak atas rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat. Ada kecenderungan perilaku berkelanjutan dan mengulangi perbuatan lainnya yang sangat berbahaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun