Malam mulai berkuasa. Belum seorang pun menyambangiku untuk menukar uangnya dengan kehormatan yang kujaja. Beberapa sudah mendapat sari pati dunia malam remang dari para tetamu. Mereka yang muda, mereka yang segar.
Aku?
Rasa khawatir datang sejak aku menyadari kehormatan yang kujajakan mulai tak dilirik lagi. Tak ada yang tersisa pada tubuh yang beranjak kisut dan berlemak. Kehormatan telah menjadi kerak pada pori-pori kulit yang rusak.
Gincu pada bibirku tak membuatku menjadi ayu, kecuali cermin menggambarnya seperti hantu. Waktu tak pernah berdusta, ia melajukan irama yang sama di mana saja. Di dunia malam remang, atau dunia terang. Siapa yang mampu bersembunyi dari laju waktu yang meninggalkan gurat di wajahmu?
Malam mulai tak menyisakan apa-apa kecuali tamu yang tak membawa banyak waktu untuk melampias hajat liarnya. Tak ada yang muda, yang tua pun tak apa. Tapi tak juga selalu begitu. Biar yang tua bungkuk, hidung belang kenyang bertualang dan selalu memilih tubuh yang muda menantang. Bagi tetamu, aku selayaknya sesuatu yang usang.
Malam kian gersang. Tetamu tak datang kecuali untuk yang muda menantang.
Dunia malam remang telah menelanku bulat-bulat.
Aku duduk sendiri di antara riuh gelak tawa, lenguh desah, denting gelas, dan aroma anggur yang gemericik memenuhinya, dengan latar musik rakyat yang bagiku terdengar menyayat. Aku tak lagi merasa kuat, duduk menjaja kehormatan dalam siraman remang yang pekat, dan kenyataan yang mencekik erat.
Apalagi yang kutunggu?
Aku berharap datang cahaya. Menyinari hati yang terdampar di dasar neraka. Jika mereka para hidung belang saja telah enggan memandangku, adakah Tuhan mau melakukan itu?
“Kemana, Nan?”