Alih-alih menyuruh mereka untuk membuat dan mengajukan permohonan secara administratif, lebih baik pihak Kemenag langsung turun tangan untuk memetakan rumah ibadah yang siap dalam menyambut kebijakan New Normal.
Pada tingkat paling bawah di setiap kecamatan pun Kemenag punya kantor KUA yang bisa diberdayakan untuk fungsi tersebut.
Dengan demikian petugas rumah ibadah akan sangat dimudahkan. Â Hal ini sekaligus memangkas garis birokrasi yang panjang. Pengurus rumah ibadah agar bisa fokus untuk mengurus persiapan secara fisik di dalam internal rumah ibadah saja.
BIAYA YANG TIDAK MURAH
Selain panjangnya prosedur yang harus dijalani, pengurus rumah ibadah pun pastinya harus menyiapkan segala kebutuhan yang mendukung protokol New Normal di lingkungan rumah ibadah. Persiapan sebanyak itu tentu akan memakan biaya yang besar, apalagi pengadaannya harus rutin dan berkelanjutan.
Pengalaman saya di daerah, konsistensi adalah hal paling sulit untuk dipertahankan.
Biasanya dua bulan pertama kita masih bersemangat dalam melakukan protokol yang diinstruksikan. Namun seiring berjalannya waktu, biasanya kerap kendor dan akhirnya mulai dilupakan.
Tentu saja faktor ketersediaan biaya yang memadai akan sangat mempengaruhi konsistensi petugas. Biasanya, jika petugas sudah kendor, maka kepercayaan masyarakat akan perlahan hilang. Akhirnya masyarakat sebagai objek pun akan berlaku kendor terhadap aturan.
ATURAN TAMBAHAN TENTANG ACARA PERKAWINAN
Fungsi sosial rumah ibadah yang biasanya bisa digunakan pula untuk kegiatan akad nikah kini terasa berkurang sisi kesakralannya. Begitu pula yang diatur dalam aturan ibadah sosial Surat Edaran Menteri Agama.
Aturan New Normal mengatur jumlah peserta yang hadir tidak boleh melebihi 20% dari kapasitas ruangan atau dari segi jumlah tidak melebihi 30 orang. Pengaturan di dalam ruangan pun harus diatur dengan jarak minimal 1 meter sesuai anjuran protokol kesehatan Covid19.