Fakta lapangan yang menunjukkan belum adanya tanda-tanda penurunan tren kasus Covid19 di Indonesia membuat pemerintah mengambil langkah-langkah preventif. Peraturan Presiden kemudian berusaha diterjemahkan oleh berbagai tingkatan birokrasi di level kementerian, lembaga, maupun daerah.
Tidak ketinggalan pula Kementerian Agama. Terhitung tanggal 29 Mei, Kemenag RI telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Agama Nomor 15 Tahun 2020.
Peraturan ini dikeluarkan khusus sebagai Panduan Penyelenggaraan Kegiatan Keagamaan di Rumah Ibadah Dalam Mewujudkan Masyarakat Produktif dan Aman Covid  di Masa Pandemi.
Ada 2 substansi yang diatur, yaitu kegiatan keagamaan inti dan kegiatan keagamaan sosial. Maksud dan tujuan yang terkandung dalam Surat Edaran itu bisa jadi sangat idealis, yaitu ingin memberikan ruang ekspresi bagi kerinduan umat beragama untuk kembali melaksanakan ibadah di rumah ibadah masing-masing.
Namun peraturan tersebut terkesan memberatkan pengurus rumah ibadah jika melihat uraian prosedur kerjanya serta persiapan yang harus dilakukan. Tanggung jawab yang berat harus dipikul oleh setiap pengurus atau penanggung jawab rumah ibadah, mulai dari urusan administrasi hingga operasional.
PROSEDUR YANG BANYAK
Jauh hari sebelum dapat menggunakan rumah ibadah, pengurus atau penanggung jawab harus mengajukan surat keterangan rumah ibadah aman dari Covid-19 kepada Ketua Gugus Kecamatan/Kabupaten/Kota/Propinsi (sesuai dengan tingkatan rumah ibadahnya).
Lebih dari itu, jika ternyata selama ini kapasitas rumah ibadah memiliki daya tampung sangat besar dan penggunanya juga mayoritas berasal dari luar kawasan tersebut, maka pengurus rumah ibadah harus mengajukan surat langsung kepada pimpinan daerah.
Bayangkan, di awal ini saja pengurus atau penanggung jawab rumah ibadah sudah harus mengidentifikasi riwayat asal dari pengguna (jema'ah); berapa kapasitas maksimum rumah ibadah? dari mana saja asal para jema'ah yang biasa hadir? apakah daya tampung rumah ibadah selalu berbanding lurus dengan jumlah pengguna yang datang setiap hari? apakah preferensi pengguna itu merupakan orang yang sekedar mampir atau memang tinggal dan menetap di kawasan tersebut?
Setelah semua syarat administratif dipenuhi pun pengurus rumah ibadah harus siap dengan segala protokol kesehatan yang akan dikawal setiap hari. Prosedur yang mesti diseriusi oleh pengurus rumah ibadah setiap harinya, antara lain :
- Menyiapkan petugas pengawas operasional harian
- Melakukan pembersihan atau desinfeksi berkala
- Membatasi jalur keluar masuk rumah ibadah
- Menyediakan fasilitas cuci tangan yang memadai
- Menyiapkan alat cek suhu tubuh beserta petugasnya
- Menerapkan jaga jarak 1 meter pada pengguna
- Mengatur jema'ah agar tidak berkumpul
- Mengatur waktu ibadah agar lebih efektif
- Memasang papan informasi
- Memeriksa jema'ah dari luar kawasan
Membaca prosedur kerja yang sedemikian panjang memunculkan kritikan dari beberapa pihak, salah satunya Mufti Anam, seorang anggota legislatif dari partai PDI Perjuangan. Menurut beliau kebijakan tersebut justru sangat menyulitkan pengurus rumah ibadah, terutama yang berada di desa-desa terpencil.
Alih-alih menyuruh mereka untuk membuat dan mengajukan permohonan secara administratif, lebih baik pihak Kemenag langsung turun tangan untuk memetakan rumah ibadah yang siap dalam menyambut kebijakan New Normal.
Pada tingkat paling bawah di setiap kecamatan pun Kemenag punya kantor KUA yang bisa diberdayakan untuk fungsi tersebut.
Dengan demikian petugas rumah ibadah akan sangat dimudahkan. Â Hal ini sekaligus memangkas garis birokrasi yang panjang. Pengurus rumah ibadah agar bisa fokus untuk mengurus persiapan secara fisik di dalam internal rumah ibadah saja.
BIAYA YANG TIDAK MURAH
Selain panjangnya prosedur yang harus dijalani, pengurus rumah ibadah pun pastinya harus menyiapkan segala kebutuhan yang mendukung protokol New Normal di lingkungan rumah ibadah. Persiapan sebanyak itu tentu akan memakan biaya yang besar, apalagi pengadaannya harus rutin dan berkelanjutan.
Pengalaman saya di daerah, konsistensi adalah hal paling sulit untuk dipertahankan.
Biasanya dua bulan pertama kita masih bersemangat dalam melakukan protokol yang diinstruksikan. Namun seiring berjalannya waktu, biasanya kerap kendor dan akhirnya mulai dilupakan.
Tentu saja faktor ketersediaan biaya yang memadai akan sangat mempengaruhi konsistensi petugas. Biasanya, jika petugas sudah kendor, maka kepercayaan masyarakat akan perlahan hilang. Akhirnya masyarakat sebagai objek pun akan berlaku kendor terhadap aturan.
ATURAN TAMBAHAN TENTANG ACARA PERKAWINAN
Fungsi sosial rumah ibadah yang biasanya bisa digunakan pula untuk kegiatan akad nikah kini terasa berkurang sisi kesakralannya. Begitu pula yang diatur dalam aturan ibadah sosial Surat Edaran Menteri Agama.
Aturan New Normal mengatur jumlah peserta yang hadir tidak boleh melebihi 20% dari kapasitas ruangan atau dari segi jumlah tidak melebihi 30 orang. Pengaturan di dalam ruangan pun harus diatur dengan jarak minimal 1 meter sesuai anjuran protokol kesehatan Covid19.
Pertemuan pun harus dilaksanakan dalam tempo yang sesingkat dan seefisien mungkin. Menurut hemat saya, ada baiknya prosesi akad nikah dilaksanakan di rumah mempelai wanita saja.Â
Walaupun dilakukan pengaturan sedemikian rupa, setidaknya kita dapat mengurangi interaksi massa di ruang publik, entah itu menyentuh gagang pintu, atau memegang barang-barang lain. Ruang publik seperti rumah ibadah merupakan sarana yang akan digunakan oleh khalayak umum secara terus-menerus.
Tidak bijak untuk membuka peluang ketersebaran virus dengan kegiatan yang notabene bisa dilaksanakan di tempat lain. Dengan kata lain, protokol New Normal untuk tempat ibadah lebih baik difokuskan untuk tempat ibadah murni saja.
Harapannya, penerapan protokol New Normal dapat berlangsung secara konsisten dengan kerja sama yang baik antar elemen terkait. Pemerintah pusat bertugas untuk menyusun kebijakan dan menyediakan anggaran yang memadai.
Pemerintah daerah beserta gugus tugas bertanggung jawab untuk mengecek dan membuat peta sebaran daerah yang rumah ibadahnya aman dari Covid19.
Kepala RT dan RW menjadi kordinator yang mengurus lingkungan rumah ibadah. Pengurus rumah ibadah yang menjadi ujung tombak penerapan kebijakan di lapangan. Dengan demikian, amanat yang ditekankan di dalam Surat Edaran Menteri Agama Nomor 15 Tahun 2020 dapat terlaksana dengan maksimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H