Prolog
Â
Bagaimana jika seekor burung tak mau berkicau?
Â
Nobunaga menjawab, "Bunuh saja!"
Hideyoshi menjawab, "Buat burung itu ingin berkicau."
Ieyasu menjawab, "Tunggu."
Â
Sinopsis
Baca buku Taiko karya Eiji Yoshikawa ? Buku ini adalah sebuah Epik Sejarah Feodal Jepang abad 16 Masehi. Berikut sinopsis yang disalin dari cover belakang buku tersebut:
 Dalam pergolakan menjelang dekade abad keenam belas, Kekaisaran Jepang menggeliat dalam kekacau-balauan ketika keshogunan tercerai-berai dan panglima-panglima perang musuh berusaha merebut kemenangan. Benteng-benteng dirusak, desa-desa dijarah, ladang-ladang dibakar.
 Di tengah-tengah penghancuran ini, muncul tiga orang yang bercita-cita mempersatukan bangsa. Nobunaga yang ekstrem, penuh kharisma, namun brutal; Ieyasu yang tenang, berhati-hati, bijaksana, berani di medan perang, dan dewasa. Namun kunci dari tiga serangkai ini adalah Hideyoshi, si kurus bermuka (mirip) monyet yang secara tak terduga menjadi juru selamat bagi negeri porak-poranda ini.Â
Ia lahir sebagai anak petani, menghadapi dunia tanpa bekal apapun, namun kecerdasannya berhasil mengubah pelayan-pelayan yang ragu-ragu menjadi setia, saingan menjadi teman, dan musuh menjadi sekutu. Pengertiannya yang mendalam terhadap sifat dasar manusia telah membuka kunci pintu-pintu gerbang benteng, membuka pikiran orang-orang, dan memikat hati para wanita. Dari seorang pembawa sandal, ia akhirnya menjadi Taiko, penguasa mutlak Kekaisaran Jepang.
 Taiko (selain Musashi) merupakan karya besar Eiji Yoshikawa, penulis bestseller internasional, yang berisi pawai sejarah dan kekerasa,. pengkhianatan dan pengorbanan diri, kelembutan dan kekejaman. Sebuah epik yang menggambarkan kebangkitan feodal Jepang secara nyata.
 Resensi
 Meski Nobunaga-Hideyoshi-Ieyasu tidak termasuk (keturunan) Kaisar Jepang, dan usia kekaisaran Jepang jauh lebih tua dari masa mereka hidup dan masih ada hingga kini, dan tonggak sejarah Jepang modern (restorasi Meiji) terjadi ratusan tahun setelah mereka tiada ...
 Namun,
Jepang patut berterimakasih pada ketiga Tokoh Sentral Sejarah Jepang ini. Yang dengan keunikan karakter leadershipnya masing-masing, telah meletakkan jejak penting bagi sejarah negeri Jepang pada sekitar abad 16 Masehi.
Kekaisaran Jepang
Sejarah Kekaisaran Jepang cukup unik ( lihat : http://id.wikipedia.org/wiki/Kaisar_Jepang)
 Sudah muncul sejak 7 abad sebelum masehi, sejak Jimmu hingga Akihito sekarang sudah ada 125 Kaisar.
Memang lebih muda dibanding China, Mesir, Persia, dan Rumawi, tapi sekarang negeri-negeri itu sudah tidak lagi punya Kaisar. Namun dibanding Monarki dan Raja-Raja di Eropa saat ini, Jepang umurnya jauh lebih tua, apalagi dibanding Monarki di Indonesia ...
 Meski sudah setua itu,
Kekaisaran Jepang tidak sepanjang sejarahnya menjadi penentu roda pemerintahan. Jauh sebelum restorasi meiji dan model pemerintahan  monarki konstitusionalnya yang sekarang, roda pemerintahan kekaisaran Jepang juga pernah dipimpin oleh bukan kaisar, melainkan oleh ke-shogun-an. Semacam Pemimpin Militer, yang memimpin kumpulan daimyo (klan/keluarga samurai) yang mengelola wilayah teritorial tertentu. Semacam tuan tanah sekaligus centeng, yang mengelola wilayah setara provinsi.
 Telah berlalu masa sejumlah Kaisar dan Shogun di Jepang,
Namun negeri itu tak kunjung bersatu. Karena beragam sebab. Salah satunya - mungkin - karena kapasitas Leadership para Kaisar dan Shogun itu, belum mampu menyatukan Jepang di bawah satu kesatuan pemerintahan yang kokoh. Hingga datanglah masa ketiga tokoh ini ; Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu.
 Oda Nobunaga ( lihat : http://id.wikipedia.org/wiki/Oda_Nobunaga )
Seorang Daimyo di wilayah Owari. Bangkit dengan sebuah obsesi ; menyatukan seluruh wilayah Jepang di bawah kekuasaannya. Karaktek Nobunaga mungkin agak mirip dengan Jengis Khan di Mongolia; ekstrem, karismatik dan brutal. Bedanya adalah asal usul keduanya; yang satu berasal dari suku nomad (suka berpindah-pindah), sementara yang lain berasal dari tuan tanah (penguasa territorial/gubernur provinsi). Dengan obsesi dan kemampuan militernya yang handal, Nobunaga berhasil menaklukkan satu persatu Daimyo yang lain di seluruh penjuru Jepang. Dalam proyek penyatuan wilayah kekuasaan ini, Nobunaga banyak dibantu oleh Toyotomi Hideyoshi.
Toyotomi Hideyoshi ( lihat : http://id.wikipedia.org/wiki/Toyotomi_Hideyoshi )
Seorang rakyat biasa, bukan pendekar ahli pedang (samurai) seperti Miyamoto Musashi, bukan keturunan bangsawan daimyo seperti Oda Nobunaga dan Tokugawa Ieyasu. Murni rakyat biasa, tapi dengan bakat dan kecerdasan yang luar biasa. Bila merujuk pada buku Taiko karya Eiji Yoshikawa itu, boleh dibilang Toyotomi Hideyoshi inilah "aktor intelektual" di balik kisah penyatuan Jepang itu.Â
Dialah satu-satunya pemimpin Jepang tempoe doeloe yang berasal dari bukan keluarga elit politik tertentu, tidak punya basis massa dan dana, tak punya promoter dan cukong, dan sebagainya. Namun secara efektif telah "memimpin" gerakan penyatuan Jepang dengan mendompleng pada gerakan Oda Nobunaga (dari pesuruh hingga menjadi panglima perang dan penasehat militer yang disegani). Sehingga ia menjadi pemimpin Jepang tempoe doeloe dengan gelar paling unik ; Taiko (bukan Daimyo, Shogun, Kaisar, atau yang lainnya).
 Uniknya,
meski -- boleh jadi - yang memiliki saham terbesar dalam gerakan penyatuan Jepang di masa itu adalah Nobunaga dan Hideyoshi, namun keduanya tidak sempat memerintah Jepang untuk waktu yang lama. Keduanya mati tak lama setelah Jepang bersatu. Dan yang memetik buah kerja keras Nobunaga dan Hideyoshi itu, tidak lain adalah Tokugawa Ieyasu.
 Tokugawa Ieyasu ( lihat : http://id.wikipedia.org/wiki/Ieyasu_Tokugawa )
Sebagaimana Nobunaga, Ieyasu juga adalah seorang Daimyo, di wilayah Suruga. Dan sebagaimana Hideyoshi, Ieyasu juga pada awalnya adalah pengikut gerakan Nobunaga. Namun, berbeda dengan Nobunaga yang berangasan namun efektif, atau Hideyoshi yang cerdas dan penuh bakat, maka Ieyasu cenderung tidak banyak menonjolkan diri, tapi selalu penuh dengan perhitungan yang matang. Dengan tetap menunjukkan loyalitasnya pada Nobunaga, Ieyasu terus membangun kekuatannya sendiri, dan terus bersiap-siap menunggu momentum.Â
Dan momentum itu diambilnya dengan penuh keyakinan, melalui pertempuran Sekigahara yang sangat menentukan, setelah wafatnya kedua pemimpin karismatik itu (Nobunaga dan Hideyoshi). Setelah itu ia dan keturunannya memimpin Jepang yang baru, yang telah disatukan Nobunaga dan Hideyoshi, dengan sebuah sistem ke-shogun-an baru, yakni Shogun Tokugawa. Masa kepemimpinan klan (keluarga) Tokugawa ini berlangsung selama hampir 270 tahun. Orang menyebutnya dengan zaman edo, karena pusat pemerintahan Jepang dikendalikan dari Edo ( = Tokyo ). Dan Edo atau Tokyo tetap menjadi ibukota Jepang hingga sekarang.
Refleksi
Nobunaga:
Penuh obsesi, berjiwa pendobrak, dan sekaligus pemimpin yang efektif
Hideyoshi:
Cerdas sekaligus cerdik,
Pengikut sekaligus inisiator handal,
Konseptor sekaligus motivator ulung,
Pengatur strategi sekaligus negosiator sukses,
Penggerak di lini tengah sekaligus penasehat di lini atas,
Kreatif menciptakan varian peluang sekaligus praktisi dalam mengkonsolidasi barisan
Ieyasu:
Low profile namun sangat confident
Sangat loyal namun senantiasa mengembangkan kapasitasnya
Tenang di permukaan namun sangat matang dan penuh perhitungan
Sangat pemberani dan ahli siasat perang serta administrasi negara / pemerintahan, namun sangat sabar dalam menanti momentum yang tepat, hingga siap memetik buah pada saatnya, dengan penguasaan masa panen yang relatif panjang pula ... hampir 3 abad ... ( 1600 -- 1866 )
Meski ada babak penting sejarah Jepang pasca Nobunaga-Hideyoshi-Ieyashu ini,
Seperti Restorasi Meiji atau modernisasi Jepang di bawah Kaisar Meiji (Mutshuhito=kakek dari Hirohito, buyut dari Akihito, kaisar sekarang) berupa open economic policy and culture, serta gerakan pendidikan yang massive dan terencana bagi seluruh warga Jepang, sebagai antitesa terhadap kebijakan isolasi budaya yang diterapkan di masa ke-Shogun-an Tokugawa, dan juga "kebangkitan" Jepang pasca Perang Dunia Kedua hingga menjadi macan Asia yang - pada masanya -- dapat "menaklukkan" Eropa dan Amerika di berbagai lini industri dan ekonomi, dan masih diperhitungkan hingga saat ini  ...
 Namun, semua itu sama sekali tidak bisa mengesampingkan peran strategis ketiga tokoh ini dalam meletakkan fondasi Jepang yang bersatu, berdisiplin dan bangga akan jati dirinya. Karakter keperwiraan (bushido) dan sifat kreatif ( kaizen / never-ending improvement ) yang relatif merata pada individu warga Jepang itupun -- boleh jadi -- merupakan buah dari tanaman yang benihnya turut disemaikan oleh ketiga tokoh sejarah Jepang tersebut.
Â
Epilog
Â
Tentu saja,
setiap pelajaran dari kisah dan tokoh sejarah memiliki sisi-sisi yang perlu disesuaikan kembali dengan perangkat tata nilai dan konteks kekinian dan kedisinian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H