Malang niang nasib yang dialami negeri Tirai Bambu ini. China yang sebelumnya dikenal dengan ekonomi raksasanya sebagai pesaing tangguh Amerika Serikat, kini menjadi tak berdaya di tengah musibah yang sedang dihadapi.
Novel coronavirus atau COVID-19 telah merenggut kebahagiaan negara itu di awal tahun 2020. Di tahun tikus logam dengan suasana Imlek menyambut harapan baru.
Sayangnya, momen itu terlewatkan dan tergantikan dengan sebuah ketakutan dan kepanikan massal yang kemudian WHO menyebutnya sebagai Darurat Kesehatan Internasional.
Tahun 2019 terlewatkan sudah, di tengah terjadinya perang dagang (trade war) antara dua  gajah besar yaitu Amerika Serikat dan China, pertumbuhan negeri Tirai Bambu di 2018 itu masih tumbuh signifikan sebesar U$13 Trilun, menempati posisi ke 2 setelah Amerika Serikat sebesar U$19 Triliun (CNBC).Â
Kemudian di bulan September 2019, International Monetery Fund (IMF) kembali merilis peringkat perekonomian China dengan nominal PDB U$25 triliun dan nominal PDB Amerika U$20 triliun, terlihat begitu pesatnya akselerasi perekonomian China sehingga mampu menyalip posisi Amerika di urutan pertama (CNBC).
Namun, perlu dipahami bahwa pertumbuhan ekonomi China di-drive oleh populasi 1.4 miliar penduduk negaranya, sekaligus menjadikan negara itu sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat dengan jumlah penduduk 300 juta orang.
Sebenarnya, ada 2 hal yang menjadi perhatian penulis terhadap pertumbuhan ekonomi China yang begitu signifikan, yaitu:
- Surplus ekspor China ke Amerika 2018 naik 17% atau sebesar U$323 miliar tertinggi sejak 2006 (Reuters). Sedangkan impor tumbuh tipis 0.7% di periode yang sama.
- Overheating, yang disebabkan oleh bubble harga properti di China akibat likuiditas dan kemudahan akses perbankan sejak 2007Â (AFP). Dampak lainnya ialah konsumsi masyarakat dan korporasi yang menggeliat.
Sehingga jika dikaitkan dengan peningkatan PDB nominal China, maka wajar saja jika nilainya tumbuh signifikan, karena pengaruh beberapa komponen yang menjadi trigger perekonomian seperti yang dijelaskan di atas.
Namun, sejak mewabahnya virus Corona yang telah menewaskan 2.120 orang dan menginveksi 75000 orang di negeri itu (Morning Post, 2020), kehidupan di China seperti negeri tak bertuan dan mencekam, sebagaimana pengakuan tim evakuasi WNI saat tiba di China.
Ada tanda tanya besar yang menjadi misteri terkait dengan tingkat kesehatan di China. Pertama, kasus Flu Burung yang terjadi pada tahun 1997, kemudian SARS 2002-2003 dan Corona tahun 2020. Ketiga musibah itu semua berawal dan bersumber dari China.
Apakah penyebaran virus-virus tersebut disebabkan akibat jenis makanan yang mereka konsumsi? Yang bagi kebanyakan orang memang terkesan ekstrem dan tidak sesuai dengan fitrah akal manusia. Wallahu a'lam.
Terlepas dari penyebabnya, bencana virus itu telah berdampak secara psikologi bagi penduduknya dan perekonomian China. Kasihan memang, negeri itu menjadi negara terisolir di tengah masyarakat internasional.Â
Bisa dibayangkan, hampir semua negara untuk sementara memutus suplay chain terkait arus barang yang masuk dan keluar dari China. Semua maskapai menyetop penerbangan begitupun dengan jalur laut karena khawatir penularan virus corona.
Dalam rilis Moody`s tahun lalu, China diprediksi akan mengalami kontraksi ekonomi di bawah 6% atau disekitar level 5.7 -5.9% sebagai dampak perang dagang dengan Amerika. Namun angka itu diperkirakan akan semakin melorot akibat dampak virus corona yang merebak hampir ke semua negara di dunia.
Analis memperkirakan pertumbuhan China di tahun 2020 akan anjlok sekitar 2% menjadi 4 - 4.5% pessimistic. Dengan kondisi seperti itu, tentu akan berimplikasi luas kepada negara negara mitra dagang China termasuk Indonesia dan Singapura.
Perlu diketahui setiap penurunan ekonomi China sebesar 1% maka akan berdampak pada penurunan ekonomi Indonesia sebesar 0.3 - 0.6% Â (World Bank).
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, mungkin seperti itulah kiasan yang menggambarkan karut marut kehidupan saat ini, di awal tahun 2020.Â
Yang tak kalah mengkhawatirkan ialah gejolak perekonomian yang terjadi di Singapura, yaitu desas-desus terjadinya resesi di Negeri Lion itu, maklum saja, China adalah mitra dagang utama Singapura dengan nilai ekspor U$363 tahun 2017, terbesar dibanding negara ASEAN lainnya (Kemendag RI).Â
Pada akhirnya, China sebagai episentrum ekonomi dunia, yang banyak menyerap hasil ekspor negara mitra dagangnya, kini untuk sementara harus bertekuk lutut di bawah tekanan epidemik yang mematikan. Dan akhirnya menjalar ke perekonomian negara lain.
kini berbagai negara tengah bersiap dengan berbagai stimulus kebijakan ekonominya, termasuk Indonesia, salah satunya dengan menurunkan suku bunga BI 7 days repo sebanyak 25 bps, menjadi 4.75%.
Inilah efek domino dari sebuah negara adidaya, apapun yang terjadi di negaranya, dapat berpengaruh ke negara lain, dan tiba lah saatnya untuk mencari other country sebagai tujuan ekspor jika tidak ingin masuk dalam turbulensi ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H