“Aku seringkali membanggakan daya ingatku yang tajam. Itu adalah sesuatu yang hebat. Nilai-nilaku dulu di sekolah bagus antara lain karena ketajamanku dalam urusan ingat-mengingat,” kata Jun.
Aku kurang tertarik untuk memperhatikannya. Setiap saat ia hampir selalu memiliki bahan pembicaraan yang, membosankan.
“Aku pelupa,” sahutku, sekedar agar aku terlihat menanggapi, “terkadang aku setengah mati mencari sesuatu seperti, pensil yang bahkan sedang kupegang. Daya ingatku payah. Dulu aku hampir selalu lupa mengerjakan PR, makanya masa sekolahku tak begitu menarik untuk diingat.”
“Sekarang ini aku selalu berpikir, alangkah senangnya menjadi seseorang yang pelupa sepertimu,” ungkap Jun. Kali ini aku sedikit terusik. Dia sedang akan meledekku.
“Hmmm?”
“Ya, menjadi seseorang yang memiliki ingatan tajam itu menyakitkan.”
“Kenapa?”
“Semuanya ada dalam ingatanku, termasuk perempuan yang pergi meninggalkanku, untuk menikah dengan pria lain.”
Aku ingin tertawa sekeras-kerasnya. Tapi aku mengurungkannya, walaupun mungkin aku pantas, karena ia sering mengolok daya ingatanku yang payah.
“Maksudmu, dengan daya ingat yang lemah, kau akan dengan mudah melupakan perempuan yang meninggalkanmu itu?” aku bertanya.
“Ya, tentu dengan daya ingat lemah, aku bisa lupa dengan sendirinya, dan tak perlu merasakan sakitnya ditinggal pergi karena terus teringat.”