Ayah tak menjawab. Ia hanya menunduk dan menunduk saja.
“Ini daging milik kalian,” kata Kakek sambil memegang kedua bahuku. “Tapi kalian biarkan daging kalian seperti ini, karena kalian sibuk berebut tulang di otak kalian.”
“Hanya anjing yang berebut tulang,” kata Kakek sebelum akhirnya meninggalkan rumah. Meninggalkan Ayah yang diam terpaku.
Beberapa bulan kemudian Ayah mulai sering datang ke rumah Nenek untuk menengok Ibu. Terkadang ia membawa martabak, atau makanan yang di sukai Ibu. Tapi Ibu menolak menemui Ayah.
“Jika kalian memang harus menunggu sampai gigi kalian rontok hanya untuk menyadari bahwa tulang yang kalian perebutkan itu keras dan tak berisi, silakan saja.”
Kata-kata Kakek pada akhirnya membuat Ayah dan Ibu mulai menyadari kekeliruan masing-masing. Mereka membiarkan semuanya berantakan hanya karena perbedaan pandangan tentang calon presiden. Kini Ayah dan Ibu sudah rukun kembali dan Ibu bersedia pulang ke rumah.
Tapi pada akhirnya yang terjadi adalah sesuatu yang tak menyenangkan bagiku. Mungkin karena menahan rindu satu setengah tahun lamanya, Ayah dan Ibu begitu mesra dan tahu-tahu Ibu hamil lagi. Ayah terlihat sangat gembira.
Dan aku marah.
“Kenapa Cindy?” tanya Ibu.
“Aku tak mau punya adik,” sahutku.
“Lho, memangnya kenapa?”