“Entah kenapa aku menginginkan cahaya yang terang benderang. Kurasa itu lebih pintar dari pada membiarkan hidup selamanya dalam dunia remang,” ujarku, tanpa sengaja. Rasanya tiba-tiba saja aku bisa berkata-kata begitu. Entah kenapa, mungkin seperti katanya, karena aku sudah tak laku.
Nenek tua itu tertawa. Renyah sekali.
“Jangan berceramah, hidup tak semanis bayanganmu. Jangan merasa pintar hanya karena karena kau bisa berkata begitu. Kau ini dalam kekacauan setelah kau tak lagi laku.”
“Manis memang hanya ada pada penghujung, tapi aku berniat mendapatkannya.”
“Dan selama kau belum sampai di ujung, tak ada sedikit pun rasa manis.”
“Aku sudah menghabiskan manisnya selama ini, mungkin harganya adalah kepahitan sejak sekarang hingga entah kapan. Dan aku ingin menemui kembali manisnya di ujung.”
“Kita lihat saja, apa kau bisa,” nenek itu menyeringai. “Tapi kau masih berutang padaku.”
Tiba-tiba keinginanku membulat.
“Aku akan membayarnya. Ada sedikit simpanan untukmu. Aku ingin pulang.”
Kutinggalkan dunia malam remang di mana jejakku jelas terekam. Aku sudah cukup lelah sekian lama tanpa cahaya. Entahlah, apakah waktu masih bersedia mengantarku pada cahaya yang terang benderang, atau memaksaku kembali ke dunia malam remang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H