Seiring dengan perkembangan zaman, bentuk hukuman dan cara menyuarakan ketidaksetujuan terhadap individu atau institusi juga berubah. Jika dulu orang menggunakan tarring and feathering, sekarang mereka menggunakan hashtag. Fenomena ini dikenal dengan sebutan "cancel culture". Cancel culture adalah konsep yang menuai banyak perdebatan, karena ada yang berpendapat bahwa ini adalah cara yang efektif untuk mempertanggungjawabkan orang-orang yang melakukan tindakan yang dianggap tidak pantas, sementara ada juga yang berpendapat bahwa ini adalah bentuk hukuman tanpa kesempatan untuk memperbaiki kesalahan.
Menurut majalah Harper's Magazine, cancel culture adalah tindakan menyuarakan ketidaksetujuan secara publik terhadap individu atau institusi yang melakukan tindakan yang dianggap tidak pantas atau menyakitkan. Meskipun semua orang sepakat dengan definisi ini, namun pendapat tentang efektivitas cancel culture berbeda-beda.
Pada bulan Juli, Harper's Magazine menerbitkan artikel berjudul "A Letter on Justice and Open Debate" yang secara tidak langsung mengkritik cancel culture. Artikel ini ditandatangani oleh 153 tokoh terkenal, termasuk J.K. Rowling, yang baru-baru ini menghadapi seruan untuk dibatalkan karena komentar di media sosial yang dianggap sebagai tindakan transfobia oleh sebagian orang. Bagi Mel Stanfill, profesor asisten di UCF yang mengkaji teks dan teknologi, artikel ini merupakan contoh bagaimana cancel culture dapat menjadi praktik yang rumit.
"Menurut saya, cancel culture mencerminkan kesadaran bahwa orang-orang tidak lagi mau menerima hal-hal yang sebelumnya mereka terima atau tidak bisa mereka tolak di masa lalu, tapi pada beberapa hal, ini juga merupakan kepanikan moral," kata Stanfill, yang juga merupakan profesor asisten di jurusan Bahasa Inggris. "Artikel di Harper's Magazine ditulis oleh orang-orang yang sangat kaya dan terkenal di majalah nasional tentang bagaimana mereka telah dibungkam - padahal mereka masih bisa mengakses forum ini. Jadi ini menyoroti fakta bahwa cancel culture adalah ketakutan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak nyata. Jadi jika kita ingin membicarakan cancel culture, kita harus melihatnya dalam konteks yang lebih luas."
Meskipun konsep cancel culture tergolong baru, namun ada hubungannya dengan budaya Black. Menurut situs berita Vox, istilah "canceling" pertama kali muncul di pop culture pada film tahun 1991 berjudul New Jack City, ketika karakter Wesley Snipes, Nino Brown, mengatakan "Cancel that [woman]. I'll buy another one" sebagai reaksi terhadap ketidaksetujuan pacarnya terhadap kekerasan yang dilakukan olehnya. Pada tahun 2010, rapper Lil Wayne juga menggunakan kutipan ini dalam lagunya yang berjudul "I'm Single". Namun, istilah ini mulai mendapatkan perhatian di media sosial setelah episode Love & Hip-Hop: New York pada tahun 2014, ketika salah satu anggotanya, Cisco Rosado, mengatakan "You're canceled" kepada pasangannya. Setelah itu, Black Twitter mulai menggunakan istilah ini dengan maksud serius maupun dalam bentuk lelucon untuk menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap orang lain.
Selain itu, cancel culture juga memiliki akar dari bentuk protes lainnya, yaitu boikot. Boikot pertama kali digunakan oleh orang-orang Irlandia pada tahun 1880an dan menjadi alat politik dan sosial yang efektif digunakan oleh orang-orang Afrika-Amerika selama gerakan hak sipil, seperti boikot bus Montgomery yang dipicu oleh Rosa Parks.
Dalam era digital saat ini, kekuatan cancel culture semakin diperkuat oleh media sosial. Media sosial memungkinkan suara-suara yang terpinggirkan atau minoritas untuk diamplifikasi dan didukung oleh orang-orang yang menjadi sekutu mereka. Contohnya adalah gerakan #BlackLivesMatter yang dimulai pada tahun 2014 setelah George Zimmerman dibebaskan dari tuduhan membunuh Trayvon Martin. Gerakan ini telah berkembang menjadi gerakan global yang penting. Media sosial juga membuat praktik seperti public shaming dapat dilakukan oleh orang-orang dari berbagai latar belakang untuk menyoroti berbagai masalah yang ada.
Namun, praktik public shaming sudah ada sejak lama seiring dengan perkembangan masyarakat. Mulai dari penggunaan "stocks" atau alat pembatas di Eropa abad pertengahan hingga penggunaan tarring and feathering sebagai bentuk hukuman tubuh di masa lalu. Terdapat juga praktik yang dianggap positif, seperti shaming of the meat yang dilakukan oleh suku !Kung di Afrika Selatan untuk menjaga rasa rendah diri dan menjaga keseimbangan kekuasaan di dalam masyarakat mereka.
Namun, ketika public shaming dilakukan secara online, hal ini dapat menyebabkan dampak yang lebih luas dan permanen. Terlebih lagi, ketika praktik cancel culture digunakan terhadap selebriti, mereka menjadi sangat rentan terhadap kritik dan penolakan publik karena posisi dan pengaruh yang mereka miliki.
Gerakan #MeToo adalah salah satu contoh bagaimana panggilan terhadap individu yang berkuasa dapat menyebabkan perubahan budaya yang signifikan. Ketika kasus pelecehan seksual yang melibatkan produser film Harvey Weinstein terungkap pada tahun 2017, hal ini mengarah pada vonisnya sebagai pelaku kejahatan seksual. Individu lain yang juga terlibat dalam kasus serupa juga menghadapi akibat dari tindakan mereka. Namun, terkadang, tindakan memboikot atau membatasi akses terhadap orang-orang yang berkuasa dapat memiliki efek sebaliknya. Misalnya, saat penayangan serial dokumenter Surviving R. Kelly pada tahun 2019, gerakan #MuteRKelly mulai trending dengan tujuan untuk membatalkan karir penyanyi tersebut. Namun, perhatian negatif yang semakin meningkat terhadap artis tersebut malah berdampak pada peningkatan jumlah streaming musiknya.
Masyarakat umum memiliki kekuatan untuk mempertanggungjawabkan individu yang dianggap berkuasa, namun pertanyaannya adalah, apakah kekuatan ini bersifat sementara? Mengapa kita terlalu peduli dengan tindakan mereka, sementara kita lupa mengintrospeksi diri kita sendiri atau komunitas di sekitar kita?
Pengaruh media sosial yang semakin kuat juga menjadi faktor penting dalam fenomena cancel culture. Kehidupan kita semakin terkoneksi dengan dunia digital dan online daripada dunia nyata. Terlebih lagi, situasi yang tidak menentu dan isolasi yang dialami oleh banyak orang selama pandemi COVID-19 membuat kita lebih banyak menghabiskan waktu online. Menurut laporan DataReportal pada bulan Juli, pengguna media sosial baru meningkat sekitar 11% dan orang-orang menghabiskan waktu 40% lebih banyak di media sosial dibandingkan sebelum pandemi.
Namun, penggunaan media sosial yang seringkali instan dan tanpa pemikiran mendalam dapat menyebabkan masalah. Ketika kita melihat sesuatu yang kontroversial atau buruk di timeline atau feed kita, seringkali kita bereaksi dengan impulsif tanpa benar-benar menyelidiki masalah tersebut atau mendengarkan penjelasan dari pihak terkait. Kita seringkali membagikan berbagai hal secara online atau melontarkan pendapat yang mungkin tidak akan kita ucapkan jika berhadapan langsung dengan seseorang.
Dalam kasus-kasus di mana seseorang melakukan tindakan yang sangat buruk, seperti melakukan kejahatan seksual, tindakan membatasi akses atau memboikot mungkin terlihat jelas. Namun, dalam kasus-kasus di mana tindakan tersebut lebih bersifat subjektif dan memerlukan pemikiran yang lebih dalam, seringkali hal ini tidak dilakukan.
Manusia adalah makhluk yang tidak sempurna dan seringkali melakukan kesalahan. Tindakan seperti doxxing online, yaitu menyebarkan informasi pribadi atau identitas seseorang, memiliki dampak yang bisa mengakibatkan seseorang di-cancel. Pertanyaannya adalah, apa yang memotivasi perubahan yang positif dan tulus? Seorang wanita bernama Amy Cooper, yang memanggil polisi atas seorang pria kulit hitam bernama Christian Cooper selama perselisihan yang viral di Central Park, telah kehilangan pekerjaannya, dijerat dengan tuduhan membuat laporan palsu kepada polisi, dan mendapat ketenaran dan ejekan publik. Meskipun dia telah meminta maaf atas tindakannya, namun siapa yang menentukan kesungguhan permintaan maafnya? Peristiwa-peristiwa rasisme semacam ini masih terjadi setiap hari di media sosial.
Ketika tindakan public shaming dilakukan, masalah sosial yang kompleks diubah menjadi sesuatu yang terindividualisasi. Hal ini menempatkan tanggung jawab yang besar pada individu, sementara masalah-masalah institusional dan sistemik yang lebih besar seringkali terabaikan.
Media sosial memang telah mengubah cara kita berkomunikasi dan memberikan lebih banyak cara untuk terhubung. Namun, dalam banyak hal, media sosial juga memisahkan kita dan membuat kita fokus pada hal-hal yang tidak selalu penting.
Kita perlu mengambil langkah mundur dan mendengarkan dengan baik. Dalam menghadapi cancel culture, kita perlu mencari keseimbangan antara tuntutan pertanggungjawaban dengan kesempatan untuk belajar dan berkembang. Menemukan cara yang memungkinkan pertanggungjawaban sekaligus memberikan ruang bagi pertumbuhan dan pendidikan sangat penting dalam mengatasi masalah yang mendasari fenomena cancel culture ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H