Mohon tunggu...
Natanael Adriel
Natanael Adriel Mohon Tunggu... Aktor - Penulis

Saya hobinya nulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Efektivitas Cancel Culture

13 Desember 2023   20:40 Diperbarui: 13 Desember 2023   20:40 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengaruh media sosial yang semakin kuat juga menjadi faktor penting dalam fenomena cancel culture. Kehidupan kita semakin terkoneksi dengan dunia digital dan online daripada dunia nyata. Terlebih lagi, situasi yang tidak menentu dan isolasi yang dialami oleh banyak orang selama pandemi COVID-19 membuat kita lebih banyak menghabiskan waktu online. Menurut laporan DataReportal pada bulan Juli, pengguna media sosial baru meningkat sekitar 11% dan orang-orang menghabiskan waktu 40% lebih banyak di media sosial dibandingkan sebelum pandemi.

Namun, penggunaan media sosial yang seringkali instan dan tanpa pemikiran mendalam dapat menyebabkan masalah. Ketika kita melihat sesuatu yang kontroversial atau buruk di timeline atau feed kita, seringkali kita bereaksi dengan impulsif tanpa benar-benar menyelidiki masalah tersebut atau mendengarkan penjelasan dari pihak terkait. Kita seringkali membagikan berbagai hal secara online atau melontarkan pendapat yang mungkin tidak akan kita ucapkan jika berhadapan langsung dengan seseorang.

Dalam kasus-kasus di mana seseorang melakukan tindakan yang sangat buruk, seperti melakukan kejahatan seksual, tindakan membatasi akses atau memboikot mungkin terlihat jelas. Namun, dalam kasus-kasus di mana tindakan tersebut lebih bersifat subjektif dan memerlukan pemikiran yang lebih dalam, seringkali hal ini tidak dilakukan.

Manusia adalah makhluk yang tidak sempurna dan seringkali melakukan kesalahan. Tindakan seperti doxxing online, yaitu menyebarkan informasi pribadi atau identitas seseorang, memiliki dampak yang bisa mengakibatkan seseorang di-cancel. Pertanyaannya adalah, apa yang memotivasi perubahan yang positif dan tulus? Seorang wanita bernama Amy Cooper, yang memanggil polisi atas seorang pria kulit hitam bernama Christian Cooper selama perselisihan yang viral di Central Park, telah kehilangan pekerjaannya, dijerat dengan tuduhan membuat laporan palsu kepada polisi, dan mendapat ketenaran dan ejekan publik. Meskipun dia telah meminta maaf atas tindakannya, namun siapa yang menentukan kesungguhan permintaan maafnya? Peristiwa-peristiwa rasisme semacam ini masih terjadi setiap hari di media sosial.

Ketika tindakan public shaming dilakukan, masalah sosial yang kompleks diubah menjadi sesuatu yang terindividualisasi. Hal ini menempatkan tanggung jawab yang besar pada individu, sementara masalah-masalah institusional dan sistemik yang lebih besar seringkali terabaikan.

Media sosial memang telah mengubah cara kita berkomunikasi dan memberikan lebih banyak cara untuk terhubung. Namun, dalam banyak hal, media sosial juga memisahkan kita dan membuat kita fokus pada hal-hal yang tidak selalu penting.

Kita perlu mengambil langkah mundur dan mendengarkan dengan baik. Dalam menghadapi cancel culture, kita perlu mencari keseimbangan antara tuntutan pertanggungjawaban dengan kesempatan untuk belajar dan berkembang. Menemukan cara yang memungkinkan pertanggungjawaban sekaligus memberikan ruang bagi pertumbuhan dan pendidikan sangat penting dalam mengatasi masalah yang mendasari fenomena cancel culture ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun