“Tembak saja aku, toh tak ada gunanya lagi aku hidup,” ujarku pasrah.
Adri Wahyono No. 7
“Aku tak pernah berpikir menyingkirkan James, tapi karena dari luar aku mendengar ia mengancam akan membunuh Gie, maka aku berpikir, cepat atau lambat aku harus menyingkirkannya. Jika aku membiarkan ia menembakmu lebih dulu, maka ia akan punya banyak waktu untuk memburu Gie. Jadi kuputuskan agar ia tak usah memburu Gie,” Ran menodongkan pistolnya kepadaku.
“Sekarang giliranmu, Anna. Aku tak akan merasa tenang sebelum kau benar-benar mati dengan aku sendiri yang menembak kepalamu.”
Kali ini aku merasa seperti terkencing-kencing mendengar ancamannya. Aku sering mendengar, cemburu dari pasangan tak wajar akan membuatnya melakukan hal yang tak wajar pula.
“Selamat jalan...”
Kembali tembakan terdengar.
Aku menjerit sejadinya.
Tapi kembali aku mendapati diriku sendiri tetap berdiri. Ran roboh dan sekarat. Darah mengucur seperti mata air dari balik bajunya. Aku bergidik ngeri menyaksikan dua orang menegang nyawa. James yang sekarat ternyata masih mampu mengambil pistolnya dan menembak Ran dari belakang. Ia sekarang dalam daya yang tersisa mencoba mengacungkan pistol kepadaku. Aku yang terpaku hanya bisa pasrah. Tapi tangan itu kemudian terkulai lagi.
Kekuatan perlahan kembali mengaliri otot-ototku, dan dengannya aku mencoba mundur dan mencari cara untuk berlari.