Senja datang untuk ke sekian kali. Aku menatap wajahku sendiri yang juga mulai senja di cermin. Tiga tahun belakangan ini, bedak sudah tak sanggup lagi membuat wajahku berbinar seperti saat pertama kali aku memoleskannya di wajahku pada waktu senja. Ya, senja pertama puluhan tahun lalu saat aku memulai pergulatan hidupku menjual tubuhku sendiri di warung remang-remang. Saat wajahku tengah mekar berseri, dan tubuhku sanggup memantik nafsu lelaki. Sekarang ini bedak hanya bisa membuatku tampak seperti hantu.
Ah, jika saja aku bisa melanjutkan hidup di dunia yang ‘terang’, di mana wajah senja tak menjadi persoalan karena itu berarti kematangan, bukan kemalangan seperti di warung remang-remang.
Beberapa waktu ini aku terus memikirkan hal itu ketika malam membuka kembali gerbang kehidupannya untukku.
Mengumbar keluh kesah tak pernah berarti apa-apa di dunia malam remang. Mereka, para tetamu, tak pernah ingin tahu tentang apa pun, kecuali apa yang bisa mereka dapatkan untuk uang yang mereka hamburkan di sana.
Dunia malam remang ini sama kikir dengan cahaya yang memancar suram dan malas. Tak ada pilihan untuk cara mengais hidup di dunia malam remang kecuali menjadi lacur yang lemah dan menanggalkan kehormatan tanpa syarat.
Tak ada tempat untuk sedikit saja kehormatan. Di dunia malam remang, kehormatan adalah apa yang bisa didapat dari membuang jauh-jauh kehormatan itu sendiri, dari tubuh dan pikiranmu.
Di sana tak ada pilihan seperti di dunia yang terang.
Terkadang aku berkesimpulan bahwa orang-orang seperti kami adalah orang-orang terbuang tanpa kehormatan, oleh karena dunia memilih orang yang terhormat dan membuang kami untuk membedakan dengan mereka.
Biarlah...
Aku tak mungkin meminta sungai mengalirkan air ke hulu. Akan habis waktu jika terus menawar agar dunia terhidang seperti yang kau mau.
------
Malam mulai berkuasa. Belum seorang pun menyambangiku untuk menukar uangnya dengan kehormatan yang kujaja. Beberapa sudah mendapat sari pati dunia malam remang dari para tetamu. Mereka yang muda, mereka yang segar.
Aku?
Rasa khawatir datang sejak aku menyadari kehormatan yang kujajakan mulai tak dilirik lagi. Tak ada yang tersisa pada tubuh yang beranjak kisut dan berlemak. Kehormatan telah menjadi kerak pada pori-pori kulit yang rusak.
Gincu pada bibirku tak membuatku menjadi ayu, kecuali cermin menggambarnya seperti hantu. Waktu tak pernah berdusta, ia melajukan irama yang sama di mana saja. Di dunia malam remang, atau dunia terang. Siapa yang mampu bersembunyi dari laju waktu yang meninggalkan gurat di wajahmu?
Malam mulai tak menyisakan apa-apa kecuali tamu yang tak membawa banyak waktu untuk melampias hajat liarnya. Tak ada yang muda, yang tua pun tak apa. Tapi tak juga selalu begitu. Biar yang tua bungkuk, hidung belang kenyang bertualang dan selalu memilih tubuh yang muda menantang. Bagi tetamu, aku selayaknya sesuatu yang usang.
Malam kian gersang. Tetamu tak datang kecuali untuk yang muda menantang.
Dunia malam remang telah menelanku bulat-bulat.
Aku duduk sendiri di antara riuh gelak tawa, lenguh desah, denting gelas, dan aroma anggur yang gemericik memenuhinya, dengan latar musik rakyat yang bagiku terdengar menyayat. Aku tak lagi merasa kuat, duduk menjaja kehormatan dalam siraman remang yang pekat, dan kenyataan yang mencekik erat.
Apalagi yang kutunggu?
Aku berharap datang cahaya. Menyinari hati yang terdampar di dasar neraka. Jika mereka para hidung belang saja telah enggan memandangku, adakah Tuhan mau melakukan itu?
“Kemana, Nan?”
Induk semangku yang berdiri reyot itu memandangku tanpa rasa, sembari menyedot asap rokok kuat-kuat sampai pipinya terlipat ke dalam. Aku tak ubahnya sedang melihat nenek sihir. Tapi dulu, ia seorang penjaja ulung. Primadona yang telah menjadi legenda hidup dunia malam remang ini. Meski kini ia tak ubahnya sketsa tengkorak bernyawa, tapi ia pandai menjajakan para penjaja.
“Pulang.”
“Kenapa?”
“Entahlah...”
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Aku tak tahu, tapi mestinya ada.”
“Kau seperti punya pilihan saja selain bertahan?”
Kata-kata nenek tua itu seperti silet berkarat yang memaksa menyayat. Perih dirasa, tapi celakanya, kata-kata itu sungguh benar adanya.
“Memang tak ada,” sahutku, “kalau pun ada harus kucari dulu.”
“Lapar akan datang sebelum kau menemukannya. Kau tahu, lapar selalu datang lebih cepat dari apa pun?”
“Ya, aku rasa mungkin lapar akan membawaku kembali lagi ke sini.”
“Kalau kau sudah tahu, kenapa kau pikir bisa menemukan pilihan lain sebelum lapar datang lagi padamu?”
Aku mengangguk, “Rasa lapar itu seperti hantu. Aku akan mencoba menghilangkan ketakutanku.”
“Kau yakin bisa?”
“Entahlah...”
“Kalau kau masih laku, apa kau akan berpikir begitu?”
“Mungkin tidak. Hanya saja, cepat atau lambat aku memang harus memikirkannya, atau, mulai memikirkannya. Kenyataan tak bisa ditawar, dan kurasa, dulu kau juga begitu.”
“Ya, maka kau harus pintar.”
“Aku tak sepintar kau, Ceu'.”
“Kau bisa menyewa tempat.”
“Kurasa tidak, aku ingin lebih pintar darimu.”
“Sombong sekali kau.”
“Entah kenapa aku menginginkan cahaya yang terang benderang. Kurasa itu lebih pintar dari pada membiarkan hidup selamanya dalam dunia remang,” ujarku, tanpa sengaja. Rasanya tiba-tiba saja aku bisa berkata-kata begitu. Entah kenapa, mungkin seperti katanya, karena aku sudah tak laku.
Nenek tua itu tertawa. Renyah sekali.
“Jangan berceramah, hidup tak semanis bayanganmu. Jangan merasa pintar hanya karena karena kau bisa berkata begitu. Kau ini dalam kekacauan setelah kau tak lagi laku.”
“Manis memang hanya ada pada penghujung, tapi aku berniat mendapatkannya.”
“Dan selama kau belum sampai di ujung, tak ada sedikit pun rasa manis.”
“Aku sudah menghabiskan manisnya selama ini, mungkin harganya adalah kepahitan sejak sekarang hingga entah kapan. Dan aku ingin menemui kembali manisnya di ujung.”
“Kita lihat saja, apa kau bisa,” nenek itu menyeringai. “Tapi kau masih berutang padaku.”
Tiba-tiba keinginanku membulat.
“Aku akan membayarnya. Ada sedikit simpanan untukmu. Aku ingin pulang.”
Kutinggalkan dunia malam remang di mana jejakku jelas terekam. Aku sudah cukup lelah sekian lama tanpa cahaya. Entahlah, apakah waktu masih bersedia mengantarku pada cahaya yang terang benderang, atau memaksaku kembali ke dunia malam remang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H