Kalaupun ia menemukan toko yang akan memberikannya sianida, berapa harganya? Bagaimana kalau ternyata mahal dan uangnya tak cukup? Ia bisa berkarat di kota sana.
Suram mendesah. Pilihan untuk mengakhiri hidup ternyata sama sulit dengan pilihan untuk tetap hidup dengan banyak masalah yang harus dihadapinya.
'Kalau saja aku kaya, tentu mudah saja kudapatkan sianida dan urusanku selesai,' pikirnya lagi. Hati kecilnya membenarkan apa yang baru saja dipikirkan, tapi sesaat kemudian sisi hati yang lain mengatakan, 'Kalau kau kaya dan kau beli sianida untuk mengakhiri hidup, maka itu adalah kebodohan terhebat yang pernah ada. Bukannya kau bisa membayar hutang-hutangmu dan hidupmu tenang?'
Suram tergelak tiba-tiba demi menyadari hal itu. Tergelak karena perang batinnya menyisakan kelucuan akan dirinya dan ia terdorong untuk mentertawakannya.
Lalu tiba-tiba ia diam. Suram memandangi botol hijau itu kembali. Membuka penutupnya yang masih tersegel, dengan sekuat tenaga. Bau sengak menyengat hidung ketika penutup botol itu berhasil terbuka dan Suram mencoba menghirupnya.Â
'Tidak,' pikirnya. Meski menyengat, aroma cairan di dalam botol itu tak cukup meyakinkan Suram. Ia tak yakin akan langsung mati. Pasti ia akan sekarat begitu lama dan itu menyakitkan.Â
Belum lagi jika nanti orang-orang berdatangan, melakukan apa pun untuk menolongnya semata-mata demi keselamatan uang mereka, bukan karena kepedulian mereka pada keselamatannya.
'Tidak,' pikirnya lagi, 'aku harus mendapatkan sianida. Lagipula aku bukan orang kaya. Membeli sianida untuk mengakhiri hidup bukan kebodohan.'
Ia tergelak lagi karena ia merasa memenangkan perang batinnya.
'Tapi, tak ada salahnya kucoba,' pikirnya, 'kalau kuminum semuanya, pasti langsung mati.'
Suram merasa jantungnya memacu ketika mulut botol itu ada di depan mulutnya. Bau sengak seketika menggoyahkan keyakinannya. Ia tak takut jika harus mati, tapi ia takut sekarat dan tersiksa. Ia takut racun dalam botol itu terlalu lama bekerja sehingga orang-orang terburu menolongnya demi uang mereka.Â