Mohon tunggu...
Natanael Adriel
Natanael Adriel Mohon Tunggu... Aktor - Penulis

Saya hobinya nulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Efektivitas Cancel Culture

13 Desember 2023   20:40 Diperbarui: 13 Desember 2023   20:40 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Seiring dengan perkembangan zaman, bentuk hukuman dan cara menyuarakan ketidaksetujuan terhadap individu atau institusi juga berubah. Jika dulu orang menggunakan tarring and feathering, sekarang mereka menggunakan hashtag. Fenomena ini dikenal dengan sebutan "cancel culture". Cancel culture adalah konsep yang menuai banyak perdebatan, karena ada yang berpendapat bahwa ini adalah cara yang efektif untuk mempertanggungjawabkan orang-orang yang melakukan tindakan yang dianggap tidak pantas, sementara ada juga yang berpendapat bahwa ini adalah bentuk hukuman tanpa kesempatan untuk memperbaiki kesalahan.

Menurut majalah Harper's Magazine, cancel culture adalah tindakan menyuarakan ketidaksetujuan secara publik terhadap individu atau institusi yang melakukan tindakan yang dianggap tidak pantas atau menyakitkan. Meskipun semua orang sepakat dengan definisi ini, namun pendapat tentang efektivitas cancel culture berbeda-beda.

Pada bulan Juli, Harper's Magazine menerbitkan artikel berjudul "A Letter on Justice and Open Debate" yang secara tidak langsung mengkritik cancel culture. Artikel ini ditandatangani oleh 153 tokoh terkenal, termasuk J.K. Rowling, yang baru-baru ini menghadapi seruan untuk dibatalkan karena komentar di media sosial yang dianggap sebagai tindakan transfobia oleh sebagian orang. Bagi Mel Stanfill, profesor asisten di UCF yang mengkaji teks dan teknologi, artikel ini merupakan contoh bagaimana cancel culture dapat menjadi praktik yang rumit.

"Menurut saya, cancel culture mencerminkan kesadaran bahwa orang-orang tidak lagi mau menerima hal-hal yang sebelumnya mereka terima atau tidak bisa mereka tolak di masa lalu, tapi pada beberapa hal, ini juga merupakan kepanikan moral," kata Stanfill, yang juga merupakan profesor asisten di jurusan Bahasa Inggris. "Artikel di Harper's Magazine ditulis oleh orang-orang yang sangat kaya dan terkenal di majalah nasional tentang bagaimana mereka telah dibungkam - padahal mereka masih bisa mengakses forum ini. Jadi ini menyoroti fakta bahwa cancel culture adalah ketakutan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak nyata. Jadi jika kita ingin membicarakan cancel culture, kita harus melihatnya dalam konteks yang lebih luas."

Meskipun konsep cancel culture tergolong baru, namun ada hubungannya dengan budaya Black. Menurut situs berita Vox, istilah "canceling" pertama kali muncul di pop culture pada film tahun 1991 berjudul New Jack City, ketika karakter Wesley Snipes, Nino Brown, mengatakan "Cancel that [woman]. I'll buy another one" sebagai reaksi terhadap ketidaksetujuan pacarnya terhadap kekerasan yang dilakukan olehnya. Pada tahun 2010, rapper Lil Wayne juga menggunakan kutipan ini dalam lagunya yang berjudul "I'm Single". Namun, istilah ini mulai mendapatkan perhatian di media sosial setelah episode Love & Hip-Hop: New York pada tahun 2014, ketika salah satu anggotanya, Cisco Rosado, mengatakan "You're canceled" kepada pasangannya. Setelah itu, Black Twitter mulai menggunakan istilah ini dengan maksud serius maupun dalam bentuk lelucon untuk menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap orang lain.

Selain itu, cancel culture juga memiliki akar dari bentuk protes lainnya, yaitu boikot. Boikot pertama kali digunakan oleh orang-orang Irlandia pada tahun 1880an dan menjadi alat politik dan sosial yang efektif digunakan oleh orang-orang Afrika-Amerika selama gerakan hak sipil, seperti boikot bus Montgomery yang dipicu oleh Rosa Parks.

Dalam era digital saat ini, kekuatan cancel culture semakin diperkuat oleh media sosial. Media sosial memungkinkan suara-suara yang terpinggirkan atau minoritas untuk diamplifikasi dan didukung oleh orang-orang yang menjadi sekutu mereka. Contohnya adalah gerakan #BlackLivesMatter yang dimulai pada tahun 2014 setelah George Zimmerman dibebaskan dari tuduhan membunuh Trayvon Martin. Gerakan ini telah berkembang menjadi gerakan global yang penting. Media sosial juga membuat praktik seperti public shaming dapat dilakukan oleh orang-orang dari berbagai latar belakang untuk menyoroti berbagai masalah yang ada.

Namun, praktik public shaming sudah ada sejak lama seiring dengan perkembangan masyarakat. Mulai dari penggunaan "stocks" atau alat pembatas di Eropa abad pertengahan hingga penggunaan tarring and feathering sebagai bentuk hukuman tubuh di masa lalu. Terdapat juga praktik yang dianggap positif, seperti shaming of the meat yang dilakukan oleh suku !Kung di Afrika Selatan untuk menjaga rasa rendah diri dan menjaga keseimbangan kekuasaan di dalam masyarakat mereka.

Namun, ketika public shaming dilakukan secara online, hal ini dapat menyebabkan dampak yang lebih luas dan permanen. Terlebih lagi, ketika praktik cancel culture digunakan terhadap selebriti, mereka menjadi sangat rentan terhadap kritik dan penolakan publik karena posisi dan pengaruh yang mereka miliki.

Gerakan #MeToo adalah salah satu contoh bagaimana panggilan terhadap individu yang berkuasa dapat menyebabkan perubahan budaya yang signifikan. Ketika kasus pelecehan seksual yang melibatkan produser film Harvey Weinstein terungkap pada tahun 2017, hal ini mengarah pada vonisnya sebagai pelaku kejahatan seksual. Individu lain yang juga terlibat dalam kasus serupa juga menghadapi akibat dari tindakan mereka. Namun, terkadang, tindakan memboikot atau membatasi akses terhadap orang-orang yang berkuasa dapat memiliki efek sebaliknya. Misalnya, saat penayangan serial dokumenter Surviving R. Kelly pada tahun 2019, gerakan #MuteRKelly mulai trending dengan tujuan untuk membatalkan karir penyanyi tersebut. Namun, perhatian negatif yang semakin meningkat terhadap artis tersebut malah berdampak pada peningkatan jumlah streaming musiknya.

Masyarakat umum memiliki kekuatan untuk mempertanggungjawabkan individu yang dianggap berkuasa, namun pertanyaannya adalah, apakah kekuatan ini bersifat sementara? Mengapa kita terlalu peduli dengan tindakan mereka, sementara kita lupa mengintrospeksi diri kita sendiri atau komunitas di sekitar kita?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun