Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sop Buntut

29 Desember 2022   16:48 Diperbarui: 29 Desember 2022   16:55 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber gambar: https://www.piknikdong.com/resep-sop-buntut-sapi.html

Hari ini Midah masak sop buntut, untuk sedikit merayakan karena, kemarin nomor buntut yang dipasang Mas Tono tembus. Midah dan suaminya girang karena sehari sebelum tembus nomor buntut, mereka juga baru terima Bansos untuk keluarga yang terdampak wabah Covid 19. Enam ratus ribu dan sehari kemudian 450 ribu hasil dari nomor buntut yang tembus.

"Masak enaklah sekali-sekali," kata Mas Tono.

"Pengin masak apa, Mas?"

"Apa ya? Apa saja lah yang kita jarang makan, atau belum pernah sama sekali."

"Bagaimana kalau sop buntut? Kan baru saja dapat buntut?"

Mas Tono tampaknya setuju. Mereka memang belum pernah makan sop buntut, cuma sering mendengar saja.

"Benar, Dik. Kita dapat buntut, terus dirayakan dengan masak sop buntut, pas itu."

"Aku belum pernah masak sop buntut," kata Midah.

"Di sini ada," Mas Tono menyerahkan telepon pintarnya.

"Ada internetnya?"

"Ada, kan kemarin beli paketan."

Midah lalu mencari video resep membuat sop buntut enak dan hasilnya sekarang rumah mereka dipenuhi aroma sop buntut yang sepertinya enak. Menghibur mereka sejenak dari keresahan mereka terhadap situasi sejak ada wabah menyerang.

Sudah hampir tiga bulan Mas Tono tak bekerja karena proyek di mana ia ikut kerja sebagai tukang batu dihentikan. Panik, Mas Tono menghubungi teman-temannya sesama tukang dan beberapa mandor, kebanyakan juga bernasib sama. Kalaupun masih ada yang jalan, tak bisa menambah orang.

Sedikit tabungan terpaksa mereka ambil sedikit demi sedikit untuk makan. Maka ketika mereka termasuk keluarga yang berhak menerima bansos dari pemerintah, mereka senang.

Selama tak bekerja itu diam-diam Mas Tono membeli nomor togel yang dijual diam-diam seminggu dua kali. Ia dulu keranjingan pasang nomor togel sebelum berhenti beberapa bulan setelah menikah dengan Midah.

Mas Tono berhenti dari kebiasaan pasang nomor buntut bukan karena tobat, tapi karena segan dengan istrinya yang akan ngomel tanpa berhenti. Midah sangat berhati-hati memegang uang. Bahkan Mas Tono langsung berhenti merokok begitu menikah dengan Midah. Dan ia berhenti merokok bukan karena demi mengutamakan keuangan keluarga, tapi lagi-lagi karena segan dengan Midah yang akan mengomel panjang lebar jika melihatnya merokok.

Kasihan Mas Tono, di awal-awal berhenti merokok ia sangat tersiksa terutama saat sehabis makan. Ia akan klametan seperti anak kucing. Karena bagi Mas Tono tak ada yang lebih nikmat dari merokok sehabis makan.

Tapi ada baiknya juga Midah menghentikan kebiasaan merokok dan beli nomor buntut Mas Tono, Mas Tono jadi gemuk dan sehat. Berbeda dengan keadaan Mas Tono sebelum menikah yang kurus dan tak terawat.

Terus, kenapa Midah girang ketika tahu Mas Tono pasang nomor buntut lagi? Tak lain karena tembus. Coba saja kalau tak tembus, Mas Tono yang akan dijadikan sop.

Sehari setelah menerima bansos, Mas Tono dapat chat WA dari Mas Dahlan, si agen buntut yang mengabari kemenangannya. Sayang yang membaca chat itu Midah karena telepon Mas Tono tergeletak di kasur dan Mas Tono sedang BAB.

Tentu saja Midah mencak-mencak dan menyuruh suaminya segera menyelesaikan urusannya di kamar mandi. Mas Tono diomeli habis-habisan sampai tak berkutik.

Setelah Midah kelelahan mengomel barulah Mas Tono berani beringsut dan melihat chat dari Mas Dahlan.

"Maafkan aku, Dik," kata Mas Tono.

Midah diam. Ia masih ingin marah, tapi tak tahu harus bicara apa lagi.

"Bagaimana dengan uangnya? diambil atau tidaknya?"

"Memangnya dapat berapa sih, pasang buntut?" Midah mengeras lagi.

"450 ribu, Dik."

Raut muka Midah yang merah keruh mendadak bening dan ujung bibirnya membentuk pola senyum.

"Kalau menurutmu jangan diambil, aku tak akan mengambilnya."

"Tidak diambil bagaimana? Memangnya kita tidak butuh uang!"

"Jadi diambil, Dik?"

Begitulah, hari ini untuk pertama kalinya mereka menikmati sop buntut. Midah sepertinya lupa dengan kekesalannya karena suaminya diam-diam memasang nomor buntut.

"Enak ya, sop buntut?" kata Midah sambil mengunyah. Mas Tono tersenyum.

Uang memang luar biasa, ia seperti pesulap, sanggup merubah segala sesuatu dan bahkan membalikkan keadaan.

Pesantenan, Desember 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun