"Ayahmu marah bukan karena tagihan listrik dan internet. Tagihan itu cuma dipakai ayah kalian sebagai alasannya untuk marah. Yang jelas ayahmu marah pada ibu, bukan pada kalian."
Aku berpandangan dengan Lani.
"Ayahmu marah karena ibu hamil lagi!"
Aku merasa kedua kelopak mataku membesar dengan sendirinya dan begitu juga kedua kelopak mata Lani. Rasa-rasanya bola matanya akan keluar.
Ibu hamil lagi?
Pandemi ini, menyisakan tagihan listrik dan internet berlipat-lipat dan ibu yang hamil lagi?
"Seperti ayahmu saja yang berhak marah, dan boleh melupakan keterlibatannya," kata ibu.
Suasana meja makan hening. Aku tiba-tiba ingin sekolah lagi, agar aku bisa kembali ke kamar kosku. Bayangkan, kau anak SMA, dan ibumu hamil lagi.
"Aku di pihakmu dalam kasus tagihan listrik dan internet, bu," kataku, "tapi tentang kasus yang baru saja kudengar ini, aku berdiri sendiri, bagaimana denganmu, Lan?"
Lani menunjukkan wajah datar dan mengangkat bahunya. Kurasa dia pun tak menyukai kejutan ini.
"Selamat malam," aku mengajak Lani meninggalkan ayah dan ibu.
Pandemi ini memakan banyak korban, dan merusak banyak hal. Kurasa keseruan keluargaku pun baru saja rusak. Mungkin akan berbeda nantinya ketika adik kami lahir. Tapi...ah. Pandemi, pandemi.