Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber] Bulan Mati dan Jiwa-jiwa Mati yang Pergi

27 November 2015   17:37 Diperbarui: 27 November 2015   18:16 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi 

Adri Wahyono No. 7

James? Mr. J? Bagaimana ia bisa menjadi dokter Jalal dengan aku sama sekali tak mengenali, paling tidak, suaranya? Atau gerak-gerik tertentu – apa pun – yang  khas, yang kukenali dari Mr.J. Ini saking bodohnya aku, atau karena kelihaiannya merencanakan dan menjalankan skenario? Apa karena bermacam suntikan dan keterangan dia tentang ‘penyakitku’ yang namanya begitu rumit sampai harus disingkat saja untuk memudahkan menyebut namanya? Lalu, ia benar-benar seorang dokter atau...

Bagaimana ia bisa berganti wajah, mengganti karakter suara dan merubah semua tanpa meninggalkan sedikit pun karakter Mr. J yang mungkin membuatnya bisa kukenali. Bagaimana caranya ia bisa bermain secemerlang itu? Dan, apa tujuan terbesar dari skenario itu, tujuan dari investasi besarnya pada perusahaan Nugie?

Kepalaku terasa mendenyut ngilu karena otakku bekerja terlalu keras, tapi tak juga sanggup untuk menemukan jawabannya, karena bagaimana pun jawaban itu memang tak pernah ada. Sementara pistol itu kini teracung tepat di depan wajahku. Jarak kematian hanya tinggal satu tarikan pelatuk saja, tarikan yang akan mengantarku ke, surga?

Hah, neraka pastinya. Gie, Ran, dan orang yang mengacungkan pistol ini telah membuatku berkubang sekian lama dalam drama yang membuatku kebingungan, bahkan hingga saat akhirnya ini sudah tiba di ujungnya. Baiklah, apa yang harus kutakutkan tentang neraka yang belum kutahu itu, toh selama ini mereka sudah ‘menciptakan’ neraka buatku. Satu skenario dengan banyak kepentingan dari mereka yang bersepakat menjalankannya.

“Baiklah, kau menang. Hadiah yang pantas untuk pemancing yang sabar. Umpanmu adalah umpan yang sangat dibutuhkan ikan, dan ikan tak pernah akan berpikir apa pun kecuali ketika sentakan menyadarkannya di saat yang sudah sangat terlambat,” kataku menyela deru nafas James yang menyeringai dengan pistol teracung.

James tertawa lebar.

“Kau memang cerdas. Sangat cerdas. Tapi kau bukan apa-apa jika berhadapan denganku,” kata James penuh percaya diri, “nyatanya, kau tak pernah menyangka, bukan?”

“Sebelum kau antar aku ke neraka yang sesungguhnya, aku ingin tahu, apa sebenarnya yang kau inginkan dari sandiwara kejam yang tampaknya sangat kau nikmati ini. Aku tak tahu dengan Nugie, dengan Ran, tapi tentang kesalahan apa yang kulakukan padamu, maka aku pantas untuk kau buat gila dengan suntikan-suntikan, pencucian otakku dengan diagnosis-diagnosis palsu tentang banyaknya kepribadian dalam diriku, dan sebentar lagi akan kau pungkasi dengan mencecerkan otakku yang sudah kau buat gila. Jika sedikit kau beritahu, dan kudengar alasan yang bisa kuterima, mungkin aku bisa sedikit mengurangi permintaan hukuman Tuhan untukmu, yang akan kupanjatkan dari neraka,” kataku lagi dengan pelan tapi penuh tekanan.

Aku harus sedikit meronta melancarkan perang mental dengan daya tersisa untuk sebuah peluang menyelamatkan diri, meskipun ini serupa melewati lubang jarum. Jika aku akan tetap mati oleh satu peluru di pistol itu, setidaknya aku melawan, agar di neraka aku tak disalahkan setan.

James memandangku dengan raut muka dingin. Aku berharap akan mendapatkan penjelasan mengenai ini, jadi aku masih bisa mengutukmu sebelum mati. Sesudah itu, kau boleh pecahkan kepalaku.

“Kau tak pernah bersalah kepadaku. Sedikit pun. Bahkan kau menolak cintaku itu juga bukan suatu kesalahan buatku, karena itu hanya bagian dari rencana besarku. Itu cuma untuk membantu Nugie yang ingin melenyapkanmu, demi mimpi asmara konyolnya dengan Ran. Kau tahu, bahkan monyet jantan tak akan mau bercinta dengan monyet jantan lainnya. Tapi mereka? Entah apa yang mereka pikirkan. Karena Nugie sendiri tak sanggup, maka dia menyusun sandiwara dengan Ran. Tapi rupanya Ran adalah ‘wanita’ Gie, dan terlalu ‘lembut’. Maka lantas ada Nugha, si tambun tanpa otak yang obsesi hidupnya hanya ‘fly’ dengan narkoba, yang diminta Ran untuk menyingkirkanmu. Dan, kau tahu, dia pun gagal. Maka aku menawarkan pada mereka, bagaimana kalau aku yang melakukannya. Tentu saja mereka menerima tawaranku,” jelas James panjang lebar.

“Itukah kenapa tiba-tiba aku berada di sebuah bangsal dengan suster-suster yang mengitariku seperti nyamuk-nyamuk penghisap darah?”

“Ya, dan muncullah dokter Jalal yang kharismatik itu, dengan segala sandiwara dia mengenai keadaanmu,” James menyeringai lagi.

“Bingo!” serunya dengan mimik muka mengejek.

Sepertinya James begitu menikmati detik demi detik kemenangannya. Kesuksesan dari rencana besarnya yang berjalan sesuai keinginan.

“Semua  ini benar-benar terkonsep, hanya saja tak dituliskan seperti skenario film. Tapi meskipun begitu semua berjalan secara alami, dan jika ada kendala, maka kami membuat plan A, plan B, Plan C, dan seterusnya agar semua ini tetap berjalan, skarena tak ada, “Cut!”, seperti dalam membuat film,” James terus mengacungkan pistolnya. “Nugie dan Ran sudah menjalankan semua plan A, plan B mereka, tapi dari kesemuanya mereka tak berhasil melenyapkanmu. Maka aku sendiri, di tengah skenarioku sendiri yang kujalankan sejak semula, di mana Ran adalah aktor arahanku, aku mengambil inisiatif untuk menuntaskan keinginan mereka yang terus tertunda. Karena itu akan mempermudah tujuanku sejak semula.”

“Nugie ingin aku lenyap, itu aku sudah tahu dan tak penting lagi. Sebelum aku mati, aku ingin tahu tentang kau sendiri, siapa pun namamu, J, James, Jalal, Jahanam, apa yang kau sendiri inginkan dari ini semua?”

“Ah, pertanyaan yang kutunggu-tunggu. Hohoho, Aku benar-benar tak sabar untuk menjawabnya, seperti anak kecil yang gelisah tak sabar menunggu pagi, di mana ia akan pergi bertamasya,” kata James dengan raut wajah lucu, tapi tetap dengan pistol mengacungi wajahku.

“Perusahaan IT yang dibangun Nugie benar-benar memiliki prospek lebih dari sekedar terang benderang di masa depan, itulah makanya kenapa aku tak ragu untuk menginvestasikan dana yang sangat besar. Ide dan kemampuannya membuat perusahaan berkembang dan aku tak pernah menyangka jika dalam waktu yang tak terlalu lama, investasiku mulai ‘menghasilkan’. Ia terlibat langsung dalam perekrutan karyawan, dan kejelian membawanya mendapatkan orang-orang terbaik,” James mengangkat tangan kirinya untuk menggantikan tangan kanannya memegang pistol. Kurasa tangannya mulai pegal. Kuharap ia bertahan sedikit lagi sampai semua ia ‘beberkan’.

“Aku membiayai perusahaannya, ia mengendalikan perusahaan dan berhasil. Aku punya dua jempol untuk Nugie dalam hal itu. Perusahaan itu semakin maju, semakin dikenal, dan menguntungkan. Pembagian keuntungannya cukup adil menurut perjanjian kami sejak awal. Tapi memang ada sesuatu yang mengganjal, Nugie solid bersama semua orang yang bekerja, sementara aku, si pemilik modal tak punya pengaruh apa-apa dalam perusahaan. Padahal, dalam nota kesepakatan aku adalah pemegang lima puluh persen saham perusahaan. Semua ini karena Nugie menyeleksi sendiri orang-orang yang akan direkrut. Ia selalu menolak orang-orang yang aku tawarkan. Seakan aku tak diberi hak untuk menempatkan orang-orang. Alasannya, perusahaan tak akan solid, karena orang-orang yang merasa bahwa bergabungnya ke perusahaan karena pengaruhku akan lebih mendengarkan ‘orang yang berjasa’ memberinya pekerjaan. Tak baik jika ada dua pengaruh dalam satu perusahaan. Katanya, sebaiknya aku duduk manis menikmati hasil investasinya dan tak perlu repot-repot. Toh, aku mendapatkan apa yang seharusnya kudapatkan,”

“Kurasa itu benar,” sahutku menyela.

“Memang benar,” lanjut James lagi.

“Lalu?”

“Lalu? Heh, kalau Nugie tak terlalu kaku yang membuat dia terkesan tak menginginkan pengaruhku di perusahaan, aku tak akan melakukan ini semua. Dengar ya, aku terkadang ingin menolong beberapa orang yang tak punya pekerjaan dan mencoba menawarkannya pada Nugie. Tujuanku hanya agar mereka mendapat pekerjaan, tapi tanggapan Nugie mengesankan ia enggan ada pengaruhku di perusahaan. Kau pun akan berpikir seperti itu jika kau jadi aku, Anna.”

“Kalau begitu, bagaimana kemudian kau bisa membawa Ran?”

“Aku bertemu dengan dia di sebuah kafe. Tiba-tiba saja dia mendekatiku dengan lagak gaya yang menjijikkan untuk seorang laki-laki yang mendekati laki-laki. Setahuku itu seharusnya dilakukan seorang pelacur perempuan yang ingin menawarkan ‘hiburan’ pada laki-laki. Jadi aku berkesimpulan, mungkin dia adalah laki-laki yang mempunyai ‘banyak hiburan’ untuk laki-laki. Aku katakan padanya bahwa aku menyukai perempuan, karena semakin lama ia semakin menjijikkan. Aku baru dipecat dari perusahaan, katanya. Ia butuh uang untuk membayar sewa apartemennya. Saat itu Nugie datang untuk pertemuan bulanan denganku. Bisa kukatakan bahwa pertemuan itu selalu kulakukan dengan Nugie untuk membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan perusahaan. Sebenarnya lebih banyak pembicaraan santainya daripada serius, karena segala urusan teknis dan tanggung jawabnya adalah urusan Nugie. Aku bisa dikatakan terima bersih.”

“Ran tetap ada di situ ketiga Gie datang?”

“Ya, menurutku ia orang yang tak tahu malu. Nugie bertanya, ini siapa? Lalu kujawab, aku baru mengenalnya sekitar sepuluh menit sebelumnya. Rupanya ia mengalihkan sikap menjijikkannya pada Nugie. Aku kemudian menganggapnya wajar saja karena Nugie jelas lebih tampan dan tidak botak sepertiku. Tanpa diminta ia mengenalkan namanya pada Nugie. Dari situ aku tahu namanya Ran. Tanpa berpikir sebelumnya aku mengatakan pada Ran bahwa Nugie adalah pemilik perusahaan, mungkin ia punya tempat di perusahaannya. Ran kemudian bercerita tentang kehilangan pekerjaan. Anehnya Nugie tampak bersimpati padanya. Apalagi ketika ia tahu perusahaan tempat Ran bekerja sebelumnya adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang IT, dan kualifikasi Ran sendiri lumayan meyakinkan.”

“Apakah memang ada tanda-tanda ketertarikan Gie pada Ran waktu itu?”

“Aku tak tahu. Tapi boleh jadi begitu, karena Ran memang cukup genit. Aku sudah ceritakan tadi, Nugie tak pernah mau memasukkan orang-orang yang kutawarkan, tapi tiba-tiba saja ia mempersilakan Ran untuk datang ke kantor pada hari yang mereka sepakati. Ia juga memperkenalkan aku pada Ran sebagai investor di perusahaan. Setelah itu pembicaraan tentang perusahaan tetap aku dan Nugie lakukan dengan Ran berada di tengah-tengah kami. Hari itu Ran mendapat pekerjaan kembali dan mendapat makan malam gratis.”

Cinta pada pandangan pertama? Antara seorang tampan dengan seorang tampan lainnya?

Sepi. Hanya detak jam dinding menurutkan laju waktu. Aroma yang menebarkan teror dari moncong pistol itu merambati hidungku dan membuat dadaku berdesir. Aku tak yakin akan bisa melepaskan diri darinya.

“Setelah pertemuan itu, Nugie pergi lebih dulu karena waktu itu, kalau tak salah, kau meneleponnya. Ran bertanya padaku, apa Nugie punya pacar? Aku bilang punya. Salah seorang karyawannya, kembang perusahaan, namanya Rheinara Yuki. Ia bertanya lagi, apa pacarnya itu cantik? Sudah kubilang kembang perusahaan, sahutku. Aku tak ragu lagi, Ran memang gay dan naksir Nugie. Saat itu tiba-tiba aku punya gagasan, lebih tepatnya melihat kesempatan untuk menanamkan pengaruhku sendiri di perusahaan. Aku bercerita banyak pada Ran tentang Nugie, tentang perusahaan dan kerjasama kami, tentang ganjalan yang kurasakan karena sebagai pemilik modal, kedudukanku yang vital diabaikan. Kau tampaknya naksir dengan Nugie, kataku padanya. Ran tersipu-sipu persis gadis belasan tahun yang jatuh cinta, tapi malu mengakuinya. Aku bilang lagi padanya, Aku sudah bantu kau dapat pekerjaan, aku bahkan sekaligus bisa membantumu mendapatkan cinta pemilik perusahaannya, asal kau mau bekerja untukku. Jika kau bersedia maka status pengangguranmu akan berakhir, tapi jika tidak, kau akan tetap jadi penganggur.”

Seperti melihat mendung yang perlahan-lahan tersibak dan sedikit demi sedikit kebiruan langit kembali terkuak.

“Ran tentu saja bersedia melakukannya mengingat ia bukan hanya mendapat pekerjaan, tapi juga berkesempatan mendapat cinta. Nugie menerima Ran di perusahaan tanpa seleksi ketat sebagaimana biasanya. Maka masuklah Ran di perusahaan Nugie,” kata James lagi.

“Menurutku, Ran tak hanya cukup cakap dalam dunia IT, tapi juga seseorang yang memiliki pengetahuan cukup dan pandai bicara. Saat itulah aku mencoba mengarahkan dia agar ia membuat isu-isu tentang perusahaan yang mulai terancam oleh munculnya banyak pesaing yang bermain di bidang yang sama. Mengarahkan ia untuk mempengaruhi Nugie agar Nugie yang selalu optimis dan kuat pendirian itu goyah karena ketakutan-ketakutan yang dirancangnya mengenai masa depan perusahaan.”

“Untuk apa kau lakukan itu?”

“Aku ingin memiliki perusahaan itu seutuhnya. Aku ingin Nugie bekerja untukku, dengan perusahaan di bawah kendaliku. Dengan Ran sebagai aktorku, pelan tapi pasti pengaruhku mulai tertanam. Apalagi ketika Ran benar-benar telah berhasil membuat Nugie jatuh cinta padanya, semua keinginan Ran yang kuatur itu selalu coba dipenuhi Nugie.”

“Termasuk menyingkirkanku dengan berbagai cara yang gagal itu?”

“Termasuk menyingkirkanmu. Itu keinginan Ran yang ingin cinta seutuhnya dari Nugie. Apa pun yang dilakukan, Ran melaporkannya padaku. Dimulai dari keinginan menjauhkan Nugie darimu, Nugie menuruti ideku untuk menyingkir sementara dari perusahaan dan aku mengambil alih sementara. Kau tahu, aku sudah mulai menang, karena Nugie tak memikirkan apa pun kecuali untuk menyenangkan hati Ran. Aku mengatur agar Ran berada di satu ruangan yang sama denganmu, dan melancarkan segala sandiwara yang kau sendiri melakoninya. Aku ingat saat Ran bercerita bahwa ia menahan muntah karena mengulum bibirmu. Heh, aku sebenarnya sulit untuk maklum, tapi aku tak peduli. Aku hanya peduli keinginanku sendiri.”

Aku memandang James dengan geram dan berharap sebuah kesempatan untuk berlari. Tapi kesempatan itu seperti berharap hujan tak turun pada saat mendung sudah menggayut hitam.

“Mereka mengeluh karena mereka tak berhasil menyingkirkanmu, meskipun segala cara sudah mereka tempuh. Kau selalu lolos. Sampai akhirnya Ran yang menjadi aktor dalam dua sandiwara memintaku untuk melenyapkanmu. Aku tentu saja setuju melakukannya karena itu akan membuat cengkeramanku pada mereka berdua dan terutama perusahaan semakin kuat. Maka jadilah sandiwara rumah sakit jiwa, suster-suster yang katamu seperti nyamuk mengitarimu, beberapa orang yang kusewa untuk bertingkah seperti orang gila, suntikan-suntikan dan diagnosis-diagnosis aneh untuk membuatmu gila dan terbunuh perlahan-lahan. Properti yang mahal, Anna. Menyewa dan menyulap sebuah rumah kontrakan menjadi seperti sebuah rumah sakit. Tapi kau tahu, keinginan membuat manusia bersedia melakukan hal yang paling gila, paling konyol, dan paling kejam. Itulah yang kulakukan. Apalagi jika yang kau dapat lebih banyak dari yang kau keluarkan, kau akan dengan senang hati melakukannya. Seperti mendapat perusahaan itu dengan segala asetnya seutuhnya. Menggiurkan bukan? Kau pun akan melakukan itu jika menjadi aku, Anna.”

“Kau setan, jahanam!”

“Apa pun katamu, Anna. Semua ini berawal dari hal yang sepele sekali. Perasaan diabaikan, padahal kalau bukan karena aku, perusahaan Nugie-mu itu tak akan pernah ada. Mungkin tetap hanya sebuah kamar dengan sebuah komputer server yang lemot dengan Nugie memelototinya sedari pagi sampai pagi lagi. Tapi Nugie terlalu sombong kepada seseorang yang memberinya modal.”

Aku tak peduli lagi. Gie, apa pun alasanmu, kau telah menginginkan kematianku, menginginkan aku lenyap demi Ran yang kau bahkan tak tahu jika kedatangannya tanpa perantara James jahanam sekalipun sudah membawakan penyakit untukmu. Kau memilih cinta yang berpenyakit. Di mana pun kau sekarang, Gie. Aku tak peduli lagi.

James mengisyaratkan akan menarik pistolnya. Senyum seringai kembali terbit dan sebelah matanya dipicingkannya. Mungkin ia takut tembakannya dari jarak satu inci itu meleset.

Letusan tembakan terdengar. Keras dan mengguncang serta meluruhkan seluruh perasaanku. Aku mati.

Mataku terbuka. Kenapa mataku terbuka?

Aku mendapati diriku masih berdiri. Pistol di depan wajahku sudah tak ada lagi. Benda itu tergeletak di lantai dekat tangan yang sedari tadi memegangnya. Tangan itu terkulai bersama pemiliknya yang terkapar. James bersimbah darah di depanku.

Siapa yang menembaknya?

Sesosok wajah dengan senyum kemenangan lain kini mengitari mataku. Ran. Tangannya memegang pistol lain. Wajahnya tampak mendung untuk seseorang yang memenangkan permainan menegangkan yang berlangsung begitu lama.

“Kenapa, Ran?”

“Sudahlah, Anna. James sudah menceritakan semuanya sampai berbusa dan lihat, karenanya ia berdarah-darah sekarang. Semuanya gamblang sekarang. Ini semua sandiwara. Aku memainkannya demi cintaku. Nugie memainkannya demi aku. James memainkannya demi ambisinya sendiri. Kami bekerja sama tapi kepentingan kami berbeda. Ketika ada kendala, seperti kata James, kami memainkan plan B, tapi ketika kepentingan kami berbenturan, kami tak punya rancangan apa-apa kecuali menyingkirkan siapa yang mencoba menghalangi. Tak boleh terlambat jika ingin memenangkan sebuah permainan.”

“Tembak saja aku, toh tak ada gunanya lagi aku hidup,” ujarku pasrah.

Adri Wahyono No. 7

 

“Aku tak pernah berpikir menyingkirkan James, tapi karena dari luar aku mendengar ia mengancam akan membunuh Gie, maka aku berpikir, cepat atau lambat aku harus menyingkirkannya. Jika aku membiarkan ia menembakmu lebih dulu, maka ia akan punya banyak waktu untuk memburu Gie. Jadi kuputuskan agar ia tak usah memburu Gie,” Ran menodongkan pistolnya kepadaku.

“Sekarang giliranmu, Anna. Aku tak akan merasa tenang sebelum kau benar-benar mati dengan aku sendiri yang menembak kepalamu.”

Kali ini aku merasa seperti terkencing-kencing mendengar ancamannya. Aku sering mendengar, cemburu dari pasangan tak wajar akan membuatnya melakukan hal yang tak wajar pula.

“Selamat jalan...”

Kembali tembakan terdengar.

Aku menjerit sejadinya.

Tapi kembali aku mendapati diriku sendiri tetap berdiri. Ran roboh dan sekarat. Darah mengucur seperti mata air dari balik bajunya. Aku bergidik ngeri menyaksikan dua orang menegang nyawa. James yang sekarat ternyata masih mampu mengambil pistolnya dan menembak Ran dari belakang. Ia sekarang dalam daya yang tersisa mencoba mengacungkan pistol kepadaku. Aku yang terpaku hanya bisa pasrah. Tapi tangan itu kemudian terkulai lagi.

Kekuatan perlahan kembali mengaliri otot-ototku, dan dengannya aku mencoba mundur dan mencari cara untuk berlari.

Di luar, di halaman yang sepi aku terhuyung-huyung dan terjatuh. Nafasku memburu, perasaanku luruh. Entahlah, apakah aku masih hidup di dunia atau sebenarnya peluru dari Ran atau James itu sudah mengantarku ke neraka.

Tapi aku melihat langit muram di atas. Bulan mati. Aku melihat bulan mati. Bulan mati yang tak lagi memiliki arti. Seperti bulan mati itu, hatiku juga telah mati.

Untuk membaca kisah lainnya Gabung di grup Fiksiana Commnunity

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun