Melalui pengalaman mistik "advaita" (nondual alias tak ada duanya), yang terjadi di berbagai belahan dunia sejak ribuan tahun lalu, orang mengalami sensasi aneh yang sangat meyakinkan.
Yang "tampak" adalah sebuah (hanya satu) "Pusat Kesadaran Ilahiyah" yang tak terlukiskan dengan kata-kata.
Orang menyebutnya "The Central Self", "The All Creative Energy That Is", "Existence Consciousness Bliss", "Tuhan" (Yahudi/Aramaik: "Elah", Arab: "Al-ilah", "Allah"), "Christ Consciousness", "Cosmic Consciousness", luas dan "mengembang" (Sanskrit: "Brahman"), dan lain-lain.
Saking sulit untuk menggambarkannya, kadang orang hanya menyebutnya sebagai "Itu" (Inggris: "That", Sanskrit: "Tat"), atau "Dia".
Dan "Pusat Kesadaran Ilahiyah" itu sesungguhnya adalah... diri sejati kita semua.
Realitas Absolut dan Realitas "Penampakan" (Maya)
Dalam perspektif metafisika ini tak ada realitas, tak ada eksistensi, tak ada keberadaan apapun yang benar-benar nyata, kecuali "Kesadaran Ilahiyah" itu.
Sang Pusat Kesadaran kemudian memanifestasikan dirinya menjadi penampakan berbagai bentuk, berbagai energi, berbagai nama, berbagai waktu, semua hal yang kita kenal di alam ini, juga berbagai dimensi yang tak terjangkau indera kita.
Dari sudut pandang mistik, benda-benda di alam semesta hanyalah penampakan maya, seperti virtual reality. Karena yang benar-benar nyata secara absolut hanyalah Pusat Kesadaran Ilahiyah itu.
Dia berpetualang jauh "ke ujung kosmik multidimensi", melupakan diriNya sendiri. Menikmati "ilusi keterpisahan".Â
Merasakan derita itu seperti apa. Merasakan pahitnya kehidupan. Merasakan sakitnya ketidakadilan. Merasakan segala keterbatasan yang hanya bisa dirasakan jika Dia bukan Sang Maha Kuasa dan Maha Perkasa.
Namun, pada akhirnya, Dia selalu "bangun" dan kembali jadi diriNya dalam Kebahagiaan Abadi.
Sendiri di Keabadian
Di Realitas Absolut itu, tak ada obyek atau benda apapun, selain Sang Subyek "sendirian". Yang ada hanya Eksistensi Kesadaran dan Kebahagiaan yang Tiada Tara (Inggris:Â "Existence Consciousness Bliss". Sanskrit: "Sat Cit Ananda").
Kesadaran Ilahiyah itu Maha Cerdas, Maha Kreatif, Maha Kuasa. Dari kesadaranNya, Ia mampu menciptakan apapun yang Dia mau. Seperti orang menciptakan alam yang tidak nyata dalam mimpi, tapi terasa seperti nyata bagi orang yang sedang bermimpi.
Penampakan Seperti Banyak
Maka Kesadaran Ilahiyah yang Maha Kreatif itu menciptakan "panggung kosmik" dari kesadaranNya. Dari "pure consciousness" (kesadaran murni) menjadi energi atom-atom yang tampak seperti benda dan alam semesta yang kaya dan beragam.
Menariknya, misteri eksistensi alam semesta ini sejak abad 20 pelan-pelan mulai terkuak di dunia sains melalui fisika kuantum.
Fisikawan cerdas seperti Prof. Albert Einstein misalnya, percaya bahwa realitas adalah sebuah "ilusi yang konsisten dan keras kepala" (referensi di sini).
Drama Kosmik
Agar panggung kosmik menjadi menarik, ketika berperan menjadi para mahluk maya, Sang Sumber Kesadaran harus lupa bahwa Dia Maha Kuasa.
Ibaratnya seperti seorang aktor hebat, misalnya aktor Christian Bale yang sedang berperan menjadi Batman, harus meyakinkan para penonton bahwa ia adalah karakter maya Batman dan bukan Christian Bale.
Aktor yang sukses adalah yang mampu membuat penonton hanyut dalam drama film tersebut. Penonton ikut cemas, takut, sedih, gembira karena "sengaja melupakan" bahwa film itu tidak nyata.
Kira-kira seperti itulah yang dilakukan oleh Kesadaran Ilahiyah Yang Maha Tunggal ketika bermanifestasi, berperan, menjadi penampakan semua mahluk dan semua benda di alam maya.Â
Tujuannya adalah untuk merasakan keterbatasan, keterpisahan, kesedihan, kebahagiaan yang tak abadi, yang tak akan pernah dialami pada kondisi yang sesungguhnya sebagai Yang Maha Kuasa.
Permainan, Bukan Ujian dan Hukuman
Dalam filsafat Advaita ini, konsep "Tuhan" bukan seperti raja yang duduk di singgasana "nun jauh terpisah di atas sana", yang kerjanya menguji, memberi hadiah dan menghukum para mahluk yang sengaja Dia ciptakan tidak sempurna.
Konsepsinya bukan "maha penyayang yang tidak tulus" seperti berhitung matematika: "kamu menyembahKu akan Aku kasih surga, kamu tak menyembahKu akan Aku bakar kamu di neraka selama jutaan miliaran triliunan tahun."
Sebaliknya, paradigma lewat pengalaman metafisika langsung ("direct experience") ini melihat "Tuhan" sebagai "Sumber Kesadaran Tunggal" yang senang bermain (playful).
Analoginya seperti anak balita yang masih murni, selalu bermain dan selalu bahagia, sehingga anak-anak disebut "ananda" (bahasa Sanskrit yang artinya "kebahagiaan yang tiada tara", dalam bahasa Inggris disebut "bliss"Â atau "ecstasy").
Main "Petak Umpet" dan "Ciluk Ba"
Pengalaman mistik Advaita melahirkan paradigma "Tuhan" yang senang bermain dalam kebahagiaan yang tiada tara. "Pusat Kesadaran Tunggal" yang melandasi dan menghubungkan kesadaran kita semua, memainkan seluruh peran yang ada di alam maya.Â
Lewat "sihir maya" alias "hukum alam", Dia meyakinkan diriNya yang sedang berperan sebagai mahluk kosmik bahwa alam maya itu nyata. Melalui panca indera yang sengaja dibuat sangat terbatas, Dia secara cerdas bersembunyi dari diriNya sendiriÂ
Itu sebabnya anak-anak secara natural menyukai permainan "petak umpet". Permainan untuk menakut-nakuti diri mereka sendiri, tiba-tiba muncul dari persembunyian untuk mengagetkan temannya.
Itu pula sebabnya orang suka membaca novel fiksi, menonton film horor untuk merasakan takut, berpetualang mendaki gunung, melompat dari ketinggian, dan lain-lain. Hal-hal yang sangat "manusiawi".
Lingkaran "Samsara" (Sengsara)
Dari kacamata mahluk maya yang tak sadar dengan permainan ini, panggung drama kosmik bisa jadi sangat mengerikan. Ia hidup dalam ilusi keterpisahan, dirinya "melawan" dunia dan kehidupan yang tak selalu ramah.
Ia ibarat penonton yang hanyut dalam ilusi film karena mengidentifikasikan dirinya sebagai karakter dalam film tersebut. Padahal, diri sejatinya adalah penonton film itu.
Semakin ia hanyut -- mencari kebahagiaan di dunia maya, menghindari penderitaan di dunia maya -- semakin ia terseret oleh "sihir maya" dalam lingkaran kehidupan dan kematian yang disebut "samsara" (sengsara).
Oleh sebab itu, "sihir maya" alias "hukum alam" menciptakan apa yang disebut sebagai "hukum kekekalan energi" alias "daur ulang".
Sang karakter maya terus ada di lingkaran dunia maya, surga maya, neraka maya, yang terus berputar tak ada habisnya.
Jiwa yang Sadar
Kondisi mahluk alam maya itu seperti hamster bermain di kincir roda putar yang tak pernah berhenti. Mereka terus hanyut dalam realitas maya, mencari kebahagiaan maya dan menghindari penderitaan maya yang diluar kontrol mereka.
Namun, sepanjang masa dalam sejarah, selalu ada sebagian kecil orang yang sadar dengan "Permainan Agung Ilahiyah" ini.Â
Ia tak lagi mengidentifikasikan dirinya sebagai "seorang individu" (si Fulan, si Badu) atau "personal" (Yunani, artinya "topeng"), alias karakter maya "poor little me" dalam ilusi keterpisahan pada lingkaran "samsara" (sengsara).
Ia sadar bahwa kesadarannya adalah percikan dari Kesadaran Ilahiyah Yang Maha Tunggal.Â
Posisi "Ba" adalah ketika jiwa sadar dengan diri sejatinya dalam Permainan Kosmik. Ia mengidentifikasikan dirinya sebagai percikan Kesadaran Murni dan Kebahagiaan Abadi.
Ia memperoleh Kebahagiaan Abadi pada saat ini juga, bukan "nanti di surga setelah mati". Sebab, ia sadar bahwa dimensi waktu berikut lingkaran kehidupan dan kematian -- baik di dunia, surga atau neraka -- hanyalah penampakan maya dari Sang Eksistensi Kesadaran dan Kebahagiaan Abadi.
"Jiwa yang sadar" ini disebut enlightened, awakened, liberated, nirvana, moksha, makrifat, atau apapun sebutannya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H