Induk semangku yang berdiri reyot itu memandangku tanpa rasa, sembari menyedot asap rokok kuat-kuat sampai pipinya terlipat ke dalam. Aku tak ubahnya sedang melihat nenek sihir. Tapi dulu, ia seorang penjaja ulung. Primadona yang telah menjadi legenda hidup dunia malam remang ini. Meski kini ia tak ubahnya sketsa tengkorak bernyawa, tapi ia pandai menjajakan para penjaja.
“Pulang.”
“Kenapa?”
“Entahlah...”
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Aku tak tahu, tapi mestinya ada.”
“Kau seperti punya pilihan saja selain bertahan?”
Kata-kata nenek tua itu seperti silet berkarat yang memaksa menyayat. Perih dirasa, tapi celakanya, kata-kata itu sungguh benar adanya.
“Memang tak ada,” sahutku, “kalau pun ada harus kucari dulu.”
“Lapar akan datang sebelum kau menemukannya. Kau tahu, lapar selalu datang lebih cepat dari apa pun?”
“Ya, aku rasa mungkin lapar akan membawaku kembali lagi ke sini.”