Mohon tunggu...
AD Tuanku Mudo
AD Tuanku Mudo Mohon Tunggu... Penulis - aktivis sosial kemasyarakatan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ilmu Jadi Berkah Tatkala Guru Ikhlas Mengajar

26 September 2020   23:52 Diperbarui: 27 September 2020   16:16 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pimpinan Ponpes Madrasatul 'Ulum Buya Marzuki Tuanku Nan Basa tengah memimpin jalan prosesi ziarah ke makam ulama yang menjadi rutinitas santri pesantren. Ziarah itu bagian dari mengharap berkah ilmu dari ulama yang diziarahi. (foto dok facebook ponpes madrasatul 'ulum lubuak pandan)

Keikhlasan Buya Tuanku Shaliah Lubuak Pandan dalam mengembangkan dunia pendidikan surau sudah terbentuk sejak dia mengembara ke banyak surau dan ulama dulunya. Baginya, mendidik adalah tanggungjawab kepada kepada Allah Swt sebagai orang yang sudah diberikan ilmu.

Mendiang Rasyiddin Tuanku Mudo, salah seorang alumni Ponpes Madrasatul 'Ulum menceritakan     selama dia menuntut ilmu di pesantren itu, tidak ada yang namanya iuran bulanan atau iuran minyak. Termasuk juga kesejahteraan Buya dan majelis guru, saat itu tidak pernah dibebankan kepada santri.

"Buya dan majelis guru tidak pernah menuntut atau membuat kebijakan memberlakukan iuran di lembaga tersebut," kata dia.

Cuma, sebagai partisipasi dari santri terhadap Buya adalah membantunya saat musim turun ke sawah. Sebutlah menanam padi, memanen serta menyiangi tanaman padi di sawah milik keluarga Buya. Barangkali itu bentuk sumbangsih santri terhadap Buya selaku guru besar sekaligus pendiri pesantren.

Iuran diberlakukan, kata Rasyiddin, ketika asrama yang didiami santri mengalami kerusakan, seperti atap bocor, asrama mulai rusak dan lain sebagainya. Itu sebuah gambaran, bahwa seorang Buya sangat ikhlas dalam memberikan ilmunya kepada santri yang dia hadapi.

Selama mengajar, dia tidak pernah menuntut ini dan itu dari santrinya, kecuali hanya ketekunan santri dalam menuntut ilmu, agar kelak berguna di tengah masyarakat. Sampai-sampai santri akan mengabdikan dirinya di tengah masyarakat pun juga menjadi perhatian tersendiri oleh Buya.

Sebagai contoh, ulas Rasyiddin yang pernah jadi Ketua Alumni pesantren itu tahun 1990 an, setiap santri yang disuruh mengajar di salah satu surau, itu pada umumnya santri tersebut masih lajang alias bujangan, sehingga di lingkungan tempat santri mengajar tidak tertutup kemungkinan, banyak masyarakat yang menginginkan santri tersebut dijodohkan dengan anak kemenakannya.

Di sini Buya menekankan, kalau lamaran dari masyarakat itu di terima, atau tidak di terima sama sekali, santri bersangkutan disuruh langsung keluar dari surau itu oleh Buya.

"Kalau lamaran itu diterima, ini akan menyebabkan kurangnya penghormatan masyarakat kepada kita nantinya. Masyarakat berpandangan, bahwa dia (santri) itu orang sumando kita. Istrinya itu juga punya harta pusaka yang cukup luas, kata masyarakat suatu ketika kita mengalami kesulitan dalam hidup, misalnya.

Seandainya tawaran masyarakat untuk menjodohkan kita dengan anak kemenakannya tidak kita terima, ini juga akan berakibat fatal. Sebab, yang namanya orang berharap, jelas sangat ingin mendapatkan apa yang menjadi harapannya.

Dan selanjutnya, ini akan mengakibatkan rusaknya hubungan antara kita dengan masyarakat bersangkutan yang notabene juga mempengaruhi terhadap masyarakat lainnya. Makanya, diterima atau ditolak lamaran masyarakat itu, santri dituntut untuk meninggalkan surau yang bersangkutan," kata Buya suatu kali kepada Rasyiddin.

Demikian itu disebutkan Buya, ketika Rasyiddin tidak mau menerima tawaran dari salah seorang masyarakat di tempat dia mengajar dulunya.

Sebagai santri di zaman itu tidak sekedar menuntut ilmu di pesantren, tetapi juga ikut serta memikirkan serta mengerjakan kelangsungan pembangunan fisik pesantren. Kala itu santri masih banyak yang numpang di surau milik masyarakat Lubuak Pandan. Urusan pembangunan surau dan asrama milik pesantren, Buya hanya mempercayakan kepada mendiang H. Buchari Rauf sebagai penanggungjawabnya.

Di saat giat-giatnya pembangunan asrama, perpecahan di kalangan santri juga timbul. Waktu itu sempat terjadi "perang dingin" antara santri yang berasal dari Nagari Singgalang, Tanah Datar dengan santri dari Padang Pariaman.

Selama satu minggu keadaan anak siak kedua belah pihak terus berlanjut. Mereka saling mencomooh, lantaran asrama yang dihuni santri dari Singgalang cukup bagus, milik masyarakat, Surau Lereng namanya.

Sementara santri asal Padang Pariaman hanya menempati Surau Batu milik pesantren. Lantaran kedua surau itu berbeda kebersihan serta keindahannya, terjadilah saling mengolok-olok antara kedua belah pihak.

Saking tingginya tingkat persaingan keduanya, sampai-sampai masing-masing kekuatan yang dikomandoi Buchari Rauf dari kalangan santri Padang Pariaman, dan Tuanku Umar dari Singgalang membawa senjata tajam di malam hari. Suatu malam, datanglah utusan dari santri Padang Pariaman ke Surau Lereng, tempat santri Singgalang menetap menyampaikan pesan yang hanya dibuat-buat.

"Buya meminta untuk hadir di atas anjung, "itu kira-kira bunyi pesan yang disampaikan kepada santri dari Singgalang. Jawab mereka, "kami menyelesaikan kaji dulu, hanya tinggal sedikit lagi," kata salah seorang dari mereka. Selesai pesan itu disampaikan, lalu santri asal Padang Pariaman ini membuat taktik untuk mengintai mereka di jalan untuk menghadap dan bertemu ke ruangan Buya.

Di sini barangkali adanya permainan ilmu kebathinan dari mereka, sehingga satu jam lebih kami menunggu di jalan, mereka yang dari Singgalang itu tidak juga lewat. Kami menganggap mereka takut dan selanjutnya disebut kalah dalam pertarungan.

Setelah kami bubar, barulah kelompok Singgalang itu lewat, dan terus menemui Buya. Saat mereka menemui Buya, Buya pun merasa terkejut, apa gerangan yang terjadi. Buya merasa tidak pernah memanggil santri yang sebanyak itu.

Memang Buya waktu itu tidak pernah memanggil santri dari Singgalang, tetapi pesan itu hanya dibuat-buat untuk menyiasati sebuah perlawanan. Saat mereka berkumpul bersama Buya di atas anjung, salah seorang dari kelompok Padang Pariaman meminta mereka turun, namun sang komandannya Tuanku Umar melarang untuk turun.

"Kalau mereka menyerbu naik, itu lain persoalan, tetapi dipanggil turun, sebaiknya jangan kita turuti," kata Tuanku Umar meyakinkan anggotanya.

Akhirnya, perselisihan yang bermula dari kecemburuan sosial, di mana untuk melanjutkan pembangunan Buya banyak mempercayakan kepengurusannya kepada santri yang berasal dari Padang Pariaman itu di akhiri dengan ikut serta niniak mamak Lubuak Pandan menyelesaikannya.

Rasyiddin termasuk salah santri yang sering dibawa Buya untuk menemaninya saat keluar pesantren. Kelebihan Buya yang cukup menarik, adalah seringnya Buya menceritakan pengalamannya, menceritakan para ulama dulu dalam mengembangkan ilmunya di tengah masyarakat, serta cerita lain yang sangat tinggi nilai sejarahnya.

Suatu kali Buya menceritakan sewaktu dia diminta mengajar oleh Inyiak Jaho di sekolah Tarbiyah Sasak, Kabupaten Pasaman Barat 1930-an. Ketika awal-awal Buya mengajar di sana, saat itu juga akan dilangsungkan pemilihan walinagari.

Ada dua calon walinagari yang maju untuk memimpin nagari Sasak. Dari dua orang yang maju, satu orang calon berhaluan surau, yang suka dengan pengajian, atau termasuk kaum kuno, sedangkan satu orang lagi tergolong modern. Boleh dikatakan, saat itu 'pertarungan' antara kaum kuno dan kaum maju.

Calon yang berasal dari kaum kuno ini datang menemui Buya ke sekolah Tarbiyah, dan minta petunjuk serta arahan dalam menghadapi pemilihan walinagari. Buya pun memberikan sepotong ayat Quran untuk selalu diamalkan setiap kali usai melaksanakan shalat yang lima waktu sehari semalam.

Sang calon, setelah minta pentujuk kepada Buya, lalu mengamalkan apa yang telah diajarkan kepadanya. Akhirnya, saat pemilihan berlangsung, menanglah calon dari kaum kuno ini.

Sebagai tanda terima kasihnya, walinagari terpilih menghormati Buya. Makan dan minum Buya dan istrinya di tanggung walinagari. Begitu juga kelangsungan lembaga pendidikan yang dipimpin Buya, serta lembaga pendidikan tradisional lainya menjadi perhatian utama oleh walinagari ini, dalam programnya membangun nagari.

Buya sendiri saat itu seperti diceritakannya, bagaikan orang "sumando walinagari". Selama di Sasak, makan minum Buya serta tinggal di rumah walinagari itu, dan itu pula puncak kebahagiaan Buya selama mengajar di Sasak.

Banyak yang senang, dan tidak sedikit pula yang merasa sakit hati dan iri terhadap kebijakan walinagari. Itulah sebuah dinamika dalam kepemimpinan, yang menurut sebagian kelompok masyarakatnya merasa menganak tirikan kelompok lain, selain dari kelompok kaum kuno. 

Maka, pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan walinagari itu, secara perlahan-lahan mencari kesalahan walinagari, sehingga persaingan antara kaum kuno dan kaum maju terus berlanjut di nagari itu.

Dengan suasana demikian, timbulah isu bahwa Buya ikut terlibat masalah politik nagari. Padahal, apapun kebijakan dalam nagari, Buya sama sekali tidak pernah ikut campur apalagi larut dalam permainan elit nagari. Buya hanya sekedar mengajar dan mengembangkan sekolah yang dipimpinnya, tak lebih dari itu.

Akhirnya, karena Buya tidak ingin persoalan ini menjadi panjang, dan tidak ingin disebut sebagai dalangnya dalam persoalan kemelut di masyarakat, Buya memilih pindah dari daerah itu. Waktu itu bulan Ramadhan hanya tinggal 15 hari lagi. Setelah mengumpulkan seluruh santri dan majelis guru yang ada, Buya pun menyampaikan niatnya untuk pindah dari sekolah tersebut.

Demikian cerita panjang Rasyiddin selama menuntut ilmu di Lubuak Pandan. Dia ceritakan di kediamannya, Sunua, Kecamatan Nan Sabaris, Kabupaten Padang Pariaman, Kamis 28 Juni 2007 silam. Dia meninggal dunia di kediaman, Sunua beberapa tahun yang lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun