Kekayaan sumber daya alam (khususnya mineral) bukanlah sebuah jaminan kemakmuran bagi suatu negara. Myanmar misalnya, menurut laporan dari Extractives Industry Transparency Initiative (2018) memiliki pendapatan sebesar 1.3 milyar dollar yang diperoleh dari industri ekstraksi mineral. Jumlah tersebut mencapai 14% dari total pendapatan negara. Namun dengan pendapatan sebesar itu, Myanmar belum masuk ke dalam kelompok negara kaya (World Bank, 2020).
Myanmar juga memiliki skor yang rendah pada tata kelola sumber daya alam. Natural Resources Governance Institute (2017) memberi posisi Myanmar pada golongan negara-negara dengan predikat tata kelola yang buruk, yakni urutan ke-83 dari 89 negara. Tidak hanya Myanmar, fenomena serupa juga dialami oleh Angola, Zimbabwe dan negara-negara Afrika lainnya yang memiliki kekayaan mineral. Fenomena seperti ini, dimana kekayaan sumber daya alam tidak dapat memakmurkan suatu bangsa dinamakan Resource Curse.
Resource Curse juga ditemukan di banyak daerah tambang di Indonesia. Ketika harga komoditas hancur atau cadangan bijih daerah tersebut sudah habis dan perusahaan-perusahaan tambang gulung tikar, yang terjadi adalah perekonomian masyarakat lokal daerah tambang juga ikut gulung tikar. Ditambah lagi dengan kerusakan alam yang sebagai dampak pertambangan, membuat masyarakat kesulitan untuk kembali ke mata pencaharian semula.Â
Pada tambang open pit di Maluku Utara, Kalimantan Selatan dan Bangka misalnya, pasir halus yang terbawa air limpasan (runoff) tambang membuat dasar laut menjadi kotor. Pasir halus tersebut melapisi permukaan terumbu karang yang semula adalah rumah ikan-ikan menjadi nampak seperti gurun pasir bawah laut. Akibatnya ikan-ikan pergi menjauh dan nelayan-nelayan harus melaut lebih jauh untuk mendapatkan tangkapannya. Tidak sedikit nelayan yang berhenti melaut karena ongkos melaut jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan harga jual ikan di pasar.
Agar terhindar dari Resource Curse, maka harus seperti apa tata kelola pertambangan kita?
Kita bisa belajar kepada pengalaman negara-negara yang kaya sumber daya mineral yang berhasil mencapai status negara maju yang berkelanjutan (sustainable) seperti Chile, Canada, Norwegia dan Bostwana (Durns, S., 2014). Pada mulanya negara-negara tersebut juga memiliki masalah yang serupa yakni ketergantungan yang besar dari sektor mineral.Â
Namun yang membedakan adalah, negara-negara tersebut berhasil memanfaatkan pendapatan dari sektor ekstraktif menjadi modal pengembangan sektor-sektor industri selain industri ekstratif. Sehingga sewaktu-waktu harga komoditas mineral hancur atau cadangan mineral habis, maka ekonomi negara tersebut tidak akan terpengaruh secara signifikan.
memanfaatkan pendapatan dari sektor ekstraktif menjadi modal pengembangan industri lain
Natural Resource Governance Institute (2014) meringkas 12 langkah yang harus dicapai untuk menghindari Resource Curse dan mencapai kemakmuran yang berkelanjutan.
Langkah 1: Strategi, Konsultasi & Kompetensi
Sebelum menerapkan rencana pengelolaan sumber daya alam, pemerintah haruslah memiliki:
- Strategi jangka panjang (hingga masa tambang berakhir) yang telah melalui tahapan konsultasi publik baik dengan para praktisi dan akademisi maupun masyarakat lokal daerah tambang. Pemerintah harus konsisten dengan strategi yang dipilih dan tidak berubah-ubah demi menjaga kepercayaan pelaku usaha.
- Kompetensi yang lengkap. Selain kemampuan teknis terkait ekstraksi, pemerintah juga harus mampu mengantisipasi dampak lingkungan, dampak sosial serta memaksimalkan sistem kelola (perlindungan usaha dan pajak).